A. Latar Belakang
Pembentukan Mahkamah Konstitusi (MK) pada pokoknya memang diperlukan karena bangsa Indonesia telah melakukan perubahan-perubahan yang mendasar atas Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Dalam rangka perubahan Pertama sampai dengan perubahan Keempat Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Bangsa Indonesia telah mengadopsi prinsip-prinsip baru dalam sistem ketatanegaraan, antara lain sistem “pemisahan kekuasaan/check and balance” sebagai pengganti sistem supremasi legislatif yang berlaku sebelumnya.
Sebagai akibat perubahan tersebut, maka perlu diadakan mekanisme untuk memutuskan sengketa kewenangan yang mungkin terjadi antara lembaga-lembaga yang mempunyai kedudukan yang satu sama lain bersifat sederajat, yang kewenanganya ditentukan dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 serta perlu dilembagakannya peranan hukum dan hakim yang dapat mengontrol proses dan produk keputusan-keputusan politik.
Fungsi-fungsi judicial review atas konstitusionalitas Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan proses pengujian hukum atas tuntutan pemberhentian terhadap Presiden/Wakil Preseiden dikaitkan dengan fungsi Mahkamah Konstitusi. Disamping itu juga diperlukan adanya mekanisme untuk memutuskan berbagai persengketaan yang timbul dan tidak dapat diseleseaikan melalui proses peradilan yang biasa, seperti sengketa Pemilu dan tuntutan pembubaran suatu partai politik. Perkara-perkara semacam ini berkaitan erat dengan hak dan kebebasan para warganegara dalam dinamika sistem politik demokratis yang dijamin oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Sejarah berdirinya lembaga Mahkamah Konstitusi diawali dengan Perubahan Ketiga Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945dalam Pasal 24 ayat (2), Pasal 24C, dan Pasal 7B yang disahkan pada 9 November 2001. Setelah disahkannya Perubahan Ketiga Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, maka dalam rangka menunggu pembentukan Mahkamah Konstitusi, Majelis Permusyawaratan Rakyat menetapkan Mahkamah Agung menjalankan fungsi MK untuk sebagaimana diatur dalam Pasal III Aturan Peralihan Undang-Undang Dasar 1945 hasil perubahan Keempat.
Dewan Perwakilan Rakyat dan Pemerintah kemudian membuat Rancangan Undang-Undang tentang Mahkamah Konstitusi. Setelah melalui pembahasan mendalam , Dewan Perwakilan Rakyat dan pemerintah menyetujui secara bersama Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi pada 13 Agustus 2003 dan disahkan oleh Presiden. Pada tanggal 15 Agustus 2003, Presiden mengambil sumpah jabatan para Hakim Konstitusi di Istana Negara pada tanggal 16 Agustus 2003. Ketua Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia yang pertama adalah Jimmly Asshiddiqie.
Sejarah pengujian (judicial review) dapat dikatakan dimulai sejak kasus Marbury versus Madison ketika Mahkamah Agung Amerika Serikat yang dipimpin oleh Marshall pada tahun 1803. Ide penguji Undang-Undang menjadi popular dan secara luas didiskusikan dimana-mana. Ide ini juga mempengaruhi sehingga “the fouding fathers“ Indonesia dalam sidang BPUPKI tanggal 15 Juli 1945 mendiskusikannya secara mendalam.
Muhammad Yamin yang pertama sekali mengusulkan agar Mahkamah Agung diberikan kewenangan untuk “ …membandingkan Undang-Undang”. Akan tetapi ide ini ditolak oleh Soepomo karena dinilai tidak sesuai dengan paradigma yang telah disepakati dalam rangka penyusunan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, yaitu bahwa Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menganut sistem supremasi Majelis Permusyawaratan Rakyat dan tidak menganut ajaran “trias politica“, sehingga tidak memungkinkan ide pengujian Undang-Undang dapat diadopsikan kedalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Namun sekarang setelah Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 mengalami perubahan 4 (empat) kali paradigma pemikiran yang terkandung didalamnya jelas sudah berubah secara mendasar. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 tidak lagi mengenal prinsip supremasi legislatif seperti sebelumnya, jika sebelumnya Majelis Permusyawaratan Rakyat dianggap sebagai pelaku kedaulatan rakyat sepenuhnya dan sebagai penjelmaan seluruh rakyat yang mempunyai kedudukan tertinggi dan dengan kekuasaan yang tidak terbatas, maka sekarang setelah perubahan keempat Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Majelis Permusyawaratan Rakyat bukan lagi lembaga satu-satunya sebagai pelaku kedaulatan rakyat karena Presiden dan/atau Wakil Presiden dipilih secara langsung oleh rakyat maka disamping Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, dan Dewan Perwakilan Daerah sebagai pelaku kedaulatan rakyat dibidang legislatif.
