Indonesia telah meratifikasi Konvensi Hak-hak Anak, tepatnya pada tanggal 25 Agustus 1990 melalui Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 1990 karena Indonesia belum mempunyai kebijakan dan peraturan perundang-undangan tentang perlindungan anak yang berorientasi pada Konvensi Hak-hak Anak. Namun pada tanggal 22 Oktober 2002, Indonesia menetapkan Undang-undang Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak yang berorientasi pada hak-hak anak seperti yang tertuang dalam Konvensi Hak-hak Anak. Perjuangan melahirkan kebijakan dan peraturan perundang-undangan yang memihak kepada kepentingan terbaik anak cukup panjang, seiring dengan pasang surut berbagai kepentingan dan situasi multi krisis berkepanjangan di segala aspek kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia sejak lima tahun terakhir.
Berbagai konflik komunal di sebagian wilayah Indonesia disertai instabilitas di bidang politik dan pemerintahan telah memperberat upaya-upaya peningkatan kesejahteraan dan perlindungan anak di Indonesia. Keadaan yang serba krisis dan kritis ini, telah mendesak pemerintah untuk menyelesaikan banyak prioritas-prioritas lain seperti politik, pemulihan ekonomi dan keamanan, ketimbang upaya-upaya meningkatkan kesejahteraan dan perlindungan anak di Indonesia. Akibatnya, berbagai permasalahan anak muncul ke permukaan karena jaminan negara terhadap pemenuhan kebutuhan dasar anak seperti pendidikan, kesehatan, kesejahteraan sosial dan perlindungan anak tidak maksimal. Dengan demikian perlu adanya upaya yang terus-menerus dilakukan bersama dengan semua pihak melalui tindakan nasional dan kerjasama internasional.
Komitmen bersama diperlukan untuk menempatkan anak pada arus utama pembangunan dan diarahkan pada investasi sumberdaya manusia (human investment). Keyakinan bahwa anak adalah generasi penerus dan harapan masa depan bangsa, akan mendorong semua tindakan yang menyangkut kepentingan anak, baik yang dilakukan oleh lembaga pemerintah, lembaga peradilan, lembaga legislatif maupun masyarakat akan memberikan prioritas tinggi kepada pemenuhan dan perlindungan hak-hak anak, demi kepentingan terbaik anak Indonesia.
Situasi dan kondisi anak Indonesia saat ini, mencerminkan adanya penyalah gunaan anak (abuse), eksploitatif, diskriminatif dan mengalami berbagai tindakan kekerasan yang membahayakan perkembangan jasmani, rohani, dan sosial anak. Keadaan ini, tentunya sangat memprihatinkan bagi bangsa dan negara Indonesia, karena anak dari aspek agama merupakan amanah dan karunia dari Tuhan Yang Maha Esa yang harus dijaga harkat dan martabatnya sebagai mahluk ciptaan–Nya. Dari aspek kehidupan berbangsa dan bernegara, anak adalah generasi penerus perjuangan bangsa dan penentu masa depan bangsa dan negara Indonesia. Untuk itu, diperlukan upaya-upaya yang akan memberikan perlindungan khusus kepada anak-anak Indonesia yang berada dalam keadaan sulit tersebut, ke dalam suatu Program Nasional Bagi Anak Indonesia sebagai tindak lanjut Sidang Umum PBB Untuk Anak yang melahirkan deklarasi “ A World Fit For Children “.
Hakekat pembangunan nasional adalah pembangunan manusia Indonesia seutuhnya. Hal ini berarti bahwa pembangunan tidak hanya mengejar kemajuan lahiriah seperti pangan, sandang, perumahan, dan kesehatan dan sebagainya, melainkan keselarasan dan keserasaian serta keseimbangan secara menyeluruh.
