Sistem Peradilan Pidana (Criminal Justice System) adalah “sistem dalam suatu masyarakat untuk menanggulangi masalah kejahatan”.1 Menanggulangi adalah usaha mengendalikan kejahatan agar berada dalam batas-batas toleransi dengan menyelesaikan sebagian besar laporan maupun keluhan masyarakat yang menjadi korban kejahatan dengan mengajukan pelaku kejahatan ke sidang pengadilan untuk diputus bersalah serta mendapat pidana di samping itu ada hal lain yang tidak kalah penting adalah mencegah terjadinya korban kejahatan serta mencegah pelaku untuk mengulangi kejahatannya.
Dari uraian di atas dapat dirinci bahwa tujuan sistem peradilan pidana sebagaimana dikatakan oleh Mardjono Reksodiputro sebagai berikut:
Mencegah masyarakat menjadi korban kejahatan;
Menyelesaikan kasus-kasus kejahatan yang terjadi sehingga masyarakat merasa puas bahwa keadilan telah ditegakkan dan yang bersalah telah dipidana sehingga masyarakat merasa puas;
Mengusahakan agar mereka yang pernah melakukan kejahatan tidak mengulangi lagi kejahatannya.2
Sedangkan menurut Davies mengatakan bahwa tujuan sistem peradilan pidana antara lain:
Menjaga masyarakat dengan mencegah kejahatan yang akan terjadi, dengan merehabilitasi terpidana atau orang-orang yang diperkirakan mampu melakukan kejahatan.
Menegakkan hukum dan respek kepada hukum dengan memastikan pembinaan yang baik kepada tersangka, terdakwa atau terpidana, mengeksekusi terpidana dan mencegah masyarakat yang tidak bersalah dari tuntutan hukum.
Menjaga hukum dan ketertiban.
Menghukum pelanggar kejahatan sesuai dengan prinsip keadilan.
Membantu korban kejahatan.3
Berkenaan dengan istilah sistem peradilan pidana atau criminal justice system tidak terpisah dari istilah sistem yang digambarkan oleh Davies et.al sebagai “the word system conveys an impression of a complec to end”4, artinya bahwa kata system menunjukkan adanya suatu kesan dari objek yang komplek lainnya dan berjalan dari awal sampai akhir. Oleh karena itu dalam mewujudkan tujuan sistem tersebut ada empat instansi yang terkait yaitu kepolisian, kejaksaan, pengadilan dan lembaga pemasyarakatan. Keempat komponen tersebut harus bekerja sama secara terpadu (Integrated Criminal Justice Administration). Berproses secara terpadu artinya bahwa keempat sub sistem ini bekerja bagai bejana berhubungan walaupun masing-masing berdiri sendiri. Polisi selaku penyidik melakukan penyidikan termasuk penyelidikan, penangkapan, penahanan, penggeledahan, penyitaan dan pemeriksaan surat. Jaksa selaku penuntut umum melakukan penuntutan berdasarkan hasil penyidikan yang disampaikan oleh penyidik. Hakim atas dasar dakwaan penuntut umum melakukan pemeriksaan dalam sidang pengadilan.5
Hal senada juga ditegaskan oleh Menteri Ali Said 6 dalam pengarahannya antara lain menyatakan:
Sebelumnya mengenai perlunya tenaga-tenaga profesional sistem peradilan pidana yang bekerja dengan baik. Kita tidak akan dapat mengharapkan sistem yang bekerja dengan baik itu apabila tidak ada keterpaduan dalam kegiatan unsur-unsur tersebut. Dalam kebhinekaan fungsi masing-masing unsur sistem maka penghayatan yang sama tentang sistem peradilan pidana penting. Inilah yang akan membuktikan keterpaduan dari berbagai unsur tersebut.7