Bahkan seperti itu juga terjadi disemua negara-negara lain yang sebelumnya menganut sistem supremasi legislatif dan kemudian berubah menjadi negara demokrasi, fungsi pengujian . Undang-Undang ditambah fungsi-fungsi lainnya selalu dilembagakan kedalam fungsi lembaga Mahkamah Konstitusi yang berdiri sendiri diluar Mahkamah Agung. Kecenderungan seperti ini dapat dilihat disemua negara eks komunis yang sebelumnya menganut prinsip supremasi legislatif lalu kemudian berubah menjadi demokrasi, selalu membentuk Mahkamah Konstitusi yang berdiri sendiri diluar Mahkamah Agung.
Beberapa jenis lembaga Mahkamah Konstitusi berbeda dari negara yang satu dengan yang lainnya. Negara Venezuela dimana Mahkamah Konstitusinya berada dalam Mahkamah Agung. Ada pula negara yang tidak membentuk lembaganya sendiri, melainkan menganggapnya cukup mengaitkan fungsi Mahkamah ini sebagai salah satu fungsi tambahan dari fungsi Mahkamah Agung yang telah ada. Amerika Serikat dan semua negara yang dipengaruhinya menganut pandangan seperti ini juga.
Akan tetapi, sampai sekarang diseluruh dunia terdapat 78 (tujuh puluh delapan) negara yang melembagakan bentuk-bentuk organ konstitusi ini sebagai lembaga tersendiri diluar lembaga Mahkamah Agung. Negara pertama yang tercatat mempelopori pembentukan lembaga baru ini adalah Austria tahun 1920, dan terakhir adalah Thailand tahun 1998 dan selanjutnya Indonesia yang menjadi negara ke-78 (tujuh puluh delapan) yang membentuk lembaga baru ini diluar Mahkamah Agung.
Namun, diantara ke-78 (tujuh puluh delapan) negara itu tidak semua menyebutkan dengan Mahkamah Konstitusi. Negara-negara yang dipengaruhi oleh Perancis menyebutnya Dewan Konstitusi, sementara Belgia menyebutnya Arbitrase Konstitusional. Perancis menyebutnya demikian karena lembaga ini tidak menganggap sebagai peradilan dalam arti lazim karena para anggotanya tidak disebut Hakim. Terlepas dari perbedaan ini, 78 (tujuh puluh delapan) negara itu telah membentuk Mahkamah Konstitusi dilembagakan tersendiri diluar Mahkamah Agung.
Dalam perkembangan sejarah kehidupan berbangsa dan bernegara, konstitusi menempati posisi yang sangat penting. Pengertian dan materi muatan konstitusi senantiasa berkembang seiring dengan perkembangan peradaban manusia dan organisasi kenegaraan. Dengan meneliti dan mengkaji konstitusi, dapat diketahui prinsip-prinsip dasar kehidupan bersama dan penyelenggaraan negara serta struktur organisasi suatu negara tertentu. Nilai-nilai konstitusi dapat dikatakan mewakili tingkat peradaban suatu bangsa.
Sejarah klasik terdapat dua perkataan yang berkaitan erat dengan pengertian tentang konstitusi, yaitu dalam perkataan Yunani Kuno politeia dan perkataan bahasa Latin constitutio yang juga berkaitan dengan kata jus. Perkataan politeia dan constitutio merupakan awal mula gagasan konstitusionalisme diekspresikan oleh umat manusia. Kata politeia dari kebudayaan Yunani dapat disebut yang paling tua usianya.
