Selamat Datang....

Statistik Pembaca


widget

Minggu, 20 Desember 2009

Tindak Pidana Dengan Sengaja Membiarkan Oranglain Melarat

Dalam hal suatu perkara (peristiwa) tidak disebut atau tidak jelas di dalam undang-undang, maka untuk menghubungkannya dengan Undang-undang itu, harus ditempuh beberapa cara, diantaranya yang terpenting adalah dengan penafsiran. Undang-undang kadang-kadang ditafsirkan secara luas, kadang-kadang diselesaikan dengan analogi ataupun dengan argumentum a contrario. Dengan menempuh cara-cara penafsiran di atas maka Hakim atas inisiatif sendiri dapat memperluas, menambah, menyesuaikan keadaan yang konkrit, ataupun menghubungkan peristiwa yang terjadi dengan Undang-undang. Tentang memperluas, menambah Undang-undang yang dibuat oleh hakim, menurut L.J. Van Apeldoorn adalah hal yang dibolehkan. (Utrecht , 230)
Penafsiran dalam suatu putusan hanya berlaku bagi kedua pihak dalam perkara itu saja. Putusan Hakim yang diperoleh dengan penafsiran tidak mengikat Hakim lainnya. Hakim dapat dengan inisiatif sendiri membuat tafsiran lain untuk menyesuaikan Undang-undang dengan peristiwa yang konkrit. Tugas menafsir ini akan sering dialami seorang Hakim, karena adanya ketegangan antara isi Undang-undang dengan keadaan yang berkembang dengan masyarakat. Undang-undang dibuat pada suatu saat tertentu, sebagai suatu momentopname dari suatu keadaan pada saat Undang-undang dibuat. Sedangkan hal-hal yang telah diatur itu, isinya atau pengertiannya dapat berkembang dan berubah-rubah. Pembuat Undang-undang memang bermaksud agar dalam kalimat-kalimat yang dilukiskannya dalam Undang-undang, sejauh mungkin mencukupi pengertian yang lengkap mengenai suatu hal yang diatur. Akan tetapi selalu dirasakan kesukaran-kesukaran bahasa untuk menyatakan maksud yang sebenarnya dari pembuat Undang-undang, hingga masalah penafsiran ini tidak mungkin dielakkan.
Dalam membicarakan batas-batas kekuasaan Hakim dalam membuat tafsiran sendiri terhadap sesuatu hal dalam Undang-undang hukum pidana pertama-tama perlu dikemukakan suatu asas yang terkandung di dalam pasal 1 ayat (1) KUHP, yaitu asas “Nullum delictum nulla poena sine praevia lege poenali”. Pasal 1 ayat 1 KUHP berbunyi sebagai berikut: Tiada suatu perbuatan boleh dihukum, melainkan atas kekuatan ketentuan pidana dalam undang-undang yang ada terdahulu dari pada perbuatan itu. (Soesilo, 1995 : 65)
Asas yang tercantum di dalam Pasal 1 ayat (1) KUHP tersebut merupakan suatu jaminan kepastian hukum. Seseorang baru dapat dihukum atas perbuatannya, bila sanksi pidana atas perbuatan itu telah diatur lebih dulu di dalam Undang-undang. Bagaimana pun jahatnya suatu perbuatan itu, tidak akan dapat dihukum apabila belum ada peraturan perundang-undangan yang melarangnya serta menyebut sanksinya. Penguasa tidak dapat secara sewenang-wenang menghukum seseorang, bila bertentangan dengan prinsip tersebut di atas. Pencegahan tindakan sewenang-wenang dari penguasa inilah yang menjadi tujuan utama dari asas yang terkandung dalam Pasal 1 ayat (1) KUHP tersebut. Setiap individu di dalam masyarakat mendapat perlindungan dari tindakan penghukuman yang tidak sepantasnya. Dengan demikian prinsip ini, dilarang menghukum suatu perbuatan yang secara nyata belum diatur di dalam Undang-undang.
Jika dilihat dari berkas surat tuntutan pidana No. Reg Perkara: PDM-1753/Ep.2/Mdn/09/2006 (Studi Kasus No. Reg. 4178/Pid.B/2006/PN-Medan), unsur-unsur tindak pidana yang didakwakan kepada terdakwa Abdul Rahman Halim als Tjun Min Bin Bahdar oleh Majelis Hakim, yaitu :
Bahwa yang dimaksud dengan barang siapa dalam unsur ini adalah subjek hukum sebagai pendukung hak dan kewajiban, yaitu terdakwa Abdul Rahman Halim Als Tjun Min Bin Bahdar, pada saat ditanyakan oleh Majelis Hakim identitas terdakwa adalah sesuai dengan apa yang tercantum dalam surat dakwaan, dan terdakwa selama persidangan dapat menjawab segala pertanyaan dengan baik dan cakap bertindak dalam hukum dan dapat dimintai pertanggung jawabannya secara hukum atas perbuatannya dan tidak ada ditemukan alasan pemaaf maupun pembenar.
Dengan sengaja menyebabkan atau membiarkan orang dalam kesengsaraan sebab ia wajib memberikan kehidupan perawatan atau pemeliharaan pada orang itu karena hukum yang berlaku.
Berdasarkan fakta-fakta yang terungkap di persidangan yaitu dari keterangan saksi-saksi serta keterangan dari terdakwa benar bahwa pada hari Jumat tanggal 29 Pebruari 2002 terdakwa telah menikahi saksi Nurjannah binti Amrin secara Islam, dari hasil pernikahan tersebut saksi telah melahirkan seorang anak laki-laki bernama Nur Rahman, kemudian pada tanggal 28 April 2004 terdakwa dan saksi Nur Jannah telah resmi bercerai, dimana hak pemeliharaan anak adalah saksi Nurjannah binti


Amrin selaku ibu kandung,Medan dan isi Surat Perjanjian diwajibkan memberi nafkah terhadap anaknya bernama Nur Rahman als Yang Yang setiap bulan sebesar Rp. 1.000.000,- (satu juta rupiah), namun setelah adanya putusan Pengadilan tersebut terdakwa tidak pernah memberikan nafkah terhadap anak terdakwa, akibat dari perbuatan terdakwa yang tidak memberi nafkah tersebut, mengakibatkan kesengseraan bagi Nur Rahman Halim als Yang Yang menjadi sering sakit-sakitan karena kekurangan gizi dan kurang perawatan.
Sebenarnya semua peristiwa pidana bersifat melawan hukum hanya saja agar kekhawatiran di atas tadi jangan timbul, maka kadang-kadang istilah non hukum perlu dicantumkan. Di samping itu ada juga sarjana berpendapat bahwa pencantuman istilah melawan hukum itu dimaksudkan untuk kepentingan penuntutan. Di dalam penuntutan harus dibuktikan adanya unsur melawan hukum dalam suatu perbuatan apabila dalam perumusan Undang-undang tentang perbuatan itu ada disebut “melawan hukum”. Jika dilihat dari berkas surat tuntutan pidana No. Reg Perkara: PDM-1753/Ep.2/Mdn/09/2006 (Studi Kasus No. Reg. 4178/Pid.B/2006/PN-Medan), terdakwa telah melawan hukum Pasal 304 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dan Pasal 77 huruf b Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.
Unsur dari peristiwa pidana lainnya adalah kesalahan. Kesalahan merupakan faktor subjektif, yaitu adanya hubungan psychis (sikap batin) si pembuat dan perbuatannya, karena itu kesalahan ini dapat berupa sengaja atau berupa kealpaan. Sebagai unsur keempat peristiwa pidana ialah dapat dipertanggungjawabkan. Tentang hal ini, Van Hammel mengatakan bahwa; seseorang dapat dipertanggungjawabkan, apabila memiliki keadaan psikis yang menimbulkan kesanggupan menginsafi tujuan perbuatan, bahwa perbuatan itu dilarang dan dapat menentukan kehendaknya (Utrecht, 242).