Selanjutnya beliau juga menambahkan bahwa disamping kepolisian, kejaksaan, pengadilan dan lembaga pemasyarakatan, khusus di Indonesia ingin ditambahkan pula masyarakat dan penasehat hukum sebagai unsur sistem tersebut. Menurutnya, Jepang telah mempergunakan pendekatan keterpaduan ini dalam sistem peradilan pidananya, sehingga Jepang diajukan sebagai “one of the succesfull models of an integrate approach”. Sistem di Jepang diperumpamakan sebagai “a chain of gears and each ofther should be precise and tenacious in maintaining good combination with each other” (seperangkat roda gigi yang harus dengan cermat dan ulet menjaga kombinasi yang baik antara masing-masing roda gigi tersebut). Dengan sisitem tersebut Jepang telah dapat membanggakan “ angka pengungkapan perkara” yang tinggi (high conviction rate) di pengadilan. Hal ini disebabkan karena penyidikan yang efisien, partisipasi masyarakat yang aktif, kerajinan para penegak hukum dan kecendrungan mereka mengejar kebenaran materil (substantial truth) dalam setiap perkara atau yang dinamakan “precise justice” (keadilan yang cermat)8
Ciri terpenting dalam sistem Jepang adalah wewenang hukum yang dinamakan “suspended prosecution” yang dimilliki oleh seorang penuntut umum. Dalam hal ini penuntut umum mempunyai keleluasaan (diskresi) untuk menghentikan penuntut meskipun ada cukup bukti tentang kesalahan. Melalui kewewenangan ini penegak hukum dapat mengendalikan aliran perkara kepengadilan maupun ke badan-badan pemasyarakatan. Oleh karena ituu fungsi penuntut umum ditekankan pula sebagai koordinator untuk seluruh proses peradilan pidana. Kewenangan penuntut umum diatas diawasi melalui suatu lembaga yang dinamakan “inquest of prosecution” (hak angket terhadap penuntut umum) yang dilakukan oleh sejumlah warga masyarakat yang dipilih secara undian.
Disamping itu penyelesaian perkara di pengadilan Jepang cepat, dengan keseimbangan hukum dijaga. Hukuman yang dijatuhkan dapat dianggap sebagai sangat “murah hati” (lenient) karena pengadilan berpendapat bahwa asal saja “angka pengungkapan perkara” dan angka penghukuman dipertahankan dalam tingkat yang tinggi, maka hukuman yang murah hati tidak akan mengurangi efek penegakan umum dari hukuman tersebut. Disamping itu profesionalisme dari para penegak hukum yang didasarkan pada model rehabilitasi dan adanya sukarelawan (anggota masyarakat yang membantu pemasyarakatan terpidana) telah menurunkan angka residivisme.
Pendapat yang menyatakan bahwa sistem peradilan pidana atau criminal justice system bukanlah suatu sistem, contohnya di Amerika Serikat. Pendapat tersebut disebabkan karena ada tiga komponen dari sistem tersebut tidak berjalan dengan harmonis, juga tidak cukup efisien untuk menciptakan ketakutan akan hukuman serta respek kepada nilai hukum itu sendiri. Burton Wright dan Vernon B. Fox misalnya menyatakan bahwa ”the criminal justice system...is frequently critized because it is not a coordinated structure-not a really a system. In many ways this is true”9
Pendapat yang menyatakan criminal justice system bukan sebagai sistem dibantah oleh Willa Darson, yang menyatakan, “administration of justice can be regarded as a system by most standards. It may be poorly functioning system but it does meet the criteria nonetheless. The system approach is still in its infancy.” sedangkan W.La Patra menyatakan bahwa “I do believe that a criminal justice system does exist, but that it function very poorly. The criminal justice system is a loosely connected, nonharmonious, group of social entities”.