Dalam bahasa Yunani Kuno tidak dikenal adanya istilah yang mencerminkan pengertian kata jus ataupun constitutio sebagaimana dalam tradisi Romawi. Dalam keseluruhan sistem berpikir para filosof Yunani Kuno, perkataan constitution adalah seperti sekarang ini. Perkataan constitution di zaman Kekaisaran Romawi (Roman Empire), dalam bentuk bahasa latinnya, mula-mula digunakan sebagai istilah teknis untuk menyebut the acts of legislation by the Emperor. Bersamaan dengan banyak aspek dari hukum Romawi yang dipinjam ke dalam sistem pemikiran hukum di kalangan gereja, maka istilah teknis constitution juga dipinjam untuk menyebut peraturan-peraturan eklesiastik yang berlaku di seluruh gereja ataupun untuk beberapa peraturan eklesiastik yang berlaku di gereja-gereja tertentu (ecclesiastical province). Oleh karena itu, kitab-kitab Hukum Romawi dan Hukum Gereja (Kanonik) sering dianggap sebagai sumber rujukan atau referensi paling awal mengenai penggunaan perkataan constitution dalam sejarah.
Pengertian konstitusi di zaman Yunani Kuno masih bersifat materiil, dalam arti belum berbentuk seperti yang dimengerti di zaman modern sekarang. Namun, perbedaan antara konstitusi dengan hukum biasa sudah tergambar dalam pembedaan yang dilakukan oleh Aristoteles terhadap pengertian kata politea dan nomoi. Pengertian politiea dapat disepadankan dengan pengertian konstitusi, sedangkan nomoi adalah Undang-undang biasa.
Politea mengandung kekuasaan yang lebih tinggi dari pada nomoi, karena politea mempunyai kekuasaan membentuk sedangkan pada nomoi tidak ada, karena ia hanya merupakan materi yang harus dibentuk agar supaya tidak bercerai-berai. Dalam kebudayaan Yunani istilah konstitusi berhubungan erat dengan ucapan Respublica Constituere yang melahirkan semboyan, Prinsep Legibus Solutus Est, Salus Publica Suprema Lex, yang artinya ”Rajalah yang berhak menentukan struktur organisasi negara, karena dialah satu-satunya pembuat undang-undang”.
Di Inggris, peraturan yang pertama kali dikaitkan dengan istilah konstitusi adalah “Constitutions of Clarendon 1164” yang disebut oleh Henry II sebagai constitutions, avitae constitutions or leges, a recordatio vel recognition, menyangkut hubungan antara gereja dan pemerintahan Negara di masa pemerintahan kakeknya, yaitu Henry I. Isi peraturan yang disebut sebagai konstitusi tersebut masih bersifat eklesiastik, meskipun pemasyarakatannya dilakukan oleh pemerintahan sekuler. Namun, di masa-masa selanjutnya, istilah constitutio itu sering pula dipertukarkan satu sama lain dengan istilah lex atau edictum untuk menyebut berbagai secular administrative enactments. Glanvill sering menggunakan kata constitution untuk a royal edict (titah raja atau ratu). Glanvill juga mengaitkan Henry II’s writ creating the remedy by grand assize as ‘legalis is a constitutio’, dan menyebut the assize of novel disseisin sebagai a recognitio sekaligus sebagai a constitutio. [1]
Beberapa tahun setelah diberlakukannya Undang-Undang Merton pada tahun 1236, Bracton menulis artikel yang menyebut salah satu ketentuan dalam undang-undang itu sebagai a new constitution, dan mengaitkan satu bagian dari Magna Carta yang dikeluarkan kembali pada tahun 1225 sebagai constitutio libertatis. Dalam waktu yang hampir bersamaan (satu zaman), Beauma-noir di Perancis berpendapat bahwa “speaks of the remedy in novel disseisin as ’une nouvele constitucion’ made by the kings”. Ketika itu dan selama beradab-abad sesudahnya, perkataan constitution selalu diartikan sebagai a particular administrative enactment much as it had meant to the Roman lawyers. Perkataan constitution ini dipakai untuk membedakan antara particular enactment dari consuetudo atau ancient custom (kebiasaan).