A. Tindak Pidana Secara Umum
1. Pengertian Tindak Pidana
Tindak pidana memiliki pengertian perbuatan yang dilakukan setiap orang/subjek hukum yang berupa kesalahan dan bersifat melanggar hukum ataupun tidak sesuai dengan perundang-undangan. Pembentuk Undang-Undang menggunakan istilah strafbaarfeit untuk menyebutkan istilah tindak pidana. Subjek dalam tindak pidana berupa:
a. Setiap orang yang melakukan sesuatu tindak pidana di Indonesia (Pasal 2 KUHP).
b. Setiap orang Indonesia yang melakukan kejahatan berdasarkan Pasal 104, 106, 107, 108, dan 131 KUHP (Pasal 4 KUHP).
c. Setiap orang Indonesia yang melakukan kejahatan mengenai mata uang atau uang kertas yang dikeluarkan oleh negara atau bank, ataupun mengenai meterai yang dikeluarkan dan merek yang digunakan oleh pemerintah Indonesia (Pasal 4 KUHP).
d. Setiap orang yang melakukan pemalsuan surat hutang atau sertifikat hutang atas tanggungan Indonesia, atas tanggungan suatu daerah atau bagian daerah Indonesia, termasuk pula pemalsuan talon, tanda dividen atau tanda bunga, yang mengikuti surat atau sertifikat itu, dan tanda yang dikeluarkan sebagai pengganti surat tersebut, atau menggunakan surat-surat tersebut di atas, yang palsu atau dipalsukan, seolah-olah asli dan tidak dipalsu (Pasal 4 KUHP).
e. Setiap orang yang melakukan salah satu kejahatan yang tersebut dalam Pasal-pasal 438, 444 sampai dengan 446 tentang pembajakan laut dan Pasal 447 tentang penyerahan kendaraan air kepada kekuasaan bajak laut dan Pasal 479 huruf j tentang penguasaan pesawat udara secara melawan hukum, Pasal 479 huruf I, m, n, dan o tentang kejahatan yang mengancam keselamatan penerbangan sipil (Pasal 4 KUHP).
f. Warga Negara Indonesia yang berada di luar Indonesia yang melakukan salah satu kejahatan tersebut dalam Bab I dan II Buku Kedua dan Pasal-pasal 160, 161, 240, 279, 450, dan 451 KUHP (Pasal 5 KUHP).
g. Warga Negara Indonesia yang berada di luar Indonesia yang melakukan salah satu perbuatan yang oleh suatu ketentuan pidana dalam perundang-undangan Indonesia dipandang sebagai kejahatan, sedangkan menurut perundang-undangan negara dimana perbuatan dilakukan diancam dengan pidana (Pasal 5 KUHP).
h. Orang yang melakukan, yang menyuruh melakukan atau yang turut melakukan perbuatan pidana (Pasal 55 KUHP).
i. Orang yang dengan pemberian upah, perjanjian, salah memakai kekuasaan atau martabat, memakai paksaan, ancaman atau tipu karena memberi kesempatan, ikhtiar atau keterangan, dengan sengaja menghasut supaya perbuatan itu dilakukan (Pasal 55 KUHP).
Syarat-syarat pokok dari suatu delik adalah:
a. Dipenuhinya semua unsur dari delik seperti yang terdapat di dalam rumusan delik.
b. Dapat dipertanggungjawabkan si pelaku atas perbuatannya.
c. Tindakan dari perlaku tersebut harus dilakukan dengan sengaja ataupun tidak dengan sengaja.
d. Pelaku tersebut dapat dihukum. (Lamintang, 1997 : 187)
Adanya suatu sanksi/hukuman terhadap pelaku tindak pidana akan membawa dampak yang cukup berarti bagi pelaku yang dapat dihukum. Pada prinsipnya dalam hukum pidana di Indonesia, tujuan pemberian sanksi pidana bagi pelaku tindak pidana harus berfungsi untuk membina atau membuat pelanggar hukum menjadi tobat dan bukan berfungsi sebagai pembalasan. Pemahaman yang demikian sesuai dengan pandangan hidup bangsa (way of life) yang terkandung dalam Pancasila yang menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan. Awalnya, sanksi pidana berupa penjara itu dikenal sebagai salah satu sarana untuk membalas dendam bagi seorang pelaku kejahatan, tanpa memperhitungkan setimpal atau tidaknya sanksi pidana itu dengan kejahatan yang dilakukannya. (Barda Arief, 1989 : 12)
2. Unsur-Unsur Tindak Pidana
Terdiri atas 2 (dua) bagian, yaitu unsur subjektif dan unsur obejktif. Unsur-unsur subjektif dari sesuatu tindak pidana adalah:
a. Kesengajaan atau ketidaksengajaan (dolus atau culpa).
b. Maksud atau voornemen pada suatu percobaan atau poging.
c. Macam-macam maksud atau oogmerk.
d. Merencanakan terlebih dahulu atau voorbedachte raad.
e. Perasaan takut atau vrees.
Sedangkan unsur-unsur objektif dari sesuatu tindak pidana itu adalah:
a. Sifat melanggar hukum atau wederrechtelijkheid.
b. Kualitas dari si pelaku.
c. Kausalitas, yakni hubungan antara sesuatu tindakan sebagai penyebab dengan sesuatu kenyataan sebagai akibat. (Lamintang, 1997 : 194)
3. Jenis-Jenis Tindak Pidana
Pada kenyataannya tidak ada perbedaan sifat antara delik formal dan delik materil. Menurut Moelijatno, perbedaan hanya dalam tulisan yang bisa dilihat kalau membaca perumusan masing-masing delik. Delik formal merupakan singkatan dari delik yang dirumuskan secara formal, sedang delik materil adalah delik yang dirumuskan secara materil. Dikatakan ada perumusan formal jika yang disebut atau menjadi pokok formulering adalah kelakuannya. Yang dilarang pada pokoknya adalah perbuatan dari pelaku (dader). Akibat dari kelakuan itu dianggap tidak penting dimasukkan dalam perumusan delik. Selanjutnya dikatakan ada delik materil apabila yang menjadi pokok formulering atau yang disebut dalam perumusan pasal itu adalah akibat dari suatu perbuatan karena yang dilarang adalah terjadinya suatu akibat.
Pada awalnya ahli hukum telah membagi tindak pidana kedalam 3 (tiga jenis tindakan yang disebut crimina atrocissima, atrocia dan levia yang tidak didasarkan pada suatu asas tertentu, melainkan hanya didasarkan pada berat atau ringannya kejahatan.(Simons, 1981 : 129) Sedangkan para pembentuk Kitab Undang-Undang Hukum Pidana di Indonesia menemukan suatu pembagian yang lebih tepat mengenai jenis-jenis tindakan melawan hukum yang disebut rechdelicten dan wetsdelicten. Hal ini dapat dilihat dalam penjelasan Memorie van Toeclichting yang didasarkan pada asas:
1) Adalah merupakan suatu kenyataan bahwa memang terdapat sejumlah tindakan yang mengandung suatu “onrecht” sehingga orang pada umumnya memandang bahwa pelaku pantas dihukum, walaupun tindakan tersebut oleh pembentuk Undang-undang tidak dinyatakan sebagai tindakan yang terlarang didalam Undang-undang.
2) Akantetapi terdapat sejumlah tindakan dimana orang pada umumnya mengetahui sifatnya dari tindakan tersebut sebagai tindakan yang bersifat melawan hukum sehingga pelakunya dapat dihukum, yaitu setelah tindakan tersebut dinyatakan sebagai tindakan yang terlarang didalam Undang-undang.
Yang dimaksud dengan “rechtsdelicten” adalah delik-delik yang dimaksud dalam angka 1 diatas, yakni karena delik-delik semacam itu bertentangan dengan hukum yang tidak tertulis. Sedangkan yang dimaksud dengan “wetsdelicten” adalah delik-delik yang memperoleh sifatnya sebagai tindakan yang pantas untuk dihukum. Oleh karena itu dinyatakan demikian didalam peraturan perundang-undangan. (Simons, 1981 : 182)
Pembagian delik atas jenis-jenis delik pada dasarnya menyangkut cara perumusan delik tersebut dalam hukum pidana. Namun sebelum membahas jenis-jenis delik perlu dikemukakan unsur-unsur suatu delik secara umum yaitu sebagai berikut:
1) Perbuatan yang dapat dipidana.
Adalah suatu perilaku manusia yang ditolak dalam suatu pergaulan hidup tertentu dan dianggap sebagai perilaku yang harus ditiadakan oleh hukum pidana dengan menggunakan sarana hukum yang bersifat memaksa.
2) Perbuatan itu bertentangan dengan hukum yang berlaku.
Adalah setiap tindakan melawan hukum yang menurut sifatya bertentangan dengan tertib hukum yang berlaku dan kepentingan-kepentingan yang terdapat didalam masyarakat yang dikenal dengan istilah “onrechtmatige handeling”.
3) Adanya kesalahan.
Adanya kesalahan harus didasarkan pada nilai “keadilan”, dan disejajarkan berpasangan dengan asas legalitas yang didasarkan pada nilai “kepastian”.
4) Dilakukan oleh orang yang dapat dipertanggungjawabkan.
Adalah mereka yang tidak cacat jiwanya, baik disebabkan oleh gangguan psikis maupun gangguan fisik. Dengan demikian hakim tidak menjatuhkan pidana karena jiwanya cacat, namun hakim dapat menetapkan terdakwa dirawat di rumah sakit. Jika ada hubungan antara batin pelaku dengan akibat yang timbul karena perbuatannya itu atau ada hubungan lahir yang merupakan hubungan kausal antara perbuatan pelaku dengan akibat yang dilarang itu, maka hukuman pidana dapat dijatuhkan kepada si pelaku atas perbuatan pidananya itu. Sebab pertanggungjawaban pidana atas perbuatannya itu secara jelas dapat ditimpakan kepada pelakunya itu.
Tetapi jika hubungan kausal tersebut tidak ada maka pertanggungjawaban pidana atas perbuatan pidananya itu tidak dapat ditimpakan kepada pelakunya itu sehingga hukuman pidana tidak dapat dijatuhkan kepada pelakunya itu.
Dalam hal ini terdapat dua pandangan yakni dualistis dan monoistis. Dalam pandangan yang terakhir tersebut unsur kemampuan bertanggung jawab tidak dimasukkan sebagai unsur suatu tindak pidana tetapi sekedar menentukan apakah pelaku dapat dipidana atau tidak. Selanjutnya sesuai dengan cara perumusan delik dapat dianalisis atau diklasifikasikan berbagai jenis delik. Klasifikasi ini sesuai dengan sudut tinjauan yang dipergunakan.
Apabila ditinjau secara formal dalam hukum pidana kodifikasi yang berlaku saat ini (KUHP) maka jenis delik adalah:
1) Delik yang dikelompokkan sebagai kejahatan (misdrijven) (Buku II KUHP).
2) Delik yang dikelompokkan sebagai pelanggaran (overtredingen). (Buku III KUHP).
Pembedaan atas delik kejahatan dan pelanggaran tersebut pada awalnya bersumber dari adanya perbedaan antara “rechtsdelicten” dan “wetsdelicten”.
Apabila kita menganalisis pembedaan tersebut di atas dengan menggunakan ketentuan Pasal 1 ayat 1 KUHP (asas legalitas) maka dapat dikatakan bahwa pembedaan antara kejahatan dan pelanggaran merupakan sesuatu yang kabur dan tidak mutlak. Dalam hukum pidana terdapat dua asas yang sangat fundamental dan saling melengkapi (berpasangan), yakni asas legalitas dan asas kesalahan. Kedua asas tersebut disebut fundamental karena landasan asas-asas tersebut berada pada tataran teoritis, kebijakan (policy), legislasi nasional suatu negara maupun dalam putusan-putusan hakim.
Di samping bersifat fundamental, asas-asas tersebut juga bersifat universal karena berlaku umum di seluruh dunia tidak hanya di Indonesia. Kedua asas tersebut juga dikatakan berpasangan karena mempunyai perbedaan antara keduanya, namun perbedaan tersebut menyebabkan adanya kebutuhan saling melengkapi, tidak dapat dipisahkan. asas legalitas berkaitan dengan aspek perbuatan sedang asas kesalahan berkaitan dengan pelaku (orang). Asas legalitas menghendaki adanya ketentuan yang pasti terlebih dahulu, baik mengenai perbuatan terlarang yang dapat dipidana maupun mengenai pidana itu sendiri. Sedangkan asas kesalahan menghendaki agar hanya orang yang benar-benar bersalah saja yang dapat dikenakan pemidanaan. Terminologi kesalahan merupakan alih bahasa yang dianggap paling tepat dari istilah “schuld” dalam Hukum Pidana Belanda yang dapat diartikan hubungan antara jiwa seseorang yang melakukan perbuatan (dader) dengan perbuatannya.
Menurut Van Hamel, pembagian tindak pidana menjadi kejahatan dan pelanggaran yang mendapat pengaruh dari asas diatas tetapi berbeda dengan maksudnya yang membawa akibat hukum bersifat hukum materil, yaitu:
a) Undang-undang tidak membuat suatu perbedaan antara opzet dan culpa didalam pelanggaran.
b) Percobaan untuk melakukan suatu pelanggaran tidak dapat dihukum.
c) Keturutsertaan atau medeplichtigheid didalam pelanggaran tidak dapat dihukum.
d) Didalam pelanggaran, pengurus atau anggota pengurus ataupun para komisaris hanya dapat dihukum apabila pelanggaran itu telah terjadi dengan sepengetahuan mereka.
e) Didalam pelanggaran tidak terdapat ketentuan bahwa adanya suatu pengaduan merupakan suatu syarat bagi penuntutan.
f) Jangka waktu kadaluarsa hak untuk melakukan penuntutan (Pasal 78 ayat 1 angka KUHP) dan hak untuk menjalani hukuman (Pasal 84 ayat 2 KUHP) pada pelanggaran itu pada umumnya adalah lebih singkat.
Selain pembagian tindak pidana diatas, masih terdapat pembagian lainnya dari tindak pidana sebagai berikut:
a) Delik formal dan delik materil.
b) Delicta commissionis, delicta omissionis dan delicta commisionis per omissionem commissa.
c) Opzettelijke delicten dan culpooze delicten.
d) Zelfstandige delicten dan voortgezette delicten.
e) Enkelvoudige delicten dan samengestelde delicten.
f) Aflopende delicten dan voortdurende delicten.
g) Klacht delicten dan gewone delicten.
h) Gemene delicten dan politieke delicten.
i) Eenvoudige, gequalificeerde delicten dan gepriviligieerde delicten.