Kelangsungan dan berhasilnya pembangunan sangat bergantung kepada situasi, kondisi, keamanan, stabilitas, dan keadaan negara yang konsisten. Oleh karena itu perlu usaha memelihara dan mengembangkan stabilitas nasional yang sehat, dinamis di bidang politik, ekonomi, serta sosial. Stabilitas di bidang politik akan tumbuh dengan tegaknya kehidupan konstitusional demokratis berdasakan hukum dan selanjutnya meningkatkan usaha memelihara ketertiban serta kepastian hkum yang mampu mengayomi masyarakat. Pembangunan nasional yang merupakan proses modernisasi membawa dampak positif maupun negatif. Hal ini dengan dapat dibuktikan dengan banyaknya perbuatan pidana (openbare orde) atau kenakalan anak-anak.
Lebih dari 4.000 (empat ribu) anak Indonesia diajukan ke pengadilan setiap tahunnya atas kejahatan ringan seperti pencurian. Pada umumnya mereka tidak mendapatkan dukungan dari pengacara maupun dinas sosial. Maka tidaklah mengejutkan, sembilan dari sepuluh anak ini akhirnya dijebloskan ke penjara atau rumah tahanan.
Pada tahun 2000, tercatat dalam statistik kriminal kepolisian Republik Indonesia terdapat lebih dari 11.344 (sebelas ribu tiga ratus empat puluh empat) anak yang disangka sebagai pelaku tindak pidana. Pada bulan Januari hingga Mei 2002, ditemukan 4.325 (empat ribu tiga ratus dua puluh lima) tahanan anak di rumah tahanan dan lembaga pemasyarakatan di seluruh Indonesia. Lebih menyedihkan, sebagian besar 84 % (delapan puluh empat persen) anak-anak ini berada di dalam lembaga penahanan dan pemenjaraan untuk orang-orang dewasa dan pemuda. Jumlah anak-anak yang ditahan tersebut, tidak termasuk anak-anak yang ditahan dalam kantor polisi (Polsek, Polres, dan Polda). Pada rentang waktu yang sama, yaitu Januari hingga Mei 2002, telah tercatat 9.465 (sembilan ribu empat ratus enam puluh lima) anak-anak yang berstatus sebagai Anak Didik (Anak Sipil, Anak Negara dan Anak Pidana) tersebar di seluruh rumah tahanan dan lembaga pemasyarakatan. Sebagian besar, yaitu 53 % (lima puluh tiga persen) berada di rumah tahanan dan lembaga pemasyarakatan untuk orang dewasa dan pemuda.
Keberadaan anak-anak dalam tempat penahanan dan pemenjaraan bersama orang-orang yang lebih dewasa, menempatkan anak-anak pada situasi rawan menjadi korban berbagai tindak kekerasan. Anak-anak dalam kondisi demikian disebut dengan anak yang berkonflik dengan hukum (children in conflict with the law). Anak yang berkonflik dengan hukum dapat didefinisikan anak yang disangka, dituduh atau diakui sebagai telah melanggar hukum pidana.
Majelis Umum PBB dalam Standard Minimum Rules for the Administration of Juvenile Justice atau yang dikenal dengan Beijing Rules mendefisinikannya sebagai berikut: “a child or young person who is alleged to have committed or who has been found to have committed an offence”.
Dalam perspektif Konvensi Hak Anak atau KHA (Convention The Rights of The Child/CRC), anak yang berkonflik dengan hukum dikategorikan sebagai anak dalam situasi khusus (children in need of special protection/CNSP).
UNICEF menyebut anak dalam kelompok ini sebagai “children in especially difficult circumstances” (CEDC) karena kebutuhan-kebutuhannya tidak terpenuhi, rentan mengalami tindak kekerasan, berada di luar lingkungan keluarga (berada pada lingkup otoritas institusi negara), membutuhkan perlindungan berupa regulasi khusus, dan membutuhkan perlindungan dan keamanan diri. Kebutuhan-kebutuhan ini tidak dapat dipenuhi karena anak tersebut tidak mendapatkan perlindungan dan perawatan yang layak dari orang dewasa yang berada di lingkungan tempat di mana anak biasanya menjalani hidup.