Sue Titus Reid, berpendapat lain, menurutnya, sistem peradilan pidana adalah sistem karena dalam proses penyelenggaraannya sistem isi terpadu dan saling terkait berjalan seperti sebuah pabrik mobil, yang harus melewati beberapa bagian dan pengawasan tertentu sebelum dapat keluar dari pabrik, seperti dikutip di bawah ini:
The criminal justice process may be likened to an assembly line in a automobile factory. The offender, like the car, is on a moving belt. As he passes from station to station, different people to different things to him until ultimately he comes out at the end of the line, a convicted man who has, hopefully been “corrected”. The man, like the car may drop off the end. He may be taken off the line temporarily and the be put back on it. He may entirely through the line, but by committing a new offense, flunk the final inspection. So he is “called back by the factory”, taken out of circulation, and started again through the line.10
Selanjutnya Muladi mendefinisikan bahwa, sistem peradilan pidana adalah jaringan (network) peradilan yang menggunakan hukum pidana materiil, hukum pidana formil maupun hukum pelaksanaan pidana.11
Berbicara masalah sistem peradilan pidana di berbagai negara dikatakan berbeda-beda tetapi dapat dikiaskan sebagai “kotak hitam” (black box)12
Dikatakan “kotak hitam” karena menimbulkan keadaan yang tidak sejahtera bagi yang dikenakan output yang bersifat langsung dapat berupa hukuman penjara menimbulkan nista, pencabutan hak milik (penyiksaan secara diam-diam) dan di banyak negara bahkan di masa kinipun masih diterapkan hukuman penjara seumur hidup dan hukuman mati.
Landasan hukum sistem peradilan pidana adalah Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana yang lebih dikenal dengan sebutan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). KUHAP merumuskan tentang penyidikan13 dalam BAB XIV mulai dari Pasal 102 sampai Pasal 136, tentang penuntutan dalam BAB XV mulai dari Pasal 137 sampai Pasal 144, kemudian tentang pengadilan (mengadili)14 termasuk upaya hukumnya diatur dalam BAB XVI mulai dari Pasal 145 sampai Pasal 269.
Sedangkan tentang Pemasyarakatan diatur secara implisit dalam BAB XX tentang pengawasan dan pengamatan pelaksanaan putusan pengadilan mulai Pasal 277 sampai Pasal 283. Adapun fungsi dari keempat komponen sistem peradilan pidana. Polisi berfungsi menyelidiki dan menyidik bila ada kejahatan, mencegah kejahatan, menangkap pelaku kejahatan dan menjaga ketertiban umum. Jaksa berfungsi menerima berkas penyidikan dari polisi dan mengajukan penuntutan ke pengadilan. Pengadilan berfungsi menerima dan memproses kasus secara efisien, menjaga hak dari terdakwa, memutuskan terdakwa bersalah atau tidak dan menetapkan pidana. Pemasyarakatan berfungsi tempat menjalankan eksekusi, tempat menghukum terpidana untuk direhabilitasi dan menyiapkan terpidana agar dapat kembali ke masyarakat.
Selanjutnya dalam mencapai tujuan dan efektifitas dari sistem peradilan pidana ada beberapa hal yang perlu diperhatikan, yaitu:
Efisiensi kepolisian merupakan prasyarat untuk administrasi pemasyarakatan yang baik.
Penggunaan yang berlebihan dalam penahanan sementara akan mengakibatkan lembaga pemasyarakatan menampung penghuni di atas batas kapasitasnya. Hal ini sebenarnya dapat diatasi dengan mengurangi input, menambah output, dan mempersingkat waktu persidangan.
Mengurangi beban penghuni lembaga pemasyarakatan atau dengan mempergunakan kemungkinan lain daripada pidana penjara.
Mencegah disparitas dalam pidana yang dijatuhkan untuk perkara yang serupa, agar terpidana tidak diperlakukan tidak adil dan menimbulkan rasa permusuhan terhadap sub sistem peradilan pidana, termasuk lembaga pemasyarakatan yang akan menyukarkan pembinaan.15
Sistem peradilan pidana yang dilaksanakan secara terpadu sebenarnya merupakan proses pelaksanaan atau penegakan hukum pidana dan proses kriminal. Dalam suatu sistem peradilan yang baik harus menyadari keterbatasannya dalam menyampaikan kepada masyarakat bahwa tugas mereka adalah hanya menjaga ketertiban umum (public order maintenance).16
Sebagai suatu sistem agar dapat dilaksanakan secara terpadu ada beberapa pendekatan yang dapat dipakai, yaitu:
Pendekatan normatif, dengan memandang keempat aparatur penegak hukum sebagai institusi pelaksana peraturan perundang-undangan yang berlaku sehingga keempat aparatur tersebut merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari sistem penegakan hukum semata.