B. Perlindungan Hukum Terhadap Anak
1. Pengertian Anak Secara Umum
Anak dalam pemaknaan yang umum memiliki aspek yang sangat luas, tidak saja hanya disoroti dan satu bidang kajian ilmu saja, melainkan dari berbagai bidang kajian baik dari sudut pandang agama, hukum, sosial-budaya, ekonomi, politik, dan aspek disiplin ilmu yang lainnya. Makna anak dari berbagai cabang ilmu akan memiliki perbedaan baik secara subtansial, fungsi, dan tujuan. Bila kita soroti dan sudut pandang agama, maka pemaknaan anak diasosiasikan bahwa anak adalah makhluk ciptaan Tuhan YME dimana keberadaannya melalui proses penciptaan yang berdimensi kewenangan kehendak Yang Kuasa. Secara rasional, seorang anak terbentuk dari unsur gaib yang transendental dari prosesi ratifikasi sains (ilmu pengetahuan) dengan unsur-unsur lahiriah yang diambil dari nilai-nilai material alam semesta dan nilai-nilai spiritual yang diambil dan prosesi keyakinan beragama. Berdasarkan konsep dasar agama sebagaimana telah dikemukakan diatas dan dikaitkan dengan proses hukum perlindungan anak, baik dalam melakukan pembinaan anak, pemeliharaan anak, yang pada akhirnya akan menjadikan anak sebagai pemimpin di tengah-tengah masyarakat pada saat sekarang.
Dalam berbagai peraturan perundang-undangan Indonesia, tidak terdapat pengaturan yang tegas tentang kriteria anak. Lain peraturan perundang-undangan, lain pula kriteria anak. Pasal 1 ayat (2) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak menentukan bahwa anak seseorang yang belum mencapai umur 21 (duapuluh satu) tahun dan belum pernah kawin. Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang 12 Tahun 1948 tentang Pokok Perburuhan menentukan bahwa anak adalah orang laki-laki atau perempuan 14 (empat belas) tahun ke bawah. Menurut Hukum Adat seseorang belum dewasa bilamana seseorang itu belum menikah dan berdiri belum terlepas dari tanggung jawab orang tua. (Hilman Hadikusuma, 1993 : 11)
Hukum adat menentukan bahwa ukuran seseorang telah dewasa bukan dari umurnya, tetapi ukuran yang dipakai adalah dapat bekerja sendiri, cakap melakukan yang disyaratkan dalam kehidupan masyarakat, dapat mengurus kekayaannya. (Irma Soemitro, 1990 : 19)
Sugiri mengatakan bahwa selama di tubuhnya berjalan proses pertumbuhan perkembangan, orang itu masih menjadi anak dan baru menjadi dewasa bila proses perkembangan dan pertumbuhan itu selesai, jadi batas usia anak adalah sama dengan permulaan menjadi dewasa, yaitu 18 (delapan belas) tahun untuk wanita dan 20 (dua puluh) tahun untuk laki-laki, seperti di Amerika, Yugoslavia, dan negara-negara Barat lainnya. (Romli Atmasasmita, 1984 : 34)
Zakiah Darajat mengatakan bahwa mengenai batas usia anak-anak dan dewasa berdasarkan pada usia remaja adalah bahwa masa usia 9 (sembilan) tahun antara 13 (tiga belas) tahun sampai 21 (dua puluh satu) tahun sebagai masa remaja merupakan masa peralihan antara masa anak-anak dan masa dewasa, dimana anak-anak mengalami pertumbuhan yang cepat di segala bidang dan mereka bukan anak baik bentuk badan, sikap, cara berpikir dan bertindak bukan pula orang dewasa. (Zakiah Darajat, 1983 : 101)
Hilman Hadikusuma mengatakan bahwa menarik batas antara belum dewasa dengan sudah dewasa, tidak perlu dipermasalahkan karena pada kenyataannya walaupun orang belum dewasa namun ia telah dapat melakukan perbuatan hukum, misalnya anak yang belum dewasa telah melakukan jual-beli, berdagang, dan sebagainya, walaupun berwewenang kawin. (Maulana Wadong, 2000 : 27)
Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak menentukan bahwa anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun,termasuk anak yang masih dalam kandungan. Hal penting yang perlu diperhatikan dalam peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan anak adalah konsekuensi penerapannya dikaitkan dengan berbagai faktor seperti kondisi ekonomi, sosial budaya masyarakat.
Dalam berbagai peraturan perundang-undangan perbedaan ketentuan yang mengatur tentang anak, hal ini dilatarbelakangi berbagai faktor yang merupakan prinsip dasar yang terkandung dalam dasar pertimbangan dikeluarkannya peraturan perundang-undangan yang bersangkutan yang berkaitan dengan kondisi dan perlindungan anak.
2. Perlindungan Anak di Indonesia
Perlindungan anak adalah segala usaha yang dilakukan untuk menciptakan kondisi agar setiap anak dapat melaksanakan hak dan kewajibannya demi perkembangan dan pertumbuhan anak secara wajar baik fisik, mental, dan sosial. Perlindungan anak merupakan perwujudan adanya keadilan dalam suatu masyarakat, dengan demikian perlindungan anak diusahakan dalam berbagai bidang kehidupan bernegara dan bermasyarakat. Kegiatan perlindungan anak membawa akibat hukum, baik dalam kaitannya dengan hukum tertulis maupun hukum tidak tertulis.
Hukum merupakan jaminan bagi kegiatan perlindungan anak. Arif Gosita mengemukakan bahwa kepastian hukum perlu diusahakan demi kelangsungan kegiatan perlindungan anak dan mencegah penyelewengan yang membawa akibat negatif yang tidak diinginkan dalam pelaksanaan perlindungan anak. (Arif Gosita, 1989 : 35)
Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 menentukan bahwa anak adalah segala kegiatan untuk menjamin dan melindungi haknya agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berprtisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi. Perlindungan anak diartikan sebagai segala upaya yang ditujukan untuk mencegah dan memberdayakan anak yang mengalami tindak perlakuan salah (child abused), eksploitasi, dan penelantaran, agar dapat menjamin keberlangsungan hidup dan tumbuh kembang anak secara wajar, baik fisik, mental, dan sosialnya. (Lembaga Advokasi Anak Indonesia, 1998 : 3)
Arif Gosita berpendapat bahwa perlindungan anak adalah usaha melindungi anak dapat melaksanakan hak dan kewajibannya. (Arif Gosita, 1989 : 52) Perlindungan hak-hak anak pada hakikatnya menyangkut langsung pengaturan dalam peraturan perundang-undangan. Kebijaksanaan, usaha dan kegiatan yang menjamin terwujudnya perlindungan hak-hak anak, pertama-tama didasarkan atas pertimbangan bahwa anak-anak merupakan golongan yang rawan dan dependent, di samping karena adanya golongan anak-anak yang mengalami hambatan dalam pertumbuhan dan perkembangannya, baik rohani, jasmani, maupun sosial.
Perlindungan anak bermanfaat bagi anak dan orang tuanya serta pemerintah, maka koordinasi kerjasama perlindungan anak perlu diadakan dalam mencegah ketidakseimbangan kegiatan perlindungan anak secara keseluruhan.(Maidin Gultom, 1997 : 53) Sehubungan dengan hal ini, Abdul Hakim Garuda Nusantara mengatakan bahwa “masalah perlindungan hukum bagi anak-anak merupakan satu sisi pendekatan untuk melindungi anak-anak Indonesia. Masalahnya tidak semata-mata bisa didekati secara yuridis tapi perlu pendekatan lebih luas, yaitu ekonomi, sosial, dan budaya".(Abdul Hakim, 1996 : 22)
Pelaksanaan perlindungan anak harus memenuhi syarat antara lain merupakan pengembangan kebenaran, keadilan, dan kesejahteraan anak harus mempunyai landasan filsafat, etika, dan hukum; secara rasional positif; dapat dipertanggungjawabkan; bermanfaat untuk yang bersangkutan; mengutamakan perspektif kepentingan yang diatur, bukan perspektif kepentingan yang mengatur; tidak bersifat aksidental dan komplimenter, tetapi harus dilakukan secara konsisten, mempunyai rencana operasional, memperhatikan unsur-unsur manajemen; melaksanakan respons keadilan yang restoratif (bersifat pemulihan); tidak merupakan wadah dan kesempatan cari keuntungan pribadi/kelompok; anak diberi kesempatan untuk berpartisipasi sesuai situasi dan kondisinya; berdasarkan citra yang tepat mengenai anak manusia; berwawasan permasalahan (problem oriented) dan bukan berwawasan target; tidak merupakan faktor kriminogen; tidak merupakan faktor viktimogen. (Abdul Hakim, 1996 : 66)
Perlindungan anak dapat dilakukan secara langsung maupun secara tidak langsung. Secara langsung maksudnya kegiatannya langsung ditujukan kepada anak yang menjadi sasaran penanganan langsung. Kegiatan seperti ini dapat berupa antaralain dengan cara melindungi anak dari berbagai ancaman dari luar dan dalam dirinya, mendidik, membina, mendampingi anak dengan berbagai cara, mencegah anak kelaparan dan mengusahakan kesehatannya dengan berbagai cara, menyediakan sarana pengembangan dirinya.
Perlindungan anak secara tidak langsung yaitu kegiatan tidak langsung ditujukan kepada anak, tetapi oranglain yang melakukan perlindungan anak. Usaha perlindungan demikian misalnya dilakukan oleh orangtua atau yang terlibat dalam usaha-usaha perlindungan anak terhadap berbagai ancaman dari luar ataupun dari dalam diri anak, mereka yang bertugas mengasuh, membina, mendampingi anak dengan berbagai cara; mereka yang terlibat mencegah anak kelaparan, mengusahakan kesehatan dan sebagainya dengan berbagai cara, mereka yang menyediakan sarana mengembangkan diri anak dan sebagainya; mereka yang terlibat dalam pelaksanaan sistem peradilan pidana.
C. Tinjauan Umum Tentang Tanggung Jawab Terhadap Anak
1. Tanggung Jawab Orangtua Terhadap Anak
Perlindungan anak diusahakan oleh setiap orang baik orangtua, keluarga, masyarakat, pemerintah maupun negara. Pasal 20 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 menentukan bahwa “negara, pemerintah, masyarakat, keluarga, dan orangtua berkewajiban dan bertanggungjawab terhadap penyelenggaraan perlindungan anak”. Jadi yang mengusahakan perlindungan anak adalah setiap anggota masyarakat sesuai dengan kemampuannya dengan berbagai dalam situasi dan kondisi tertentu. Setiap warga negara ikut bertanggungjawab terhadap dilaksanakannya perlindungan anak demi kesejahteraan anak.
Kebahagiaan anak merupakan kebahagiaan bersama, kebahagiaan yang dilindungi adalah kebahagiaan yang melindungi. Tidak ada keresahan pada anak karena perlindungan anak dilaksanakan dengan baik, anak menjadi sejahtera. Kesejahteraan anak mempunyai pengaruh positif terhadap orangtua, keluarga, masyarakat, pemerintah, dan negara. Perlindungan anak bermanfaat bagi anak dan orangtua, keluarga, masyarakat, pemerintah, dan negara.
Perlindungan anak diusahakan oleh setiap orang baik orangtua, keluarga, masyarakat, pemerintah maupun negara. Pasal 20 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 menentukan: "negara, pemerintah, masyarakat, keluarga, dan orangtua berkewajiban dan bertanggungjawab terhadap penyelenggaraan perlindungan anak".
Jadi yang mengusahakan perlindungan anak adalah setiap anggota masyarakat sesuai dengan kemampuannya dengan berbagai dalam situasi dan kondisi tertentu. Setiap warga negara ikut bertanggungjawab terhadap dilaksanakannya perlindungan anak demi kesejahteraan anak. Kebahagiaan anak merupakan kebahagiaan bersama, kebahagiaan yang dilindungi adalah kebahagiaan yang melindungi. Tidak ada keresahan pada anak karena perlindungan anak dilaksanakan dengan baik, anak menjadi sejahtera. Kesejahteraan anak mempunyai pengaruh positif terhadap orangtua, keluarga, masyarakat, pemerintah, dan negara. Perlindungan anak bermanfaat bagi anak dan orangtua, keluarga, masyarakat, pemerintah, dan Negara.
Koordinasi kerjasama kegiatan perlindungan anak perlu dilakukan dalam rangka mencegah ketidakseimbangan kegiatan perlindungan anak secara keseluruhan. Kewajiban dan tanggungjawab negara dan pemerintah dalam usaha perlindungan anak diatur dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002, yaitu:
a) Menghormati dan menjamin hak asasi setiap anak tanpa membedakan suku, agama, ras, golongan, jenis kelamin, etnik, budaya, dan bahasa, status hukum anak, urutan kelahiran anak dan kondisi fisik dan/atau mental. (Pasal 21 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002)
b) Memberikan dukungan sarana dan prasarana dalam penyelenggaraan perlindungan anak. (Pasal 22 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002)
c) Menjamin perlindungan, pemeliharaan, dan kesejahteraan anak dengan memperhatikan hak dan kewajiban orangtua, wali atau orang lain yang yang secara umum bertanggungjawab terhadap anak dan mengawasi penyelenggaraan perlindungan anak. (Pasal 23Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002)
d) Menjamin anak untuk mempergunakan haknya dalam menyampaikan pendapat sesuai dengan usia dan tingkat kecerdasan anak (Pasal 24 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002). (Maidin Gultom, 1997 : 39)
Kewajiban dan tanggungjawab masyarakat terhadap perlindungan anak dilaksanakan melalui kegiatan peran masyarakat dalam penyelenggaraan perlindungan anak. (Pasal 25 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002) Kewajiban dan tanggungjawab keluarga dan orangtua dalam usaha perlindungan anak diatur dalam Pasal 26 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002, yaitu:
a. mengasuh, memelihara, mendidik, dan melindungi anak.
b.Menumbuhkembangkan anak sesuai dengan kemampuan, bakat, dan minatnya; dan
c. mencegah terjadinya perkawinan pada usia anak-anak.
Dalam hal orangtua tidak ada, atau tidak diketahui keberadaannya atau karena suatu sebab, tidak dapat dilaksanakan kewajiban dan tanggungjawabnya, maka kewajiban dan tanggungjawab sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat beralih kepada keluarga, yang dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

