Selamat Datang....

Statistik Pembaca


widget

Sabtu, 11 April 2009

Peredaran gelap narkoba baik jenis narkotika dan psikotropika yang terjadi di Indonesia tidak terlepas dari peredaran narkoba di dunia. Kejahatan narkotika dan psikotropika dalam segala bentuknya termasuk lalu lintas perdagangan gelap merupakan salah satu kejahatan internasional, kejahatan ini dalam segi rumusan Perserikatan Bangsa-Bangsa termasuk dalam extra ordinary crime, sehingga menyebabkan banyak entry point atau titik masuk jalur transportasi barang ilegal termasuk narkoba ke wilayah Indonesia lewat jalur laut.
Indonesia merupakan negara berkembang yang berpenduduk terbesar keempat di dunia. Sekitar lebih dari 35 (tiga puluh lima) juta penduduk Indonesia hidup dibawah garis kemiskinan dengan tingkat pengangguran yang sangat tinggi yang disebabkan oleh tidak tersedianya lapangan kerja yang memadai. Keadaan seperti ini merupakan salah satu potensi yang sangat besar sebagai penyebab timbulnya kerawanan penyalahgunaan dan peredaran gelap narkoba.

Perkembangan kejahatan-kejahatan internasional sudah diantisipasi dan diakui secara resmi oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa yang terdapat di dalam kongres Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang ”The Prevention of Crime and the Treathment of Offenders” 1990 di Havana, Cuba. Dalam salah satu rekomendasinya antara lain ditegaskan bahwa negara-negara anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa hendaknya meningkatkan intensitas perjuangannya terhadap kejahatan-kejahatan internasional.
Perkembangan kualitas tindak pidana atau kejahatan, menunjukkan bahwa batas-batas teritorial antara salah satu negara dan negara lain di dunia, baik dalam satu kawasan maupun berbeda kawasan sudah semakin menghilang. Beberapa tindak pidana yang mengancam dan merugikan serta merusak tatanan kehidupan masyarakat internasional, beberapa di antaranya adalah agresi (agression), kejahatan perang (war crime), pembasmian etnis tertentu (genocide), pembajakan di laut (piracy), penculikan (kiddnapping) dan narkotika (narcotic crime).
Pada awal tahun 1960 di Indonesia terutama di Bali dan Jakarta telah ditemukan pengguna heroin di masyarakat dalam ruang lingkup yang kecil namun seiring perkembangannya tepatnya pada awal tahun 1970 pengguna narkoba terutama jenis morfin ini telah muncul di Jawa, Bandung, Medan dan Surabaya.
Istilah narkoba muncul sekitar tahun 1998 karena banyaknya penggunaan atau pemakaian barang-barang yang termasuk narkotika dan obat-obat terlarang maka untuk memudahkan menyebutnya orang berkomunikasi kata-kata ”narkotika dan obat-obat terlarang” ini disingkat menjadi narkoba. Di dalam masyarakat sudah banyak mengetahui macam-macam narkoba walaupun tidak seluruhnya, antara lain : ganja, heroin, sabu-sabu, inek, putaw, lexotan dan lain-lain.
Narkoba di satu sisi merupakan obat atau bahan yang bermanfaat di bidang pengobatan atau pelayanan kesehatan (dalam waktu operasi dan untuk penenang) dan pengembangan ilmu pengetahuan tapi disisi lain dapat menimbulkan ketergantungan yang sangat merugikan apabila dipergunakan tanpa pengendalian dan pengawasan yang ketat dan seksama.
Dalam menekan pemberantasan tindak pidana narkotika dan psikotropika ini dan efektivitas penegakan hukum serta pengaplikasian Undang-Undang Nomor. 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika dan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika yang dapat memberikan arahan, kepastian dan keadilan hukum dalam menekan peredaran gelap narkoba. Penegakan hukum terhadap tindak pidana atau kejahatan di Indonesia, khususnya dalam hal pemidanaan, seharusnya merujuk kepada norma hukum yang bersifat menghukum pelaku kejahatan sehingga dapat memberikan efek jera.
Diberlakukannya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika dan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika tersebut ternyata memberikan hasil yang signifikan, dimana banyak pengedar maupun pengguna yang terjerat hukum sehingga dikenakan sanksi pidana dan ditempatkan di dalam lembaga pemasyarakatan (LAPAS).
Bahkan adapula yang mendapatkan hukuman mati. Kondisi tersebut menyebabkan meningkatnya jumlah narapidana dan tahanan kasus narkotika dan psikotropika yang menjadi penghuni Lapas / Rutan. Hal ini dibuktikan dengan data yang dimiliki oleh Kantor Wilayah Departemen Hukum dan HAM Sumatera Utara tentang junlah total isi Lapas/ Rutan di Sumatera Utara dan jumlah kasus narkotika dan psikotropika, sampai dengan Juni 2008 di UPT Pemasyarakatan Sumatera Utara terdapat 15.054 jumlah total narapidana dan tahanan, dari jumlah tersebut 5013 (33,3%) adalah narapidana kasus narkoba, khususnya di Lembaga Pemasyarakatan Klas I Medan sampai pada bulan Juli 2008, jumlah narapidana dan tahanan 1752, dari jumlah tersebut kasus narkotika dan psikotropika 1215 (69,34%).

