Selamat Datang....

Statistik Pembaca


widget

Jumat, 08 Mei 2009

Peralihan Hak Atas Tanah

Setiap perjanjian bermaksud memindahkan hak atas tanah, memberikan sesuatu hak baru atas tanah, menggadaikan tanah atau meminjam uang dengan hak atas tanah sebagai tanggungan harus dibuktikan dengan suatu akta yang dibuat oleh dan di hadapan pejabat yang ditunjuk oleh menteri. Hubungan antara seorang dengan seseorang menimbulkan perhubungan hukum, perhubungan hukum mana mempunyai kriteria masing-masing dan itu akan menimbulkan persetujuan-persetujuan dan perjanjian-perjanjian diantara mereka.
Perjanjian mana dalam bentuk perjanjian lisan, perjanjian di bawah tangan ataupun dengan akta notaris agar otentik, dan dapat dijadikan bukti bila terjadi masalah, baik di hadapan pihak kepolisian, kejaksaan maupun pengadilan. Walaupun dianut asas kebebasan berkontrak, tetapi setiap perjanjian atau perikatan itu harus selalu mengacu kepada peraturan yang telah ditentukan untuk itu. Apabila hubungan hukum itu terjadi karena adanya persetujuan antara seorang dengan orang lain mengenai tanah atau rumah atau lainnya, selalu dikaitkan dengan Peraturan Jabatan Notaris, bila tanah-tanah tersebut belum mempunyai status tanah berupa sertifikat. Tetapi bila tanah atau rumah yang menjadi objek dari perjanjian itu telah mempunyai status yang jelas dan pasti, seperti Sertifikat Hak Milik, Hak Guna Bangunan dan sebagainya, maka perjanjian itu harus dibuat di hadapan pejabat yang ditunjuk untuk itu ialah Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT).
Aturan seperti ini telah diatur dalam Undang-Undang Pokok Agraria, Jadi setiap perhubungan atau perjanjian diantara seorang dengan seorang, atau antara seseorang dengan badan hukum maupun sebaliknya, telah tersedia perangkat hukum yang mengaturnya agar tidak terjadi penyimpangan dari apa yang telah ditetapkan oleh pembuat undang-undang.
Namun dalam hal terjadi penyimpangan harus dapat dibuktikan bahwa penyimpangan itu dapat dibenarkan karena tidak merugikan para pihak dan telah terjadi secara berkesinambungan dari generasi ke generasi dan telah baku dan diterima oleh masyarakat tanpa menimbulkan dampak yang negatif dalam masyarakat maupun pihak-pihak yang melakukan perjanjian tersebut. Masalah inilah yang ingin di angkat ke permukaan, dimana seorang yang akan mengalihkan tanahnya yang telah bersertifikat kepada orang lain, tetapi tidak memakai jalur yang telah ditetapkan oleh peraturan yang ada tetapi penyerahan tanah tersebut dengan memakai akta notaris dengan judul perikatan jual-beli, yang diperbuat oleh Notaris.
Tanah yang merupakan suatu objek yang teramat penting bagi kehidupan manusia, karena tanpa tanah dimana manusia itu akan berdiam, hidup dan mencari nafkah. Begitu pentingnya tanah ini bagi manusia, sehingga Ibu Megawati Sukarno Putri, yang pada waktu itu Wakil Presiden Republik Indonesia pada waktu pembukaan Kongres IPPAT (Ikatan Pejabat Pembuat Akta Tanah) Ke II di Denpasar, Bali yang berlangsung pada tanggal 7 sampai dengan 9 September 2000 yang lalu menyatakan bahwa tanah itu adalah jiwa dari kehidupan.