2. Tanggung Jawab Negara Terhadap Anak
Asas perlindungan anak merupakan intepretasi yang benar dan sah terhadap Pancasila sebagai dasar Negara dan falsafah Negara yang telah dijabarkan dalam Pasal 34 Undang-Undang Dasar 1945 (amandemen ke IV). Perlindungan anak adalah suatu usaha mengadakan kondisi yang melindungi anak agar dapat melaksanakan hak dan kewajiban. Perlindungan anak harus diusahakan dalam berbagai bidang kehidupan bernegara dan bermasyarakat.
Masalah kepentingan terbaik bagi anak adalah masalah yang sulit. Konvensi Hak Anak menyatakan bahwa kemungkinan terbaik anak harus merupakan pertimbangan utama dalam segala hal. Hal ini tidak berarti bahwa prinsip kepentingan terbaik anak merupakan satu-satunya pertimbangan akan tetapi, prinsip ini harus diberikan bobot yang lebih besar dibandingkan faktor-faktor lainnya. Dalam perlindungan anak, kiranya sulit untuk menetapkan apa yang ada dalam kepentingan terbaik anak. Sering kali hanya merupakan tinjauan terhadap apa yang telah terjadi sehingga kita dapat mengukur apakah keputusan yang dihasilkan adalah keputusan yang tepat. Dalam konvensi hak anak dinyatakan “setiap anak tanpa memandang ras, jenis kelamin, asal usul keturunan, agama maupun bahasa mempunyai hak yang meliputi 4 (empat) bidang :
1) Hak atas kelangsungan hidup.
2) Hak untuk berkembang.
3) Hak perlindungan.
4) Hak partisipasi.
Dengan demikian tujuan Konvensi Hak Anak adalah:
1) Melindungi harkat dan martabat anak untuk kepentingan anak itu sendiri dan menjadi kepentingan anak hal yang utama.
2) Hak atas kelangsungan hidup.
3) Hak atas tingkat kehidupan yang layak.
4) Hak atas pelayanan kesehatan.
5) Hak untuk berkembang.
6) Hak atas pendidikan, Informasi, waktu luang, kegiatan seni dan budaya.
7) Hak atas kekerasan berpikir, berkeyakinan dan beragama.
8) Hak anak cacat atas pelayanan, perlakuan dan pendidikan khusus.
9) Hak perlindungan.
10) Perlindungan dari segala bentuk eksploitasi, perlakuan kekerasan, perlakuan sewenang-wenang dalam proses peradilan pidana.
11) Hak partisipasi.
12) Kebebasan menyatakan pendapat, berkumpul dan berserikat.