Perubahan pandangan dalam pemberlakukan narapidana di Indonesia pada dasarnya merupakan suatu evaluasi kemanusiaan yang merupakan manifestasi dari nilai-nilai luhur Pancasila, sebagai dasar pandangan hidup bangsa yang mengakui hak-hak asasi manusia. Saharjo sebagai tokoh pembaharuan dalam dunia kepenjaraan, telah mengemukakan ide pemasyarakatan bagi terpidana yaitu: 1) Tiap orang adalah makhluk kemasyarakatan; 2) Tidak ada orang yang hidup di luar masyarakat; 3) Narapidana hanya dijatuhi hukuman kehilangan kemerdekaan bergerak.

Supaya tujuan pemidanaan itu membawa dampak positif bagi pembinaan narapidana, maka pemidanaan harus terkait dengan nilai-nilai sosial dan budaya masyarakat.
Lembaga pemasyarakatan sebagai suatu lembaga yang memiliki tujuan reintregasi sosial dituntut untuk mampu membuat narapidana menyadari kesalahannya dengan tindak pidana yang dilakukannya serta membentuk perilaku yang lebih positif bagi narapidana. Pembinaan yang diberikan kepada narapidana dan anak didik pemasyarakatan merupakan kegiatan untuk meningkatkan kualitas ketaqwaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa, intelektual, sikap dan perilaku, professional, kesehatan jasmani dan rohani narapidana dan anak didik pemasyarakatan.
Tujuan Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia mendirikan Lembaga Pemasyarakatan Klas I Medan untuk membina dan memberikan rehabilitasi medis khusus bagi para pengguna narkotika dan psikotropika, untuk mengubah perilaku sebagai pemakai maupun pengedar untuk memutus mata rantai jaringan penyebaran narkotika dan psikotropika sebagai Aparat Penegak Hukum.
Peran pemerintah pun dituntut dalam upaya pembentukan kebijakan yang baku sebagai pedoman bagi petugas untuk memberikan perlakuan (pembinaan) khususnya bagi tahanan dan anarapidana kasus narkoba. Dalam hal pembinaan berkaitan dengan proses rehabilitasi diperlukan kerjasama dengan LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat) yang bergerak dibidang penyalahgunaan narkoba. Misalnya dengan melakukan penyuluhan baik bagi petugas maupun narapidana guna menambah wawasan petugas dan memberi masukan kepada narapidana agar sadar akan bahaya narkoba.
Tujuan pemidanaan tidak terlepas dari dua hal, pertama mengapa dijatuhkan hukuman pidana terhadap orang yang melanggar peraturan. Kedua apa yang diharapkan dengan memidana seseorang. Kenyataannya di bidang pemidanaan ini secara umum masih menganut, memperbaiki terpidana di dalam lembaga pemasyarakatan sehingga memberikan gambaran bahwa kejahatan tersebut hanya terhenti selama menjalani pidana di lembaga Pemasyarakatan dan setelah selesai menjalani pidana pelaku, akan kembali melakukan perbuatan melanggar hukum dalam kehidupan masyarakat.
Tanpa mengesampingkan tujuan pemidanaan, lembaga pemasyarakatan merupakan bagian penting dalam penanggulangan masalah narkotika dan psikotropika. Berlangsungya pemidanaan di Lembaga Pemasyarakatan dapat dilihat dari proses pembinaannya. Program pembinaan terhadap narapidana kasus narkotika dan psikotropika sangatlah berbeda dengan program pembinaan narapidana pada Lembaga Pemasyarakatan pada umumnya. Salah satu contohnya yaitu pelaksanaan program rehabilitasi terpadu yang dilaksanakan di Lembaga Pemasyarakatan Klas I Medan merupakan sebuah program yang memadukan berbagai metode yang meliputi aspek medis, sosial, kerohanian dan keterampilan. Program ini dibuat untuk membantu para narapidana agar lepas dari ketergantungan narkoba.