Kepentingan-kepentingan atas tanah ini adalah mutlak, sehingga untuk memperebutkan sebidang tanah untuk hidup dan kehidupan, masyarakat umumnya dan pribadi khususnya akan mempertaruhkan harta, tenaga bahkan nyawa. Ketergantungan masyarakat pribadi-pribadi atas tanah tidak dapat diabaikan, karena tanah merupakan sumber dari segala kehidupan. Oleh karena itu sering timbul kasus-kasus tanah umumnya di Indonesia dan khususnya Propinsi Sumatera Utara lebih khusus lagi dalam Kota Medan. Dalam alam kebebasan sekarang masyarakat atau orang-perorangan berebut menggarap tanah-tanah yang dikuasai oleh pemerintah seperti yang terjadi di Kabupaten Deli Serdang, Asahan, Simalungun bahkan atas tanah yang dikelola oleh Perseroan Terbatas Perkebunan (PTP). Banyak korban, banyak demonstrasi, unjuk rasa di Kantor Gubernur, DPRD baik Tingkat I maupun Tingkat II, meminta tanahnya dikembalikan kepada pemilik semula. Tetapi disamping tuntutan dan demonstrasi, unjuk rasa yang murni juga terselip itikad tidak baik dari sekelompok masyarakat yang terselubung dalam tuntutan yang murni dari pemilik yang sebenarnya. Melengkapi hal tersebut perlulah pemerintah membuat suatu skala besar sampai yang kecil mengenai kepemilikian tanah-tanah yang ada di Sumatera Utara dan batas-batas kepemilikan yang jelas, yang menjadi pedoman untuk memberi jawaban atas tuntutan rakyat atas tanah-tanah yang dituntutnya sebagai miliknya atau milik leluhurnya.
Hak atas tanah telah diatur oleh aturan hukum di dalam Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) yang selama ini menjadi pedoman bagi rakyat Indonesia dalam berbagai bentuk dan aspek dan pengaturan yang tertera di dalamnya. Selain Undang-Undang Pokok Agraria, banyak peraturan-peraturan yang lain yang dikeluarkan pemerintah, seperti Peraturan Pemerintah, Keppres (Keputusan Presiden), Perpu (Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang) dan sebagainya yang gunanya untuk lebih melengkapi dan menyempurnakan peraturan mengenai tanah yang secara keseluruhan peraturan-peraturan itu untuk mengatur tentang kehidupan masyarakat untuk memelihara, memanfaatkan tanah dan yang lebih penting dari semua itu bahwa tanah itu mempunyai fungsi sosial. Di dalam sebuah peraturan yang mengatur tentang tanah ini maka peraturan atas tanah tadi baik bersifat kebutuhan seluruh masyarakat atas tanah atau kebutuhan perorangan atas tanah saling berhubungan dan ketergantungan dan saling berkaitan satu sama lain. Begitupun kepentingan negara, sehingga dilihat banyaknya pembatasan-pembatasan yang diatur di dalam berbagai peraturan baik Surat Keputusan, Undang-Undang dan sebagainya.
Mengenai hak-hak perorangan atas tanah, setiap manusia sebagai subjek hak atas tanah tidak cukup dengan memiliki berhektar-hektar tanah, baik tanah lahan pertanian, perkebunan, perindustrian, perumahan dan sebagainya, tetapi juga harus memelihara dan menentukan batas-batas kepemilikannya dengan mengutamakan itikad baiknya dan kejujurannya yang didukung oleh bukti-bukti yang resmi dan otentik.
Dalam hubungan ini adalah sangat penting dalam pembuktian batas kepemilikan hak atas tanah, untuk itu diperlukan instansi yang sangat berkompeten dalam hal ini adalah Badan Pertanahan Nasional (BPN) yang dahulu disebut Agraria. Badan Pertanahan Nasional (BPN) inilah yang bertugas antara lain untuk melaksanakan kestabilan dalam pertikaian-pertikaian batas tanah dengan melaksanakan tugas-tugas pengukuran, batas-batas tanah, gambar-gambar, PLL, sampai kepada pengeluaran sertifikat atas tanah.