A. Penerapan konstruksi ketentuan perundang-undangan yang di kategorikan sebagai tindak pidana dengan sengaja membiarkan orang dalam kesengsaraan sedangkan dia wajib memberikan kehidupan karena hukum yang berlaku atasnya atau perjanjian.

1. Kasus Posisi
Terdakwa Abdul Rahman Halim pernah menikah resmi dengan Nurjannah Binti Amrin dan memiliki seorang anak berumur 2 (dua) tahun dari hubungan tersebut pada tanggal 29 Pebruari 2002. Namun pada 28 April 2004 Terdakwa dan dengan Nurjannah Binti Amrin resmi bercerai dimana hak pemeliharaan anak adalah dengan Nurjannah Binti Amrin sebagai ibu kandung sedangkan terdakwa sesuai Putusan Pengadilan Agama Medan dan isi surat perjanjian diwajibkan memberi nafkah terhadap anaknya bernama Nur Rahman Halim als Yang Yang setiap bulan sebesar Rp. 1.000.000,- (satu juta rupiah). Namun hal tersebut tidak dilakukan Terdakwa sejak putusan Pengadilan Agama Medan Nomor 276/Pdt.G/2004/PA telah berkekuatan hukum tetap (in kracht) yang mengakibatkan Nur Rahman Halim als Yang Yang sebagai anak menjadi sengsara, sakit-sakitan, kekurangan gizi, dan kurang perawatan.