Kenyataan dalam praktek yang terjadi sampai sekarang adalah pembinaan narapidana yang di luar acuan pada 10 (sepuluh) Prinsip Pemasyarakatan dan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan tersebut. Hal itu menyebabkan kegagalan pada pembinaan narapidana karena tidak berorientasi pada kebaikan bagi diri narapidana itu sendiri. Bagi petugas pemasyarakatan pembinaan yang dilakukan hanya sebagai formalitas semata dan kurang memperhatikan pada kualitas kepribadian dan kemajuan kemandirian narapidana. Bagi narapidana sendiri menurut Romli Atmasasmita, narapidana di lain pihak, nampak mengabaikan setiap program pembinaan yang dilaksanakan. Bagi mereka yang penting adalah kapan mereka dapat bebas dari Lembaga Pemasyarakatan dan dapat bertindak sesuai kehendaknya.
Kenyataan di lapangan tentang peran Lembaga Pemasyarakatan di Indonesia juga tergambar dari pemberitaan-pemberitaan tentang apa yang terjadi dibalik tembok yang menjulang tinggi tersebut. Lembaga ini perannya masih jauh dari harapan masyarakat sebagai Lembaga Rehabilitasi para narapidana. Selain marak keributan dan tawuran di penjara, peredaran narkotika di lingkungan Lembaga Pemasyarakatan pernah terjadi. Beberapa kali terjadi di Rumah Tahanan (Rutan) Klas I Medan, Lembaga Pemasyarakatan Klas I Medan pun tidak terlepas dari peredaran narkotika bahkan sudah melibatkan petugasnya. Di dalam Lembaga Pemasyarakatan, bisnis narkoba kelas internasional masih tetap dilakukan. Meskipun di sekap dalam penjara, para bandar narkotika masih mampu menggerakkan bisnis haramnya.
Sistem pembinaan yang ada di Lembaga Pemasyarakatan juga harus dapat menyesuaikan dengan meningkatnya narapidana tindak pidana narkotika maupun psikotropika. Pembinaan yang diberikan kepada narapidana kasus narkotika dan psikotropika selama ini belum ada ketentuan yang jelas yang mengatur bagaimana pembinaan khusus di berikan kepada narapidana kasus narkotika. Selama ini yang berjalan adalah pembinaan yang bersifat coba-coba, dimana terdapat suatu sistem untuk rehabilitasi yang ditawarkan baik oleh pemerintah maupun swasta berupa therapeutic community dan criminon.
Pembinaan tersebut hanya terdapat pada lembaga pemasyarakatan tertentu, dengan kata lain tidak semua Lembaga Pemasyarakatan melaksanakan kegiatan rehabilitasi tersebut. Dengan keberadaan pembinaan tersebut diharapkan narapidana penyalahgunaan narkoba menyadari kesalahannya dan berniat untuk memperbaiki diri dengan menjauhi narkoba. Dengan upaya perubahan pola pikir penyalahguna narkoba tentang bahaya narkoba diharapkan mampu mencegah peredaran narkoba. Permasalahannya beberapa lembaga pemasyarakatan yang di dalamnya terdapat narapidana kasus narkotika, namun tidak memiliki pembinaan khusus bagi mereka, tanpa adanya ketentuan yang jelas maka tujuan yang hendak dicapai dalam pelaksanaan suatu kegiatan akan menjadi kabur dan pelaksanaannya pun menjadi tidak optimal, sehingga lembaga pemasyarakatan menjadi tempat yang cenderung hanya membatasi ruang gerak dan kebebasan narapidana yang bersangkutan.