Pierre Gregoire Tholosano (of Toulouse), dalam bukunya De Republica (1578) menggunakan kata constitution dalam arti yang hampir sama dengan pengertian sekarang. Hanya saja kandungan maknanya lebih luas dan lebih umum, karena Gregoire memakai frase yang lebih tua, yaitu status reipublicae. Dapat dikatakan bahwa di zaman ini, arti perkataan constitution tercermin dalam pernyataan Sir James Whitelocke pada sekitar tahun yang sama, yaitu “the natural frame and constitution of the policy of this Kingdom, which is jus publicum regni”. Bagi James Whitelocke, jus publicum regni itulah yang merupakan kerangka alami dan konstitusi politik bagi kerajaan.
Pengertian konstitusi dalam 2 (dua) konsepsi. Pertama, konstitusi sebagai the natural frame of the state yang dapat ditarik ke belakang dengan mengaitkannya dengan pengertian politeia dalam tradisi Yunani Kuno. Kedua, konstitusi dalam arti jus publicum regni, yaitu the public law of the realm. Cicero dapat disebut sebagai sarjana pertama yang menggunakan perkataan constitutio dalam pengertian kedua ini, seperti tergambar dalam bukunya “De Re Publica”. Di lingkungan Kerajaan Romawi (Roman Empire), perkataan constitutio ini dalam bentuk Latinnya juga dipakai sebagai istilah teknis untuk menyebut the acts of legislation by the Emperor. Menurut Cicero, “This constitution (haec constitution) has a great measure of equability without which men can hardly remain free for any length of time”. Selanjutnya dikatakan oleh Cicero, “Now that opinion of Cato becomes more certain, that the constitution of the republic (consitutionem rei publicae) is the work of no single time or of no single man.”
Pendapat Cato bahwa konstitusi republik bukanlah hasil kerja satu waktu ataupun satu orang, melainkan kerja kolektif dan akumulatif. Oleh karena itu, dari sudut etimologi, konsep klasik mengenai konstitusi dan konstitusionalisme dapat ditelusuri lebih mendalam dalam perkembangan pengertian dan penggunaan perkataan politeia dalam bahasa Yunani dan perkataan constitutio dalam bahasa Latin, serta hubungan di antara keduanya satu sama lain di sepanjang sejarah pemikiran maupun pengalaman praktik kehidupan kenegaraan dan hukum.
Perkembangan-perkembangan demikian itulah yang pada akhirnya mengantarkan umat manusia pada pengertian kata constitution itu dalam bahasa Inggris modern. Dalam Oxford Dictionary, perkataan constitution dikaitkan dengan beberapa arti, yaitu: “… the act of establishing or of ordaining, or the ordinance or regulation so established”. Selain itu, kata constitution juga diartikan sebagai pembuatan atau penyusunan yang menentukan hakikat sesuatu (the “make” or composition which determines the nature of anything). Oleh karena itu, constitution dapat pula dipakai untuk menyebut “… the body or the mind of man as well as to external objects”.
Dalam pengertiannya yang demikian itu, konstitusi selalu dianggap “mendahului” dan “mengatasi” pemerintahan dan segala keputusan serta peraturan lainnya. A Constitution, kata Thomas Paine, “is not the act of a government but of the people constituting a government”. Konstitusi disebut mendahului, bukan karena urutan waktunya, melainkan dalam sifatnya yang superior dan kewenangannya untuk mengikat.[2]
Mahkamah Konstitusi adalah salah satu pelaku kekuasaan kehakiman sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Sedangkan menurut Pasal 2 UU No. 24 Tahun 2003 Mahkamah Konstitusi merupakan salah satu lembaga negara yang melakukan kekuasaan kehakiman yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan. Pasal 24C Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Joncto Pasal 10 UU No.24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi, mengatur bahwa: Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusanya bersifat final untuk:
1) Menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
2) Memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
3) Memutus pembubaran partai politik.
4) Memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum.
Kemungkinan terjadinya perselisihan tentang hasil pemilu sangat terbuka dalam setiap pelaksanaan pemilu di suatu negara, terlebih bagi Indonesia yang menapaki babak baru dalam kehidupan berdemokrasi. Oleh karenanya, pada setiap negara demokratis terdapat lembaga pengawas dan/atau pemantau pemilu guna memperkecil terjadinya kecurangan atau pelanggaran dalam pelaksanaan pemilu. Di samping itu, lembaga peradilan yang berwenang memutus perselisihan hasil pemilu juga sangat penting keberadaannya.