Dengan adanya sertifikat atas tanah bukanlah jaminan seratus persen bahwa tanah itu tidak ada sengketa, tetapi adanya sertifikat adalah sebagai pegangan dan kepastian hak kepada subjek tanah tersebut bahwa tanahnya telah diukur, ditentukan batas-batasnya oleh yang berwenang untuk itu dan telah memberikah hak prerogatif baginya sebagai pemilik dengan dikeluarkannya sertifikat atas tanah tersebut.
Suatu wakil di Sumatera Utara oleh Kantor Wilayah Agraria Tingkat I Sumatera Utara pernah dikeluarkan Sertifikat Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, Hak Pakai bahkan Hak Milik yang mencantumkan syarat-syarat tertentu bagi si pemegang hak tersebut yang intinya:
1. Dilarang menjual, memindahkan hak atas tanah dalam Sertifikat ini kepada orang lain kecuali telah mendapat izin dari Direktorat Jenderal Agraria di Jakarta.
2. Dilarang menjual, memindahkan hak atas tanah ini sebelum mendapat izin dari Kanwil Agraria Tingkat I Sumatera Utara.
3. Demi kepentingan umum tanah ini dapat diambil oleh Pemerintah tanpa ganti rugi kepada pemegang sertifikat.
Hak seperti ini tentunya membebani subjek pemegang hak atas tanah tadi, sehingga tidak ada kebebasan baginya untuk berlaku penuh sebagai pemilik yang sah atas tanah tersebut.
Dampak negatif dari syarat-syarat yang tertera di dalam sertifikat itu ialah, bila pemiliknya akan menjual, memindahkan hak atas tanah tersebut terkendala dengan izin-izin yang harus diurus tentunya dengan prosedur dan biaya tertentu, dan selain itu pembeli biasanya enggan membeli karena ada syarat-syarat yang nantinya akan mengurangi atau membatasi kebebasannya sebagai pemilik tanah tersebut.
Di Sumatera Utara pada umumnya tanah-tanah belum banyak yang bersertifikat karena banyaknya prosedur hukum yang harus dilalui dan besarnya biaya untuk itu. Dengan adanya Prona (Proyek Nasional) pemerintah telah memberikan keringanan bagi rakyat untuk mengurus sertifikat dengan biaya relatif murah, dan pada saat ini pemerintah juga memberikan keringanan bagi masyarakat yang ingin mengurus sertifikat atas tanah-tanahnya dengan sistem ajudikasi, biaya murah dan terjangkau oleh segala lapisan masyarakat. Diperkirakan saat ini tanah-tanah yang sudah bersertifikat pada umumnya terdaftar atas nama golongan “Warga Negara Indonesia keturunan”, hanya sebagian kecilnya saja yang sudah terdaftar atas ekonomi umumnya pribumi masih rata-rata berada dibawah perekonomian “Warga Negara Indonesia keturunan”. Hal ini sudah menjadi rahasia umum, untuk itulah pemerintah mengambil langkah yang disebut di atas yaitu Prona dan Ajudikasi untuk meringankan beban masyarakat pribumi dalam prosedur pengurusan Sertifikat tanahnya. (Setiap Perjanjian atau Perikatan yang bermaksud memindahkan hak atas tanah).
Mengalihkan hak atas tanah haruslah dilakukan dihadapan seorang Notaris atau Pejabat Pembuat Akta Tanah. Bila perikatan atau perjanjian itu dilakukan tidak dihadapan pejabat-pejabat tersebut di atas, tetapi hanya di tulis di atas kertas segel atau kertas yang ditempelkan meterai maka itu merupakan peralihan hak di bawah tangan dan tidak otentik. Hal ini sering terjadi di desa-desa maupun di pinggiran kota, karena masyarakat disana belum mengetahui keberadaan dan fungsi Notaris. Surat jual-beli tersebut yang dibuat di bawah tangan tadi kadang-kadang di daftarkan kepada Lurah ada kalanya sampai ke Camat dan dalam hal ini berjalan terus-menerus dengan tidak terjadi gugat menggugat karena masing-masing pihak saling mempercayai. Sebaliknya di kota-kota besar pengalihan hak atau jual beli, hibah, tukar menukar, pemisahan dan pembagian, pemisahan pembagian harta warisan dan sebagainya dilaksanakan di hadapan Notaris/Pejabat Pembuat Akta Tanah. Khusus untuk tanah-tanah yang bersertifikat, jual beli atau pengalihan hak atas tanah tersebut berikut segala sesuatu yang berada diatas tanah tersebut adakalanya kewajiban Pejabat Pembuat Akta Tanah. Tetapi adakalanya kewajiban Pejabat Pembuat Akta Tanah ini atas permintaan klien di buat di hadapan Notaris, walaupun orang atau pejabatnya itu-itu juga tetapi sudah berlainan fungsinya.