2. Dakwaan
Berdasarkan surat penetapan Hakim pada Pengadilan Negeri Medan (Studi Kasus No. Reg. 4178/Pid.B/2006/PN-Medan) dan surat Pelimpahan Perkara Acara Pemeriksaan Biasa No. 4178/N.2.10.3/Ep.2/Mdn/10/2006 tanggal 12 Oktober 2006, Terdakwa dihadapkan ke depan persidangan dengan dakwaan sebagai berikut:
1. Pasal 77 huruf b Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002.
2. Pasal 304 Kitab Undang-undang Hukum Pidana.
Berdasarkan fakta-fakta yang terungkap di persidangan yaitu dari:
a) Keterangan saksi-saksi Nurjannah binti Amrin menerangkan bahwa pada hari Jumat tanggal 29 Pebruari 2002 Terdakwa telah menikahi saksi Nurjannah binti Amrin secara Islam, dari hasil pernikahan tersebut saksi telah melahirkan seorang anak laki-laki bernama Nur Rahman saat ini berusia 2 (dua) tahun, kemudian pada tanggal 28 April 2004 Terdakwa dan saksi Nur Jannah binti Amrin resmi bercerai dimana hak pemeliharaan anak adalah saksi Nur Jannah binti Amrin selaku ibu kandung sedangkan Terdakwa sesuai putusan Pengadilan Agama Medan dan isi surat perjanjian diwajibkan memberi nafkah terhadap anaknya bernama Nur Rahman als Yang Yang setiap bulan sebesar Rp. 1.000.000,- (satu juta rupiah), namun setelah adanya putusan Pengadilan tersebut Terdakwa tidak pernah memberikan nafkah terhadap anak terdakwa. Akibat dari perbuatan terdakwa yang tidak pernah memberikan nafkah, Nur Rahman Halim als Yang Yang menjadi sengsara sering sakit-sakitan kekurangan gizi dan kurang perawatan. Keterangan saksi dari Nurhayati menerangkan bahwa saksi mengenal saksi Nurjannah sejak tanggal 5 Juni 2004 sebagai tetangga, dan saksi bekerja sebagai pengasuh anak. Anak saksi Nurjannah bernama Nur Rahman Halim als Yang Yang yang berumur 2 (dua) tahun dengan upah sebesar Rp. 80.000,0 (delapan puluh ribu rupiah) yang diberikan kepada saksi Nurjannah setiap bulan. Saksi tidak pernah mengenal dengan Terdakwa dan tidak mengetahui alamat tempat tinggal Terdakwa karena Terdakwa tidak pernah mengunjungi korban dan saksi Nurjannah.
b) Keterangan Terdakwa Abdul Rahman Halim als Tjun Min Bin Bahdar yang menerangkan bahwa pada hari Jumat tanggal 29 Pebruari 2002 Terdakwa telah menikahi Saksi Nur Jannah binti Amrin secara Islam, dari hasil pernikahan tersebut Saksi telah melahirkan seorang anak laki-laki bernama Nur Rahman saat ini berusia 2 (dua) tahun, kemudian pada tanggal 28 April 2004 Terdakwa dan Saksi Nur Jannah telah resmi bercerai dimana hak pemeliharaan anak adalah Saksi Nur Jannah selaku ibu kandung, sedangkan Terdakwa sesuai putusan Pengadilan Agama Medan dan isi surat perjanjian diwajibkan memberi nafkah terhadap anaknya setiap bulan sebesar Rp. 1.000.000,- (satu juta rupiah). Namun setelah adanya putusan Pengadilan, Terdakwa tidak pernah memberikan nafkah terhadap anaknya. Pada tahun 2005 Terdakwa dan saksi Nurjannah telah rujuk kembali dan tinggal serumah bersama anak kandungnya.
c) Isi surat perjanjian yang menegaskan Terdakwa mewajibkan memberi nafkah kepada anaknya.
d) Petunjuk adanya persesuaian antara keterangan para saksi, keterangan terdakwa yang saling berhubungan, ditambah dengan isi surat perjanjian yang dapat menyimpulkan adanya tindak pidana yang dilakukan oleh Terdakwa.
3. Tuntutan
Pada persidangan hari kamis bulan februari tahun 2006 Jaksa Penuntut Umum pada Kejaksaan Negeri Medan memperhatikan ketentuan Undang-Undang yang berlaku :
Supaya Majelis Hakim Pengadilan Negeri Medan yang memeriksa dan mengadili perkara ini memutuskan :
1. Menyatakan terdakwa bersalah melakukan tindak pidana “ dengan sengaja membiarkan orang dalam kesengsaraan sedangkan dia wajib memberi penghidupan karena hukum yang berlaku atasnya atau perjanjian “ sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam pasal 304 KUHP.
2. Menjatuhkan pidana terhadap terdakwa Abdul Rahman Halim als Tjun Min Bin Bahdar dengan pidana penjara 6 (enam) bulan dengan masa percobaan 1 (satu) tahun.
3. Menetapkan agar terdakwa membayar ongkos perkara sebesar Rp. 1000,- (seribu rupiah)

4. Pertimbangan Hakim
Hakim dalam membuat vonis berpedoman dengan pengenaan unsur-unsur dari pasal yang dituntut yaitu Pasal 304 KUHP dan Pasal 77 ayat b Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002. Terpenuhinya unsur-unsur Pasal 304 KUHP, yaitu:
a) Barang siapa terpenuhi yaitu adanya tersangka Abdul Rahman Halim als Tjun Min Bin Bahdar.
b) Dengan sengaja menyebabkan atau membiarkan orang dalam kesengsaraan terpenuhi yaitu tersangka sejak putusan Pengadilan Agama Medan tidak pernah memberikan uang nafkah anaknya atas nama Nur Rahman Halim as Yang Yang kepada Nur Jannah sehingga korban menderita dan sengsara.
c) Sedang ia wajib memberi kehidupan, perawatan atau pemeliharaan terpenuhi yaitu sesuai putusan Pengadilan Agama Medan ditetapkan bahwa tersangka diwajibkan memberikan uang nafkah anaknya setiap bulan sebesar Rp. 1.000.000,- (satu juta rupiah) sehingga anak tersebut menjadi dewasa.
d) Perdamaian bagi hakim hanya merupakan alasan pemaaf dalam tindak pidana kejahatan.
Sedangkan terpenuhinya unsur-unsur Pasal 77 ayat b Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002, berupa:
a) Menelantarkan anak terpenuhi yaitu tersangka sejak bulan Mei 2004 hingga pengaduan tidak pernah memberikan uang nafkah korban.
b) Mengakibatkan anak mengalami sakit atau penderitaan terpenuhi yaitu anak sebagai korban mengalami penderitaan.
Dari unsur-unsur tersebut, maka majelis hakim berpendapat telah terpenuhi oleh karena itu terdakwa harus dipidana.
Bahwa atas tindak pidana tersebut, dan terdakwa mampu bertanggung jawab maka perbuatan terdakwa patut dijatuhi pidana dan yang setimpal untuk itu adalah pidana penjara.
Bahwa masa tahanan yang telah dijalani terdakwa patut dikurangkan sepenuhnya dengan pidana penjara yang dijatuhkan.
Bahwa atas sifat tindak pidana tersebut diatas dan terdakwa berada dalam tahanan maka terdakwa patut dinyatakan berada dalam tahanan /dikeluarkan dari tahanan.
Bahwa selama persidangan terdakwa tidak membuktikan dirinya orang yang tidak mampu dan oleh karena itu terdakwa patut dibebani membayar ongkos perkara.
Selain melihat pemenuhan unsur-unsur yang dikenakan kepada tersangka, Hakim juga mempertimbangkan hal-hal yang memberatkan yaitu perbuatan terdakwa mengakibatkan kesengsaraan bagi korban Nur Rahman Halim als Yang Yang. Sedangkan hal-hal yang meringankan yaitu Terdakwa dan saksi Nurjannah binti Amrin telah rujuk kembali dan telah tinggal serumah bersama anak Terdakwa Nur Rahman Halim als Yang Yang, Terdakwa menyesali perbuatannya, Terdakwa belum pernah dihukum.
5. Putusan Pengadilan Negeri Medan
Pengadilan Negeri Medan dengan perkara pidana No. 4178/Pid. B/2006/PN.Medan, menyatakan terdakwa Abdul Rahman Halim secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana : Dengan sengaja membiarkan orang dalam kesengsaraan sedangkan dia wajib memberi penghidupan karena hukum yang berlaku atasnya atau karena perjanjian.
Menghukum terdakwa dengan pidana penjara selama 6 (enam) bulan masa percobaan 12 (dua belas) bulan selama masa tahanan yang telah dijalani terdakwa dikurangkan sepenuhnya dengan pidana penjara tersebut masa, membayar biaya perkara Rp. 1.000,00 (seribu rupiah) dengan dikenakan Pasal 77 huruf b Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak dan Pasal 304 Kitab Undang-undang Hukum Pidana.
Majelis Hakim telah mempertimbangkan saksi-saksi yaitu Nurjannah Binti Amrin dan Nurhayati als Nur, tidak ditemukan alasan pemaaf atau alasan pembenar dan Terdakwa dapat dipertanggungjawabkan atas perbuatan yang telah dilakukan, Terdakwa dan saksi Nurjannah telah rujuk kembali dan tinggal serumah bersama anak Terdakwa, Terdakwa belum pernah dihukum serta telah menyesali perbuatannya.