Pendekatan administratif, dengan memandang keempat aparatur penegak hukum sebagai suatu organisasi manajemen yang memiliki mekanisme kerja organisasi yang berlaku dalam organisasi tersebut.
Pendekatan sosial, dengan memandang keempat aparatur penegak hukum merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari suatu sistem sosial sehingga masyarakat secara keseluruhan ikut bertanggungjawab atas keberhasilan atau ketidakberhasilan dari keempat aparatur penegak hukum tersebut dalam melaksanakan tugasnya.17
Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa walaupun masing-masing instansi komponen sistem peradilan pidana mempunyai tugas dan fungsi masing-masing, akan tetapi dalam mencapai tujuan harus bekerja sama karena jika tidak ada beberapa kerugian akan timbul yaitu:
Kesukaran dalam menilai sendiri keberhasilan atau kegagalan masing-masing instansi sehubungan dengan tugas bersama;
Kesulitan dalam memecahkan sendiri masalah pokok masing-masing instansi (sebagai sub sistem dari sistem peradilan pidana) dan;
Karena tanggungjawab masing-masing instansi sering kurang jelas perbandingannya, maka setiap instansi tidak terlalu memperhatikan efektifitas menyeluruh dari sistem peradilan pidana.18
Kerugian tersebut merupakan kendala utama dalam managemen keseluruhan sistem sehingga tidak berhasil dalam mewujudkan tujuan SPP. Tujuan SPP bukan hanya tanggungjawab satu instansi tetapi tanggungjawab keempat komponen SPP. Selain dengan bentuk pendekatan tersebut diatas, sistem peradilan pidana tidak dapat dipisahkan dari proses kriminal, Herbert L. Packer mengemukakan ada dua model yaitu Due Process Model dan Crime Control Model. Crime Control Model (C.C.M) lebih memperhatikan kebutuhan untuk menyelesaikan kasus atau memperhatikan kebutuhan untuk menyelesaikan kasus atau memastikan ada tidaknya suatu kejahatan dan mengontrol kejahatan sedangkan Due Process Model (D.P.M) lebih menekankan pentingnya hak asasi dari terdakwa.19
Kedua model sistem peradilan di atas terdapat persamaan dan perbedaan. Persamaannya dilandasi pada asumsi tentang:
Penetapan suatu tindakan sebagai tindakan pidana harus terlebih dahulu ditetapkan jauh sebelum proses identifikasi dan kontak dengan seorang tersangka pelaku kejahatan atau lebih dikenal dengan asas ex post facto law, artinya undang-undang tidak berlaku surut.
Hukum untuk melakukan tindakan penyidikan dan penangkapan terhadap seorang tersangka pelaku kejahatan.
Seorang pelaku kejahatan adalah subjek hukum yang harus dilindungi dan berhak atas peradilan yang jujur dan tidak memihak.20
Sedangkan perbedaan sistem Due Process Model (D.P.M) dan Crime Control Model. Crime Control Model (C.C.M) dapat dilihat pada tabel di bawah ini:
Tabel 2
Perbedaan Model Crime Control Model dan Due Process Model 21
Crime Control Model | Versus | Due Process Model |
5 Karakteristik | Nilai (Value) | 6 Karakteristik |
|
Mekanisme (Mechanism) |
|
Secara internasional perlindungan terhadap pelaku tindak kejahatan telah dilindungi seperti dengan adanya The Standard Minimum Rules.
“The Standard Minimum Rules recommend that no prisoner shall be punished except in accordance with law or regulation, or unless he has been informed of the alleged offense and given a proper opportunity to present his defense” 22
(Peraturan standar minimum mengatur bahwa tak seorang penjahat dihukum kecuali melanggar hukum dan peraturan atau setidak-tidaknya dia telah dinyatakan melanggar hukum dan peraturan atau setidak-tidaknya dia telah dinyatakan melanggar peraturan dan diberikan kesempatan untuk membela diri).