Seseorang yang melanggar hukum pidana akan berhadapan dengan negara melalui aparat penegak hukumnya. Sebagai sebuah instrumen pengawasan sosial, hukum pidana menyandarkan diri pada sanksi karena fungsinya memang mencabut hak orang atas kehidupan, kebebasan, atau hak milik mereka. Invasi terhadap hak dasar ini dibenarkan demi melestarikan masyarakat dan melindungi hak-hak fundamental dari gangguan orang lain.
Menurut ilmu kriminologi, pelanggaran hukum pidana berkaitan dengan aliran klasik yang dipelopori oleh Cesare Beccaria dan Jeremy Bentham yang berkembang sekitar abad-XVIII. Secara sederhana aliran atau inti ajaran klasik menyatakan bahwa manusia melakukan kejahatan karena kemauan dan kepentingannya sendiri. Kejahatan merupakan konsekuensi logis dari sifat alami manusia yang memiliki kehendak bebas.
Selanjutnya aliran ini berkembang menjadi aliran Neo Klasik yang merupakan penerus ajaran para utilitarian seperti Jeremy Bentham dan Cesare Lombrosso. Pertanyaan besar yang dipertanyakan oleh aliran ini adalah apakah benar hukuman itu merupakan penghalang terjadinya kejahatan lain yang efektif?Travis Hirschi dan David Matza adalah tokoh-tokoh yang mendukung aliran ini.
Pencabutan kebebasan seseorang dalam doktrin Hukum Hak Asasi Manusia Internasional termasuk rumpun Hak Sipil dan Hak Politik, karena menyangkut pemajuan dan perlindungan martabat dan keutuhan manusia secara individual. Terdapat 3 (tiga) hak yang bersifat lebih fundamental daripada hak lain untuk mencapai maksud tersebut, yakni hak atas hidup, keutuhan jasmani, dan kebebasan. Pada ketiga hak inilah semua hak lain bergantung, tanpa ketiga hak ini, hak-hak lain sedikit atau sama sekali tidak bermakna.
Dalam konteks pencabutan kebebasan seseorang, doktrin Hak Asasi Manusia memberikan legitimasi yakni sepanjang seseorang melakukan tindak pidana. Kovenan Internasional Hak Sipil dan Hak Politik (International Covenant Civil and Politic Rights/ICCPR), sebagai instrumen Hukum Hak Asasi Manusia Internasional utama (core instrument of human rights) yang memayungi hak sipil dan hak politik, mengatur persoalan pencabutan kebebasan seseorang terkait dengan tindak pidana yang dilakukannya setidaknya dalam pasal-pasal berikut: Pasal 9, Pasal 10, Pasal 14, dan Pasal 15. Namun dalam pelaksanaan proses peradilan pidana, terdapat larangan dan pembatasan untuk melakukan tindakan sebagai berikut: diskriminasi (Pasal 2 ayat (1), Pasal 26), melakukan penyiksaan (Pasal 7), dan menjatuhkan hukuman mati (Pasal 4 ayat (2), Pasal 6 ayat (1 sampai dengan 6).
Pasal 47 ayat (1) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan yang menyatakan Kepala LAPAS berwenang memberikan tindakan disiplin atau menjatuhkan hukuman disiplin terhadap Warga Binaan Pemasyarakatan yang melanggar peraturan keamanan dan ketertiban di lingkungan LAPAS yang dipimpinnya, maka anak akan berada pada sebuah institusi yang berpotensi melakukan tindakan kekerasan. Potensi kekerasan semakin ditampakkan Pasal 48 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan menetapkan bahwa pada saat menjalankan tugasnya, petugas LAPAS diperlengkapi dengan senjata api dan sarana keamanan yang lain. Kondisi ini jelas menempatkan anak pada suatu institusi yang mengancam kehidupan anak karena ketentuan tersebut tidak memberikan pengecualian kepada petugas LAPAS Anak. Seharusnya petugas LAPAS Anak tidak perlu dilengkapi dengan senjata api atau peralatan keamanan lain. Peraturan PBB bagi Perlindungan Anak yang Kehilangan Kebebasannya, Butir 65 menetapkan bahwa pembawaan dan penggunaan senjata oleh personil fasilitas pemasyarakatan harus dilarang pada setiap fasilitas di mana anak-anak ditahan.