A. Dasar Berlakunya Konstitusi
Berlakunya suatu konstitusi sebagai hukum dasar yang mengikat didasarkan atas kekuasaan tertinggi atau prinsip kedaulatan yang dianut dalam suatu negara. Jika negara itu menganut paham kedaulatan rakyat, maka sumber legitimasi konstitusi itu adalah rakyat. Jika yang berlaku adalah paham kedaulatan raja, maka raja yang menentukan berlaku tidaknya suatu konstitusi. Hal inilah yang disebut oleh para ahli sebagai constituent power yang merupakan kewenangan yang berada di luar dan sekaligus di atas sistem yang diaturnya. Untuk itu, di lingkungan negara-negara demokrasi liberal, rakyatlah yang menentukan berlakunya suatu konstitusi.
Hal ini dapat dilakukan secara langsung oleh rakyat misalnya melalui referendum, seperti yang dilakukan di Irlandia pada tahun 1937, atau dengan cara tidak langsung melalui lembaga perwakilan rakyat. Cara tidak langsung ini misalnya dilakukan di Amerika Serikat dengan cara menambahkan naskah perubahan Undang-Undang Dasar secara terpisah dari naskah aslinya. Meskipun dalam pembukaan Konstitusi Amerika Serikat (preamble) terdapat perkataan “We the people”, tetapi yang diterapkan sesungguhnya adalah sistem perwakilan, yang pertama kali diadopsi dalam konvensi khusus (special convention) dan kemudian disetujui oleh wakil-wakil rakyat terpilih dalam forum perwakilan negara yang didirikan bersama.
Dalam hubungan dengan pengertian constituent power tersebut di atas, muncul pula pengertian constituent act. Dalam hubungan ini, konstitusi dianggap sebagai constituent act, bukan produk peraturan legislatif yang biasa (ordinary legislative act). Constituent power mendahului konstitusi, dan konstitusi mendahului organ pemerintahan yang diatur dan dibentuk berdasarkan konstitusi itu.
Konstitusi bukanlah Undang-undang biasa. Ia tidak ditetapkan oleh lembaga legislatif yang biasa, tetapi oleh badan yang lebih khusus dan lebih tinggi kedudukannya. Jika norma hukum yang terkandung di dalamnya bertentangan dengan norma hukum yang terdapat dalam undang-undang, maka ketentuan undang-undang dasar itulah yang berlaku, sedangkan undang-undang harus memberikan jalan untuk itu (it prevails and the ordinary law must give way).
Oleh karena itu, dikembangkannya pengertian constituent power berkaitan dengan pengertian hierarki hukum (hierarchy of law). Konstitusi merupakan hukum yang paling tinggi serta paling fundamental sifatnya, karena konstitusi merupakan sumber legitimasi atau landasan otorisasi bentuk-bentuk hukum atau peraturan perundang-undangan lainnya. Sesuai dengan prinsip hukum yang berlaku universal, maka agar peraturan-peraturan yang tingkatannya berada di bawah undang-undang dasar dapat berlaku dan diberlakukan, peraturan-peraturan itu tidak boleh bertentangan dengan hukum yang lebih tinggi. Atas dasar logika demikian, maka Mahkamah Agung Amerika Serikat menganggap dirinya memiliki kewenangan untuk menafsirkan dan menguji materi peraturan produk legislatif (judicial review) terhadap materi konstitusi, meskipun Konstitusi Amerika tidak secara eksplisit memberikan kewenangan demikian kepada Mahkamah Agung (The Supreme Court).[3]
Dasar keberadaan konstitusi adalah kesepakatan umum atau persetujuan (consensus) di antara mayoritas rakyat mengenai bangunan yang diidealkan berkenaan dengan negara. Konstitusi merupakan konsensus bersama atau general agreement seluruh warga negara. Organisasi negara itu diperlukan oleh warga masyarakat politik agar kepentingan mereka bersama dapat dilindungi atau dipromosikan melalui pembentukan dan penggunaan mekanisme yang disebut negara.[4]
Kepentingan paling mendasar dari setiap warga negara adalah perlindungan terhadap hak-haknya sebagai manusia. Oleh karena itu, Hak asasi manusia merupakan materi inti dari naskah undang-undang dasar negara modern. Hak Asasi Manusia (HAM), adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan setiap manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi, dan dilindungi oleh Negara, Hukum, Pemerintahan, dan setiap orang, demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia.[5] Artinya, yang dimaksud sebagai hak asasi manusia adalah hak yang melekat pada diri setiap pribadi manusia.