Jika Pejabat Pembuat Akta Tanah bertugas melaksanakan fungsinya sebagai Pejabat Pembuat Akta Tanah karena ditunjuk oleh Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 dan Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998, sedangkan Notaris bertugas melayani masyarakat atau kliennya karena tunduk kepada Pasal 1 Peraturan Jabatan Notaris. Apabila kedua fungsi dicampur-baurkan, mungkin saja untuk masa kedepan akan terjadi sengketa dan gugatan-gugatan sepihak, karena berkaitan dengan pengurusan selanjutnya dengan instansi terkait seperti Badan Pertanahan Nasional, Kantor Lelang, Pengadilan, Bank dan sebagainya. Oleh karena itu sedapat mungkin fungsi ini tetap berjalan sesuai petunjuk dan peraturan masing-masing, namun sering kali dilanggar karena atas perminataan klien baik Pihak Penjual atau Pihak Pembeli bahkan atas permintaan kedua belah pihak.
Notaris sebagai pejabat yang dimintakan jasanya untuk melaksanakan jual-beli tanah ini tentu saja menyarankan untuk tanah-tanah yang sudah bersertifikat dilakukan penyerahannya atau jual belinya melalui Pejabat Pembuat Akta Tanah. Untuk melaksanakan jual beli tersebut harus dilakukan beberapa prosedur yang memakan waktu beberapa hari. Sebaliknya pihak penjual mengharapkan jual beli itu dapat terlaksana pada saat itu juga karena sangat membutuhkan uang untuk penyelesaian masalahnya, dalam peristiwa yang lain dia berhutang dan sudah jatuh tempo atau sudah harus membayar, jika tidak akan dikenakan sanksi, sebutkanlah misalnya pemilik tanah terikat perjanjian pinjam uang dengan rentenir dengan bunga yang sangat tinggi yang tidak dapat diperpanjang lagi, atau si peminjam telah memberikan suatu cheque atau sebagai jaminan atas hutangnya kepada rentenir tersebut yang pada hari itu sudah jatuh tempo, keadaan sulit seperti ini bagi penjual harus dapat dicarikan solusinya oleh Notaris. Notaris sebagai satu-satunya Pejabat Umum yang berwenang untuk membuat akte otentik.
Pasal 1 Undang-Undang Jabatan Notaris antara lain Notaris adalah satu-satunya pejabat umum yang berwenang membuat akta otentik. Notaris harus bersikap netral dan mencarikan jalan keluarnya bagi penjual atau pembeli.
Pasal 7 Undang-Undang Jabatan Notaris (UUJN) mengatakan tiada suatu perikatan atau perjanjian yang telah memenuhi syarat dapat ditolak oleh Notaris.
Keterikatan Notaris pada pasal ini menyebabkan Notaris mencarikan upaya agar perjanjian jual-beli tanah dapat terlaksana dengan tidak mengurangi nilai atau harkat dari akta tersebut, yang artinya tetap bernilai jual beli, yang berarti terjadi penyerahan dari penjual kepada pembeli dengan transaksi tunai. Namun tidak memakai judul jual-beli tanah tetapi dengan judul perikatan jual-beli atau perjanjian jual-beli. Perumusan dari masalah inilah yang menjadi judul skripsi ini untuk mengungkap berapa banyak hal-hal atau peristiwa seperti ini yang terjadi di setiap kantor notaris.