6. Analisa Terhadap Putusan Majelis Hakim
Hukum mengatur masyarakat secara patut dan bermanfaat dengan menetapkan apa yang diharuskan, apa yang dibolehkan dan/atau sebaliknya. (Sudarto, 1986 : 111) Dengan demikian, hukum menarik garis antara apa yang sesuai dengan hukum dan apa yang melawan hukum. (Sudarto, 1986 : 112) Dibandingkan dengan apa yang sesuai dengan hukum (yang secara normatif diartikan sebagai apa yang seharusnya), hal melawan hukum inilah yang justru lebih menjadi perhatian dari penegakan hukum itu sendiri. Karena itu, dapat dikatakan bahwa penegakan hukum (khususnya hukum pidana) merupakan reaksi terhadap suatu perbuatan melawan hukum. Upaya aparat perlengkapan negara dalam menyikapi suatu perbuatan melawan hukum, dan menyikapi masalah penegakan hukum lainnya, inilah yang menjadi inti pembahasan dari penegakan hukum.
Apabila dilihat secara fungsionil, sistem penegakan hukum itu merupakan suatu sistem aksi. (Sudarto, 1986 : 113) Dikatakan sebagai sistem aksi, karena di dalamnya terdapat sekian banyak aktivitas yang dilakukan alat perlengkapan negara dalam rangka penegakan hukum, diantaranya kepolisian, pembentuk Undang-undang, instansi pemerintah (bestuur), serta aparat eksekusi. (Sudarto, 1986 : 113)
Jadi, penegakan hukum dilakukan sejak tahap pembentukan undang-undang (guna mencegah onrecht in potentie), dan juga mencegah onrecht in actu oleh aparatur penegakan hukum. Dengan demikian, fungsi hukum sebagai sarana untuk tertib, mencapai keadilan, dan juga sarana pembaharuan masyarakat juga merupakan suatu sistem aksi, dimana sejak tatanan pembentukan perundang-undangan sampai dengan penegakan hukum, aparat negara memberikan aksi dan reaksi yang diperlukan untuk tercapainya tujuan-tujuan hukum tersebut.
Muladi, secara jelas menggambarkan hubungan antara penegakan hukum dan pembangunan nasional, dikatakan tujuan akhir dari politik kriminal ialah perlindungan untuk mencapai tujuan utama yaitu kesejahteraan masyarakat. Dengan demikian penegakan hukum pidana yang merupakan bagian dari politik kriminal, pada hakekatnya juga merupakan bagian integral dari kebijakan untuk mencapai kesejahteraan masyarakat (politik sosial). (Muladi, 2001 : 25) Sebagai bagian yang tak terpisahkan dari keseluruhan kebijakan untuk mencapai tujuan kesejahteraan masyarakat, maka wajar bila dikatakan bahwa usaha penanggulangan kejahatan (termasuk usaha penegakan hukum pidana) merupakan bagian integral dari rencana pembangunan nasional. (Arif Gosita, 1989 : 40)
Hak hidup merupakan hak yang paling mendasar bagi seluruh umat manusia dan merupakan hak yang dianugerahkan oleh Tuhan Yang Maha Esa. Banyak anak yang tak dapat menikmati kelanjutan hidupnya karena keegoisan orang dewasa. Anak yang merupakan salah satu kelompok yang rentan terhadap pelanggaran Hak Asasi Manusia memerlukan bantuan orang dewasa dalam melindungi hak-haknya. Perlindungan anak di sini tidak hanya sampai pada pemenuhan hak hidup, namun mencakup pula segala kegiatan untuk menjamin dan melindungi hak-haknya agar dapat tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.
Dengan kata lain, anak tersebut dapat melangsungkan terus hidupnya, dimana kelangsungan itu disertai dengan peningkatan kualitas hidup yang diperolehnya melalui pendidikan, pengajaran, kesehatan, dan rekreasi. Instrumen hukum dan Hak Asasi Manusia nasional telah banyak memberikan perlindungan terhadap hak ini, meskipun penegakannya masih harus kita perjuangkan bersama karena walaupun terdapat ancaman pidana yang cukup berat terhadap pelanggaran akan hak ini, namun tak dapat dipungkiri bahwa kejahatan seperti kekerasan fisik, mental maupun seksual terhadap anak kerap terjadi.
Secara umum putusan Hakim didasarkan atas keyakinan Hakim dalam menentukan kesalahan terdakwa setelah dilakukannya pemeriksaan di sidang pengadilan dari keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk, dan keterangan terdakwa sendiri sebagai suatu nilai pembuktian yang sah sebagaimana diatur dalam Pasal 184 KUHAP. Disamping faktor pokok tersebut ada juga faktor lain yang tidak dapat dikesampingkan yaitu berupa ilmu pengetahuan terutama teori-teori yang memberikan kontribusi besar terhadap hukum itu sendiri.
Putusan Hakim yang tepat secara hukum adalah putusan Hakim yang sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Menurut analisis saya bahwa putusan Halim yang sesuai dengan tuntutan Jaksa Penuntut Umum sudah tepat secara hukum. Karena berdasarkan fakta dipersidangan tindak pidana yang dilakukan terdakwa sudah memenuhi unsur-unsur Pasal 77 huruf b Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002, dan Pasal 304 KUHP sebagaimana tuntutan Jaksa Penuntut Umum sehingga berdasarkan pembuktian tersebut disidang pengadilan maka Hakim memutuskan terdakwa dinyatakan bersalah.
Putusan Hakim dalam menetapkan masa pemidanaan terhadap terdakwa yang sama dengan masa pemidanaan sebagaimana tuntutan Jaksa Penuntut Umum merupakan suatu kebebasan terhadap Hakim untuk menjatuhkan putusan pidana terhadap terdakwa tanpa adanya intervensi dari pihak manapun. Menurut “kaca mata” hukum hal-hal yang demikian sah-sah saja, karena dalam KUHPidana tolak ukur untuk menjatuhkan pidana terhadap terdakwa yang terbukti melakukan kejahatan hanya ditentukan hukuman maksimum sedangkan hukuman minimumnya tidak ditentukan sedemikian rupa.
Berdasarkan tindak pidana yang dilakukan terdakwa sebagaimana diatur dalam Pasal 77 huruf b Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 menyebutkan bahwa pidana maksimumnya adalah lima tahun penjara, dan Pasal 304 KUHPidana menyebutkan bahwa pidana maksimumnya adalah dua tahum delapan bulan, sedangkan pidana minimumnya tidak ditentukan.sehingga hal inilah yang memberikan kebebasan terhadap Hakim dalam menjatuhkan pidana terhadap terdakwa. Apakah putusan tersebut sesuai dengan tuntutan atau tidak,sepanjang putusan Hakim itu tidak melampaui pidana maksimum sebagaimana diatur dalam Pasal 77 huruf b Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002, dan Pasal 304 KUHPidana maka putusan itu sudah tepat secara hukum.