Munculnya residivis dalam jumlah yang tidak sedikit adalah bukti bahwa perlu adanya langkah yang lebih terarah dalam rangka pembinaan narapidana untuk pencapaian hasil yang lebih baik, pembinaan bagi narapidana pun terutama mereka yang terlibat kasus narkotika dan psikotropika hanya bagi pemakai saja yang direhabilitasi di beberapa lembaga pemasyarakatan. Jumlah narapidana yang besar sehingga melebihi kapasitas hunian lembaga pemasyarakatan (over capacity) sehingga rasio antara petugas dengan narapidana menjadi tidak sebanding. Posisi tersebut akan mengganggu proses pembinaan bagi narapidana. Karena jumlah petugas jauh lebih sedikit dibanding dengan narapidana maka cenderung lebih mengutamakan keamanan tanpa memperhatikan kualitas pembinaan. Terjadinya over kapasitas ini apabila tidak diimbangi jumlah petugas baik petugas pengamanan ataupun petugas yang melaksanakan pembinaan akan menyebabkan pelaksanaan pembinaan agar tidak berjalan maksimal.
Seperti telah disebutkan sebelumnya bahwa pembinaan bagi narapidana yang terlibat tindak pidana narkotika dan psikotropika ini memerlukan metode pembinaan khusus dan berbeda dengan pembinaan narapidana pada umumnya. Pengguna narkotika ataupun psikotropika bukan merupakan seorang penjahat atau pelaku tindak kriminal, tetapi mereka adalah korban. Karena mereka termasuk korban, pidana yang baik bagi mereka adalah pidana yang berupa rehabilitasi daripada pidana penjara tetapi hal ini sangat jarang kita temukan dalam putusan pengadilan di Indonesia.
Bagi pengguna hal ini menjadi sangat penting untuk melepaskan diri dari ketergantungannya dari narkotika dan psikotropika. Keberadaan panti rehabilitasi ini masih dimanfaatkan oleh masyarakat mampu, karena untuk pengobatan ini dibutuhkan biaya yang tidak sedikit sehingga tidak sedikit para korban yaitu para pengguna narkotika dan psikotropika berasal dari golongan yang tidak mampu dan akhirnya jalan penyelesaiannya adalah melalui pidana penjara.
Hal lain yang perlu diperhatikan adalah bagaimana pembinaan bagi para pengedar ataupun bandar besar yang bukan pemakai hingga dengan pembinaan akan timbul suatu harapan agar mereka dapat menyadari kesalahannya dan menjadi orang-orang yang berguna pada saat kembali ke masyarakat dan dapat meninggalkan bisnis haramnya tersebut. Hal ini menjadi sangat penting bagi keberhasilan pembinaan karena selama ini pembinaan bagi mereka cenderung disamakan dengan para pengguna dan hal ini akan menyebabkan bahwa pembinaan yang dilaksanakan hanya bersifat mengisi waktu.
Upaya penanggulangan masalah di atas seharusnya dilakukan dengan 2 (dua) pendekatan, yaitu demand reduction dan harm reduction. Demand reduction adalah upaya untuk mengurangi permintaan akan narkoba yang berupa kegiatan yang mengarah pada pemulihan penyalahgunaan narkoba, mulai dari program detoksifikasi, rehabilitasi medik dan rehabilitasi sosial. Harm reduction adalah program pengurangan dampak buruk dalam bentuk kegiatan penjangkauan dan pendampingan (outreach program), program pendidikan sampai pada program pembagian jarum suntik untuk mengurangi angka HIV/AIDS dan penyakit-penyakit lainnya. Saat ini Indonesia masih memprioritaskan program demand reduction, sementara untuk program harm reduction masih terbatas pada program outreach dan pendidikan.
Masalah pemulihan dalam penyalahgunaan narkoba (demand reduction) bukan persoalan yang mudah. Dibutuhkan waktu yang panjang, usaha yang serius, dan disiplin yang tinggi bagi penyalahguna untuk dapat bertahan bebas zat (abstinensia). Beberapa penelitian mengemukakan bahwa 90 (sembilan puluh) hari setelah masa detoksifikasi adalah masa yang paling tinggi angka kekambuhannya.