Sebagaimana yang disebutkan di atas, pihak penjual atau pihak pembeli atau kedua-duanya meminta notaris membuat perikatan jual-beli itu, disebabkan berbagai hal ada kalanya karena kebutuhan penjual akan uang yang sangat mendesak, mungkin untuk biaya berobat atau terkena jerat rentenir dan sebagainya. Tetapi ada kalanya perbuatan hukum jual beli dihadapan notaris itu dibuat untuk menunda atau menghindarkan pajak-pajak yang harus dibayar atau dipenuhi oleh para pihak. Pihak penjual harus membayar PPh yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1996 dengan sebutan Pajak Penghasilan (PPh) yaitu 5% dari Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) yang dikeluarkan oleh Kantor Pelayanan Pajak PBB setiap akhir/pertengahan tahun.
Sedangkan pembeli harus membayar kewajibannya sebagai pembeli yaitu 5% dari Nilai Jual Objek Pajak dikurangi Rp.30.000.000,- (tiga puluh juta rupiah) Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 tentang Ketentuan Umum Perpajakan. Faktor-faktor dalam penundaan pajak ini juga merupakan satu kemungkinan mengapa pihak-pihak meminta dilaksanakan perikatan jual-beli tersebut, notaris tidak dapat menolak membuatkan aktanya berdasar ketentuan Pasal 7 (a) PJN, tetapi notaris harus dan wajib memperingatkan pihak penjual maupun pihak pembeli akan kewajiban pihak-pihak untuk pembayaran pajak-pajak yang tertunda.
Bertitik tolak dari apa yang tersebut di atas dapat dikatakan ekonomi lemah yang dialami sebagian besar rakyat Indonesia melibatkan juga dampaknya bagi pengurusan hak atas tanah, dengan memiliki tanah-tanah yang dikuasai oleh petani-petani di desa-desa tersebut hanya dihargai dengan sangat murah, semua ini dikarenakan tanah-tanah tersebut belum mempunyai sertifikat dan sebaliknya tanah-tanah hak pakai di perkotaan jauh lebih tinggi nilai ekonomisnya. Tetapi bila tanah-tanah petani ini di beli oleh orang kota lalu di buatkan sertifikatnya dan dikapling-kapling menjadi komplek perumahan yang indah dan menarik serta fasilitas yang memadai maka harga tanah tersebut melonjak jauh, dari harga sebelum dibuatkan sertifikatnya.
Inilah dilema yang tidak habis-habisnya yang dialami pemilik-pemilik tanah yang belum sanggup menguruskan sertifikat atas tanah-tanah yang menjadi haknya, walaupun telah ada usaha dari pemerintah dengan sistem prona/ajudikasi.
Ditinjau dari kepentingan-kepentingan yang ada dalam hukum kegiatannya dapat dibedakan dalam 3 (tiga) kategori besar yaitu:
Pertama: Hukum ada atau diadakan untuk mengatur dan memenuhi berbagai kepentingan masyarakat dalam hubungan horizontal atau satu sama lain.
Kedua: Hukum ada atau diadakan untuk mengatur dan memenuhi kepentingan jalannya kekuasaan.
Ketiga: Hukum ada atau diadakan untuk mengatur dalam lintas hubungan antara masyarakat dan kekuasaan.

Ketiganya ini harus berjalan seimbang sehingga pemerintah berupaya untuk membantu rakyat dengan sistem pembuatan sertifikat tanah-tanah untuk yang berpenghasilan lemah. Bertambah banyak rakyat memiliki tanah dengan bukti hak sertifikat, kiranya akan dapat mengurangi sengketa batas-batas tanah antara seseorang dengan seseorang atau seseorang dengan kelompok tertentu atau dengan pemerintah.

Referensi Hukum