Negara dibebani kewajiban untuk melakukan tindakan-tindakan berikut: memperlakukan secara manusiawi (Pasal 10 ayat (1)), menyamakan kedudukan di muka hukum (Pasal 14(1)), menerapkan asas praduga tidak bersalah (Pasal 14 ayat (2)), menjamin proses peradilan pidana yang efektif dan imparsial (Pasal 14), dan menerapkan asas retroaktif (Pasal 15). Pasal-pasal ini dapat dielaborasi dan diinterpretasikan dengan merujuk pada ketentuan Hukum Hak Asasi Manusia Internasional lain guna melihat kewajiban negara lebih jauh dalam menghargai, melindungi, dan memenuhi hak asasi seseorang yang tengah menghadapi proses hukum. Implementasi kewajiban-kewajiban tersebut di atas nampak dalam praktik negara melalui aparatnya dalam mewujudkan sistem peradilan pidana (integrated criminal justice system).
Keterpaduan sistem peradilan pidana dimaknai sebagai “…the collective institutions through which in accused offender passes until the accusations have been dispossed of or the assessed punishment concluded…”. Sistem peradilan pidana terpadu bukanlah suatu sistem yang bekerja dalam satu unit kerja atau bagian yang menyatu secara harfiah melainkan adanya kombinasi yang serasi antar sub-sistem untuk mencapai satu tujuan.
Hal keterpaduan, sebagaimana yang dinyatakan Pillai, yaitu :
“…the concept of an Integrated Criminal Justice System does not envisage the entire system working as one unit or department or as different section on one unified service. Rather, it might be said to work on the principle of ‘unity in diversity’ somewhat like that under which the armed forces function. Each of the three main armed services own its distinctive roles, its training schemes, its own personnel, and its own operational method”.
Merujuk pada makna di atas maka lembaga-lembaga yang terkait dalam sistem peradilan pidana terpadu di Indonesia, dalam hal ini dimulai dari lembaga yang bertugas dalam proses penyelidikan hingga pada lembaga yang bertugas dalam tahap pelaksanaan putusan, yakni diawali pada institusi kepolisian, institusi kejaksaan, institusi kehakiman, hingga diakhiri institusi lembaga pemasyarakatan.
Dengan demikian rangkaian proses hukum bagi orang yang dituduh melakukan tindak pidana akan melalui tahapan penyelidikan, tahapan penyidikan, tahapan penuntutan, tahapan persidangan, dan tahapan menjalani eksekusi. Artinya sejak penangkapan sampai menjalani hukuman orang ini akan berhadapan dengan institusi yang mempunyai kewenangan monopoli secara eksklusif untuk melakukan kekerasan, yakni negara. Selain hal itu, negara secara sah membuat instrumen represi dan mendayagunakan instrumen tersebut secara legal dan terlegitimasi.
Instrumen tersebut termanifestasi dalam perangkat hukum pidana. Padahal negara secara definitif berpotensi melakukan pelanggaran hak asasi manusia. Oleh karena itu dapat pula dikatakan keseluruhan rangkaian tersebut berpotensi pula melanggar hak asasi manusia. Kesemua rangkaian ini jika dianalisis dengan alas pijak ketentuan-ketentuan Kovenan Hak Sipil dan Hak Politik dengan koridor proses hukum yang semestinya, maka terdiri dari: hak terdakwa dalam pra pemeriksaan pengadilan; hak terdakwa atas pemeriksaan pengadilan yang adil; dan pembatasan-pembatasan hukum.