Keterkaitan antara konstitusi dengan hak asasi manusia juga dapat dilihat dari perkembangan sejarah. Perjuangan perlindungan hak asasi manusia selalu terkait dengan perkembangan upaya pembatasan dan pengaturan kekuasaan yang merupakan ajaran konstitusionalisme. Magna Charta (1215) dan Petition of Rights (1628) adalah momentum perlindungan hak asasi manusia sekaligus pembatasan kekuasaan raja oleh kekuasaan parlemen (house of commons).
Setelah itu, perjuangan yang lebih nyata terlihat pula dalam Bill of Rights yang ditandatangani oleh Raja Willem III pada tahun 1689 sebagai hasil dari pergolakan politik yang dahsyat yang biasa disebut the Glorious Revolution. Glorious Revolution ini tidak saja mencerminkan kemenangan parlemen atas raja[6], tetapi juga menggambarkan rentetan kemenangan rakyat dalam pergolakan-pergolakan yang menyertai perjuangan Bill of Rights itu yang berlangsung tak kurang dari enam puluh tahun lamanya.
Dalam perkembangan selanjutnya, gagasan tentang hak-hak asasi manusia banyak dipengaruhi pula oleh pemikiran-pemikiran para sarjana yang terkait dengan perkembangan pemikiran konstitusi, seperti John Locke dan Jean Jacques Rousseau. John Locke dikenal sebagai peletak dasar bagi teori Trias Politica Montesquieu. Bersama dengan Thomas Hobbes dan J.J. Rousseau, John Locke juga mengembangkan teori perjanjian masyarakat yang biasa dinisbatkan kepada Rousseau dengan istilah kontrak sosial (contract social). Perbedaan pokok antara Hobbes dan Locke dalam hal ini adalah bahwa jika teori Thomas Hobbes menghasilkan monarki absolut, maka teori John Locke menghasilkan monarki konstitusional.
Dalam konteks hak asasi manusia, Thomas Hobbes melihat bahwa hak asasi manusia merupakan jalan keluar untuk mengatasi keadaan yang disebutnya "homo homini lupus, bellum omnium contra omnes". Dalam keadaan demikian, manusia tak ubahnya bagaikan binatang buas dalam legenda kuno yang disebut ‘Leviathan’ yang dijadikan oleh Thomas Hobbes sebagai judul buku. Keadaan seperti itulah yang, menurut Hobbes, mendorong terbentuknya perjanjian masyarakat dalam mana rakyat menyerahkan hak-haknya kepada penguasa. Itu sebabnya pandangan Thomas Hobbes disebutkan sebagai teori yang mengarah kepada pembentukan monarki absolut.[7]
John Locke berpendapat bahwa manusia tidaklah secara absolut menyerahkan hak-hak individunya kepada penguasa. Yang diserahkan, menurutnya, hanyalah hak-hak yang berkaitan dengan perjanjian negara semata, sedangkan hak-hak lainnya tetap berada pada masing-masing individu. John Locke juga membagi proses perjanjian masyarakat tersebut dalam dua macam, yang disebutnya sebagai ”Second Treaties of Civil Government” yang juga menjadi judul bukunya. Dalam instansi pertama (the first treaty) adalah perjanjian antara individu dengan individu warga yang ditujukan untuk terbentuknya masyarakat politik dan negara. Instansi pertama ini disebut oleh John Locke sebagai “Pactum Unionis” berdasarkan anggapan bahwa:
Dalam instansi berikutnya yang disebutkannya sebagai “Pactum Subjectionis” Locke melihat bahwa pada dasarnya setiap persetujuan antar individu (pactum unionis) terbentuk atas dasar suara mayoritas. Dan karena setiap individu selalu memiliki hak-hak yang tak tertanggalkan yakni life, liberty serta estate, maka adalah logis jika tugas negara adalah memberikan perlindungan kepada masing-masing individu.