NIDA tahun 2000 melaporkan bahwa pembahan perilaku yang signifikan terjadi setelah masa perawatan minimal 3 (tiga) bulan, artinya program rawat inap jangka panjang diharapkan dapat mengatasi masa kritis penderita untuk kembali menggunakan narkoba. Oleh karena itu diperlukan program rehabilitasi sosial bagi penyalahguna narkoba.
Program rehabilitasi dimaksud merupakan serangkaian upaya yang terkoordinasi dan terpadu, terdiri atas upaya-upaya medik, bimbingan mental, psikososial, keagamaan, pendidikan dan latihan vokasional untuk meningkatkan kemampuan penyesuaian diri, kemandirian dan menolong diri sendiri serta mencapai kemampuan fungsional sesuai dengan potensi yang dimiliki, baik fisik, mental, sosial dan ekonomi. Pada akhirnya mereka diharapkan dapat mengatasi masalah penyalahgunaan narkoba dan kembali berinteraksi dengan masyarakat secara wajar.
Salah satu metode yang digunakan dalam pelayanan dan rehabilitasi penyalahguna narkoba adalah therapeutic community yang pada mulanya ditujukan bagi pasien-pasien psikiatri yang dikembangkan sejak perang dunia kedua. Cikal bakal therapeutic community adalah kelompok synanon di Amerika Serikat yaitu self-help group atau kelompok kecil yang sating membantu dan mendukung proses pemulihan yang pada awalnya sangat dipengaruhi oleh gerakan alcoholic anonimous. Sesungguhnva metode ini digali dari konsep Timur, tetapi dikembangkan di New York, Amerika Serikat, di Day Top Internasional. Pengembangan di Asia dimulai dari Philipina, Thailand, Malaysia, Singapura, dan akhir-akhir ini Indonesia.
Salah satu jurnal tentang penyalahgunaan narkoba melaporkan bahwa dengan metode ini 80 % (delapan puluh persen) residen berhasil bertahan pada kondisi bebas zat (abstinensia) dalam waktu yang lebih lama, apabila residen berhasil mengikuti seluruh tahapan hingga selesai. Atas dasar keberhasilan ini, Departemen Sosial, c.q. Direktorat Pelayanan dan Rehabilitasi Penyalahguna NAPZA, mempertimbangkan untuk menngembangkan pelayanan dan rehabilitasi sosial dengan metode therapeutic community.
Upaya yang telah dilakukan Departemen Sosial selama ini adalah bekerja sama dengan Colombo Plan, Bakolak Inpres 6/1971 dan Yayasan Titihan Respati melaksanakan pelatihan re-entry programme di Cisarua tahun 1998. Kemudian diselenggarakan pula pelatihan rehabilitasi sosial dengan metode therapeutic community di Jakarta tahun 1999, dan pada tahun itu pula dilaksanakan pelatihan tenaga therapeutic community untuk petugas panti sosial Pamardi Putra, di Balai Diklat Cawang, bekerja sama dengan Pusdiklat Pegawai dan Tenaga Sosial. Sebagai tindak lanjut kegiatan tersebut, Departemen Sosial bekerja sama dengan Yayasan Titihan Respati dan Rumah Sakit Ketergantungan Obat (RSKO) Jakarta.

Referensi Hukum