Dari ketentuan standar minimum tersebut jelas bahwa seseorang itu dihukum apabila melanggar hukum dan peraturan. Untuk itu hendaknya seorang hakim harus memperhatikan orang yang akan dijatuhkan hukuman dan hukuman yang dijatuhkan juga haruslah mengandung keadilan, manfaat dan kepastian hukum. Hukuman yang terlalu berat atau terlalu ringan dari yang sewajarnya atas suatu kejahatan merupakan putusan yang tidak adil menggambarkan tidak berhasilnya pengadilan memberikan pidana yang tepat untuk dapat memperbaiki pelaku kejahatan. Apabila hal ini terjadi secara berulang-ulang maka akan mengoyahkan kepercayaan masyarakat kepada hukum. Disisi lain dapat mendorong para pelaku kejahatan lebih berani melakukan perbuatannya karena sebagian mereka akan merasa kebal hukum.
1 Mardjono Reksodiputro, Kriminlogi dan Sistem Peradilan Pidana, (Jakarta : Pusat Pelayanan dan Pengabdian Hukum Universitas Indonesia, 1997), hlm. 84 (Selanjutnya disebut Buku I)
2 Ibid., hlm. 85
3 Davies et.al., Criminal Justice and Introduction to the Criminal Justice System in England and Wales, (London : Longman Group Limited, 1995), hlm. 4
4 Ibid., hlm. 14
5 R. Abdul Salam dan Zen Zanibar, MZ, Refleksi Keterpaduan Penyidikan Penuntutan dan Peradilan Dalam Penanganan Perkara, (Jakarta : DISKUM POLRI, 1998), hlm. 8
6 Menteri Kehakiman RI pada saat seminar bersama UNAFEI Jepang - BIBINKUMNAS “Pencegahan Kejahatan dan Pembinaan Pelanggar Hukum, (Jakarta : Departemen Kehakiman RI ,13-21 Januari 1984)
7 Mardjono Reksodiputro, Bunga Rampai Permasalahan dalam Sistem Pidana, (Jakarta : Universitas Indonesia, 1997), hlm. 48 (Selanjutnya disebut Buku II)
8 Mardjono Reksodiputro, Buku II, Op-Cit., hlm, 49.
9 Febria, Pemasyarakatan dalam Kerangka Sistem Peradilan Pidana (Studi Kasus di Lembaga Pemasyarakatan Kelas I Sukamiskin Bandung), (Jakarta : Universitas Indonesia, 2001), hlm. 21.
10 Sue Titue Reid, Criminal Justice Procedures and Issues, (Minnesota : West Publishing Co, 1987), hlm. 5.
11 Romli Atmasasmita, Sistem Peradilan Pidana, (Bandung : Bina Cipta, 1996), hlm. 16.
12 M.L. HC. Hulsman, Sistem Peradilan Pidana Dalam Prespektif Perbandingan Hukum, Penyadur Dirdjosisworo, (Jakarta : Rajawali Press, 1984), hlm. 2
13 Penyidikan adalah serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam UU ini untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya (Pasal 1 angka 1 KUHAP).
14 Mengadili adalah serangkaian tindakan hakim untuk menerima, memeriksa dan memutus perkara pidana berdasarkan asas bebas, jujur dan tidak memihak di sidang pengadilan dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam UU ini (Pasal 1 angka 9 KUHAP)
15 Mardjono Reksodiputro, Buku I, Op-Cit, ha.m 145.
16 Mardjono Reksodiputro, Buku II, Op-Cit., hal. 6.
17 Romli Atmasasmita, Op-Cit., hlm. 146.
18 Mardjono Reksodiputro, Buku II, Op-Cit., hlm. 45.
19 Sue Titus Reid, Crime and Criminology, (New York : CBS College, 1985), hlm. 275.
20 Romli Atmasasmita., Op-Cit, hlm. 18.
21 Ibid., hlm. 21.
22 International Review of Crime Policy, Implementasi of The Standard Minimum Rules for the Treatment of Prisoners, (New York : UNITED NATION, 2000), hlm. 81.
menarik dan bermanfaat sekali nih infonya
BalasHapusdu tunggu info selanjutnya
terimakasih