Dasar pemikiran John Locke inilah yang di kemudian haru dijadikan landasan bagi pengakuan hak-hak asasi manusia. Sebagaimana yang kemudian terlihat dalam Declaration of Independence Amerika Serikat yang pada tanggal 4 Juli 1776 telah disetujui oleh Congress yang mewakili 13 negara baru yang bersatu. Kalimat kedua dari Declaration of Independence tersebut membuktikan adanya pengaruh dari pemikiran John Locke
Di Amerika Serikat perjuangan hak-hak asasi manusia itu disebabkan oleh karena rakyat Amerika Serikat yang berasal dari Eropa sebagai imigran merasa tertindas oleh pemerintahan Inggris. Hal itu berlainan dengan apa yang dialami oleh bangsa Perancis yang pada abad ke-17 dan ke-18 dipimpin oleh pemerintahan raja yang bersifat absolut. Sebagai reaksi terhadap absolutisme itulah, Montesquieu merumuskan teorinya yang dikenal dengan istilah “Trias Politica” yang dikemukakannya dalam buku "L'esprit des Lois" (1748).
Montesquieu berpendapat bahwa kekuasaan negara dibagi dalam tiga bagian yaitu eksekutif, legislatif dan yudikatif. Ketiga bagian tersebut harus dipisahkan baik dari segi organnya maupun dari fungsinya. Pemisahan itu menurutnya sangat penting untuk mencegah bertumpuknya semua kekuasaan di tangan satu orang. Dengan terpisahnya kekuasaan negara dalam tiga badan yang mempunyai tugas masing-masing dan tidak boleh saling mencampuri tugas yang lain, maka dapatlah dicegah terjadinya pemerintahan yang absolut.
Sementara itu, Jean Jacques Rousseau melalui bukunya "Du Contrat Social" menghendaki adanya suatu demokrasi, di mana kedaulatan ada di tangan rakyat. Pandangan Rousseau ini banyak dipengaruhi oleh pemikiran Thomas Hobbes dan John Locke. Ketika itu, berkembang pernyataan tidak puas dari kaum borjuis dan rakyat kecil terhadap raja, yang menyebabkan Raja Louis XVI memanggil Etats Generaux untuk bersidang pada tahun 1789. Akan tetapi kemudian utusan kaum borjuis menyatakan dirinya sebagai "Assemble Nationale" yaitu Dewan Perwakilan Rakyat yang mewakili seluruh bangsa Perancis. Pada tanggal 20 Juni 1789 mereka bersumpah untuk tidak bubar sebelum Perancis mempunyai konstitusi. Selanjutnya, Assemble Nationale tersebut menyatakan dirinya sebagai Badan Konstituante. Pada tanggal 26 Agustus 1789 ditetapkanlah "Pernyataan Hak-hak Asasi Manusia dan Warga Negara" (Declaration des droit de l'homme et du citoyen). Sesudah itu, yaitu pada tanggal 13 September 1789 lahirlah Konstitusi Perancis yang pertama.
Pernyataan hak-hak asasi manusia dan warga negara Perancis tersebut (Declaration des droit de l’homme et du citoyen) dapat dikatakan banyak dipengaruhi oleh Declaration of Independence Amerika Serikat, terutama berkat jasa antara lain seorang warga negara Perancis yang bemama La Fayette yang pernah ikut berperang di Amerika Serikat. Setelah rakyat Amerika berhasil mencapai kemenangan dan American Declaration of Independence ditandatangani pada tahun 1776, La Fayette kembali ke Perancis dengan membawa salinan naskah deklarasi tersebut. Pada waktu Perancis menyusun Declaration des droit de l'homme et du Citoyen (1789), Declaration of Independance Amerika Serikat (1776) itu banyak ditiru. Kemudian dalam perkembangan selanjutnya deklarasi tersebut banyak ditiru pula oleh negara-negara Eropa lainnya.