B. Perdamaian Hukum Pidana dalam Pengurangan Hukuman
Berdasarkan putusan perkara studi kasus No. Reg. 4178/Pid.B/2006/PN-Medan), orangtua yang telah melakukan perdamaian, tidak akan menghapus hukuman karena tindak pidana kejahatan tidak dapat dijadikan alasan sebagai penghapus pidana. Alasan penghapus pidana (strafuitsluitingsground) diartikan sebagai keadaan khusus yang jika dipenuhi menyebabkan seorang Terdakwa tidak dapat dijatuhkan pidana (Nico Keijer, 1990 : 1)
Alasan penghapus pidana dikenal baik dalam KUHP, doktrin mapun yurisprudensi. Dalam ilmu hukum pidana alasan penghapus pidana dibedakan yaitu: (Sudarto, 1987 : 138)
1) Alasan penghapus pidana umum adalah alasan penghapus pidana yang berlaku umum untuk setiap tindak pidana dan disebut dalam pasal 44, 48 – 51 KUHP.
2) Alasan penghapus pidana khusus adalah alasan penghapus pidana yang berlaku hanya untuk tindak pidana tertentu. Misalnya Pasal 122, 221 ayat (2), 261, 310, dan 367 ayat (1) KUHP.
Selain yang diatur dalam KUHP, alasan penghapus pidana juga diatur di luar KUHP, yaitu:
1) Hak mendidik dari orang tua.
2) Izin dari orang yang dirugikan.
3) Hak jabatan dari dokter gigi.
4) Mewakili urusan orang lain.
5) Tidak adanya melawan hukum materil.
6) Tidak adanya kesalahan sama sekali
7) Alasan penghapus pidana putative (Van Bemmelen, 1979 : 179)
Dasar peniadaan ini ada yang bersifat alasan peniadaan pidana yang bersifat khusus, serta dapat pula pada dasar obyektif yaitu unsur luar dari pelaku, dan dasar subyektif yaitu unsur dalam dari si pelaku, serta dasar adanya alasan pembenar atau dasar adanya alasan pemaaf. Alasan peniadaan pidana yang bersifat khusus ini terdapat pada pasal terkait seperti pada Pasal 310 ayat 3 KUHPidana, Pasal 166 untuk delik dalam Pasal 164 dan Pasal 165, serta Pasal 221 ayat 2 KUHPidana.
Alasan pembenar atau alasan pemaaf ialah sesuatu hal yang dapat dianggap sebagai sesuatu alasan yang dianggap dapat menghapuskan sifat melawan hukumnya perbuatan itu, sehingga hal itu bukan suatu peristiwa pidana meskipun perbuatan itu sesuai dengan yang dilarang oleh Undang-undang. Alasan pembenar ini antara lain adalah daya paksa relatif atau relative overmacht, pembelaan darurat atau noodweer, menjalankan ketentuan Undang-undang, melaksanakan perintah jabatan dari pejabat yang berwenang. Sedangkan alasan pemaaf ini antara lain adalah tidak mampu bertanggungjawab, daya paksa mutlak atau absolute avermacht, pembelaan yang melampaui batas atau noodweer excess, melaksanakan perintah jabatan yang tidak sah.
Peniadaan pidana ini juga dapat dikarenakan menjalankan ketentuan Undang-undang, seseorang tidak dapat dipidana walaupun telah terpenuhi unsur obyektif maupun unsur subyektif dari delik karena menjalankan ketentuan undang-undang. Hal ini diatur dalam Pasal 50 KUHPidana yang berbunyi: “Barangsiapa yang melakukan perbuatan untuk melaksanakan ketentuan Undang-undang tidak dipidana”.
Ketentuan Undang-undang yang dimaksud disini bukan hanya Undang-undang dalam arti formil saja, tetapi juga setiap ketentuan yang dikeluarkan oleh suatu kekuasaan yang mempunyai wewenang mengeluarkan Undang-undang menurut Undang-Undang Dasar dan ketentuan Undang-undang. Yang dimaksud disini juga meliputi ketentuan atau peraturan yang berasal dari penguasa pembuat undang-undang atau penguasa lain yang lebih rendah yang mempunyai wewenang membuat peraturan yang berdasarkan undang-undang.
Jadi seseorang yang melaksanakan suatu ketentuan atau peraturan tersebut tidak dapat dipidana karena seseorang itu sedang melakukan kewajibannya yang dinyatakan sebagai “dalam melaksanakan suatu ketentuan”. Hal lain yang berkait dengan peniadaan pidana karena dalam melaksanakan suatu ketentuan atau peraturan ini juga termasuk didalamnya karena menjalankan “perintah jabatan”. Dalam hal menjalankan perintah jabatan ini yang dimaksudkan ada dua jenis. Pertama, sebagai dasar alasan pembenar yaitu karena seseorang yang menjalankan perintah jabatan yang diberikan oleh penguasa yang berwenang. Kedua, sebagai dasar alasan pemaaf yaitu seseorang yang menjalankan perintah jabatan tanpa wewenang akan tetapi pelakunya itu dengan itikad baik mengira bahwa perintah itu diberikan dengan wewenang dan dalam pelaksanaannya termasuk dalam lingkungan pekerjaannya.
Berkaitan dengan peniadaan pidana karena “melaksanakan ketentuan atau peraturan” dan karena “perintah jabatan”, secara ringkas dapat dikatakan bahwa harus terdapat dua unsur yang harus terpenuhi untuk tidak dipidana, yaitu syarat obyektif dan syarat subyektif. Pertama, syarat subyektif dimana seseorang itu harus dengan itikad baik yang memandang bahwa perintah itu datang dari yang berwenang. Kedua, syarat obyektif dimana seseorang yang melaksanakan perintah itu harus terletak dalam ruang lingkup pelaku sebagai bawahan. Jika kedua syarat itu terpenuhi maka hal yang demikian itu tidak menghapuskan unsur tindak pidananya tetapi dapat dijadikan sebagai dasar alasan pembenar dan alasan pemaaf untuk tidak menerima dan memikul pertanggungjawaban pidana atas perbuatannya itu.
Untuk memberikan perlindungan terhadap korban kejahatan yang dilakukan suami terhadap istri dan anak,di beberapa kantor dibentuk suatu unit penanganan terhadap kejahatan yang menimpa wanita dan anak, yang disebut dengan Ruang Pelayanan Khusus (RPK). Ide pembentukan Ruang Pelayanan Khusus ini adalah berawal dari adanya kekhawatiran dari aparat kepolisian, bahwa korban (wanita dan anak) yang telah mengalami tindakan kekerasan baik secara fisik maupun non fisik tidak bersedia untuk memberikan keterangan berkaitan dengan kekerasan yang menimpa dirinya karena proses pemeriksaan dilakukan ditempat terbuka seperti yang dilakukan pada korban-korban kejahatan lainnya, sedangkan pada kasus yang menimpa korban (wanita dan anak-anak) faktor kerahasiaan sangat penting untuk tetap dijaga (menyangkut aspek privacy dari korban).
Akibat rasa enggan dari korban untuk melaporkan kejahatan/tindak pidana yang menimpa dirinya, akan berdampak pada sulitnya aparat kepolisian dalam mengungkap kasus. Oleh karena itu, guna menghindarkan munculnya berbagai kendala dalam pemeriksaan pada korban kejahatan sekaligus sebagai salah satu upaya perlindungan hukum bagi korban, khususnya yang menimpa wanita dan anak-anak, maka dibentuklah Ruang Pelayanan Khusus. Dalam melaksanakan tugasnya, anggota kepolisian wanita ini dibantu oleh petugas yang berasal dari rumah sakit, atau lembaga swadaya masyarakat yang memiliki perhatian terhadap masalah wanita dan anak-anak.

Referensi Hukum