Upaya perlindungan anak perlu dilaksanakan sedini mungkin, yakni sejak dari janin dalam kandungan samapi anak berumur 18 (delapan belas) tahun. Bertitik tolak dari konsepsi perlindungan anak yang utuh, menyeluruh, dan komprehensif, maka Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak meletakkan kewajiban memberikan perlidungan kepada anak berdasarkan asas-asas sebagai berikut:
a. Nondiskriminasi;
b. Kepentingan yang terbaik bagi anak;
c. Hak untuk hidup, kelangsungan hidup, dan perkembangan; dan
d. Penghargaan terhadap pendapat anak.
Demikian pula halnya jika anak-anak berhadapan dengan hukum, maka potensi hak-haknya dilanggar oleh negara lebih besar ketimbang orang dewasa yang melakukan tindak pidana. Potensi ini dikarenakan anak merupakan sosok manusia yang dalam hidup kehidupannya masih menggantungkan pada intervensi pihak lain. Doktrin Hak Asasi Manusia mengkategorikan kelompok ini sebagai kelompok rentan (vulnerable group). Konsekuensi yuridisnya kelompok ini seharusnya mendapatkan perhatian lebih dari negara. Terkait dengan kelompok tersebut, Kovenan Hak Sipil dan Hak Politik menegaskan bahwa setiap anak berhak untuk mendapatkan hak atas langkah-langkah perlindungan karena statusnya sebagai anak di bawah umur, terhadap keluarga, masyarakat dan negara (Pasal 24 (1)).
Muladi dalam kapita selekta sistem peradilan pidana menjelaskan:
1) Jangan menggunakan hukum pidana dengan emosional untuk melakukan pembalasan semata-mata.
2) Hukum pidana hendaknya jangan di gunakan untuk memidana perbuatan yang tidak jelad korban atau kerugiannya.
3) Hukum pidana jangan di pakai guna mencari sesuatu tujuan yang pada dasarnya dapat di capai dengan cara lain yang sama efektifnya dengan penderitaan atau kerugian yang lebih sedikit.
4) Jangan memakai hukum pidana apabila kerugian yang di timbulkan lebih daripada kerugian yang di akibatkan oleh tindak pidana yang akan di rumuskan.
5) Hukum pidana jangan di gunakan apabila hasil sampingan (by product) yang lebih merugikan di bandingkan dengan perbuatan yang di kriminalisasikan.
6) Jangan menggunakan hukum pidana apabila tidak sebanding oleh masyarakat secara luas.
7) Jangan mempergunakan hukum pidana apabila penggunaannya di perkirakan tidak dapat efektif (enforceable).
8) Hukum pidana harus universalistic.
9) Hukum pidana harus rasional.
10) Hukum pidana harus menjaga keserasian antara order legitimation and competence.
11) Hukum pidana harus menjaga keselarasan antara social defence, prosedural, fearness and subtantive justice.
12) Hukum pidana harus menjaga keserasian antara moralis komunal, moralis, kelembagaan, dan moralis sipil.
13) Penggunaan hukum pidana harus memperhatikan korban kejahatan.
14) Dalam hal-hal tertentu hukum pidana harus mempertimbangkan secara khusus, skala prioritas kepentingan pengaturan.
15) Penggunaan hukum pidana sebagai sarana represif harus di dayagunakan secara serentak dengan pencegahan non penal prevention without punishment.
Masalah pembinaan generasi muda merupakan bagian integral dari masalah pembangunan. Oleh sebab itu sebagian masalah pembinaan yaitu pembinaan yustisial terhadap generasi muda khususnya anak-anak perlu mendapat perhatian serta pembahasan tersendiri. Hal ini dapat direalisasikan dengan adanya peradilan khusus agar terdapat jaminan bahwa penyelesaian dilakukan dengan benar-benar untuk kesejahteraan anak yang bersangkutan dan kepentingan masyarakat tanpa mengabaikan terlaksananya hukum dan keadilan.
Kewajiban negara sangat dominan dalam perkembangan perundang-undangan yang berlaku bagi anak-anak, khususnya dengan dikeluarkannya Surat Edaran Kejaksaan Agung pada Mahkamah Agung No. P 1/20 tertanggal 30 \Maret 1951 yan menjelaskan tentang penjahat anak-anak adalah mereka yang menurut hukum pidana melakukan perbuatan yang dapat dihukum, belum berusia 16 tahun. Jaksa Agung dalam hal ini menekankan bahwa menghadapkan penjahat anak-anak ke muka hakim (pengadilan) hanya sebagai langkah terakhir atau ultimum remedium. Sedangkan bagi penjahat anak-anak yang dimungkinkan ada penyelesaian lain, maka perlu dipertimbangkan. Lembaga yang tepat untuk menyelesaikan masalah tersebut adalah Kantor Pejabat Sosial dan Pro Juventure. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 telah mencabut Pasal 45, 46, dan 47 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang mengatur straf modus dan straf sort tentang sistem pemidanaan untuk anak, dengan tujuan semata-mata untuk memberikan perlindungan dari stigma pada jiwa anak dalam menjalani proses perkara pidana. Akantetapi pada tataran implementasinya dirasakan tidak dapat memenuhi tujuan dilahirkannya Undang-undang yang dimaksud, karena pendekatan yuridis formal lebih ditonjolkan dan tertutup dilakukannya upaya diskresi dalam mencari solusi perkara anak nakal.
Model peradilan restoratif yang lebih menekankan diskresi untuk penyelesaian masalah anak nakal, memberikan alternatif sebagai upaya menghindarkan stigma mental anak pada proses hokum. Model peradilan restoratif ini, pada tataran ius constotuendum peradilan anak Indonesia adalah suatu pemikiran dalam rangka perumusan undang-undang peradilan anak.
Hebohnya dunia hukum anak di Indonesia pada tahun 2006 yang terangkat kepermukaan adalah kasus Raju. Anak berusia 8 (delapan) tahun ini ditahan selama 19 (sembilan belas) hari untuk menjalani proses hukum yang menimbulkan trauma. Proses persidangan yang dilakukan oleh Pengadilan Negeri Stabat Cabang Pangkalan Brandan Kabupaten Langkat Sumut telah sesuai dengan prosedural ketentuan hukum peradilan anak yang berlaku, namun tetap timbul berbagai protes dari para pemerhati anak Indonesia.
Sebagaimana dilansir Berita Harian Kompas yang memberitakan kasus Raju, menimbulkan berbagai tanggapan terhadap Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 yang bermunculan dari para pemerhati anak. Aparat penegak hukum sudah melakukan tugasnya dengan baik, tetapi justru menimbulkan masalah lain. Ketua Komnas Perlindungan Anak dan Direktur Lembaga Bantuan Hukum Jakarta meminta kasus Raju dijadikan pintu masuk untuk mengamandemen Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak. Berbagai kelemahan formulasi corak atau model sistem peradilan anak dipertaruhkan, padahal dianggap formulator sebagai model peradilan anak yang lebih baik dari Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang berkaiatan dengan masalah pengaturan tentang tindak pidana dan, pertanggungjawaban pidana serta pidana dan pemidanaannya.
Senin, 01 Juni 2009
Langganan:
Postingan (Atom)
Referensi Hukum
-
Sistem Peradilan Pidana (Criminal Justice System) adalah “sistem dalam suatu masyarakat untuk menanggulangi masalah kejahatan”. 1 Menangg...
-
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia sebagai salah satu negara yang berkembang memiliki ciri-ciri adanya pembangunan di segala bida...
-
1. Pengertian Bilyet Giro dan Cek a. Pengertian bilyet adalah surat perintah dari nasabah kepada bank yang memelihara giro nasabah tersebut...
-
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pengaruh globalisasi berupa perdagangan dapat dilihat di Indonesia berupa peningkatan pendirian perusaha...
-
A. Latar Belakang Anak merupakan aset bangsa yang merupakan bagian dari generasi muda anak berperan sangat strategis sebagai penentu suatu b...