Oleh karena itu, kedua naskah deklarasi, yaitu Declaration of Independence Amerika Serikat (1776) dan Declaration des Droit de l'homme et du Citoyen Perancis (1789) sangat berpengaruh dan merupakan peletak dasar bagi perkembangan universal perjuangan hak asasi manusia. Kedua deklarasi ini, kemudian disusul oleh The Universal Declaration of Human Rights tahun 1948 menjadi contoh bagi semua negara yang hendak membangun dan mengembangkan diri sebagai negara demokrasi yang menghormati dan melindungi hak-hak asasi manusia.
Kejadian lain yang juga penting yang terjadi dalam perkembangan hak-hak asasi manusia adalah kemenangan demokrasi atas pemerintahan ditaktor dan fascist Jerman, Italia, dan Jepang pada Perang Dunia ke-II. Setelah Perang Dunia ke-II berakhir dengan kemenangan berada di pihak Sekutu maka melalui Perserikatan Bangsa-Bangsa disepakatilah suatu Universal Declaration of Human Right di Paris pada tahun 1948, dengan perbandingan suara 48 (empat puluh delpan) setuju dan 8 (delapan) blanko. Meskipun Universal declaration of Human Rights tersebut tidak mengikat bagi negara-negara yang ikut menandatanganinya, namun diharapkan agar negara-negara anggota PBB dapat mencatumkannya dalam Undang-Undang Dasar masing-masing atau peraturan perundang-undangan lainnya, sehingga norma hukum yang terkandung di dalamnya dapat diberlakukan sebagai hukum domestik di masing-masing negara anggota. Undang-Undang Dasar yang secara lengkap memuat ketentuan yang terdapat dalam The Universal Declaration of Human Rights tersebut adalah Undang-Undang Dasar Sementara Republik Indonesia tahun 1950 dan Konstitusi RIS.
Namun demikian dikukuhkannya naskah Universal Declaration of Human Rights ini, ternyata tidak cukup mampu untuk mencabut akar-akar penindasan di semua negara. Karena itu, tidaklah mengherankan apabila PBB terus berupaya mencari beberapa landasan yuridis, dengan maksud agar naskah tersebut dapat mengikat seluruh negara di dunia. Akhirnya, setelah 18 tahun kemudian, PBB berhasil juga melahirkan Covenant on Economic, Social and Cultural Rights (Perjanjian tentang hak-hak ekonomi, sosial dan Budaya) dan Covenant on Civil and Political Rights (Perjanjian tentang hak-hak sipil dan politik).
B. Pengaturan Hak Asasi Manusia Dalam Undang-Undang Dasar 1945
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sebelum diubah dengan Perubahan Kedua pada tahun 2000, hanya memuat sedikit ketentuan yang dapat dikaitkan dengan pengertian hak asasi manusia. Pasal-pasal yang biasa dinisbatkan dengan pengertian hak asasi manusia itu adalah:
1) Pasal 27 Ayat (1) yang berbunyi, ’Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya’;
2) Pasal 27 Ayat (2) yang berbunyi, ‘Tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan’;
3) Pasal 28 yang berbunyi, ‘Kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan sebagainya ditetapkan dengan undang-undang’;
4) Pasal 29 Ayat (2) yang berbunyi, ‘Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu’;
5) Pasal 30 Ayat (1) yang berbunyi, ‘Tiap-tiap warga negara berhak dan wajib ikut sertta dalam usaha pembelaan negara’;
6) Pasal 31 Ayat (1) yang berbunyi, ‘Tiap-tiap warga negara berhak mendapat pengajaran’;
7) Pasal 34 yang berbunyi, ‘Fakir miskin dan anak-anak yang terlantar diperlihara oleh negara’.
Namun, jika diperhatikan, hanya ada 1 (satu) ketentuan saja yang memang benar-benar memberikan jaminan konstitusional atas hak asasi manusia, yaitu Pasal 29 Ayat (2) yang menyatakan, ‘Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu’. Sedangkan ketentuan-ketentuan yang lain, sama sekali bukanlah rumusan tentang hak asasi manusia atau human rights, melainkan hanya ketentuan mengenai hak warga negara atau the citizens’ rights atau biasa juga disebut the citizens’ constitutional rights.
Hak konstitusional warga negara hanya berlaku bagi orang yang berstatus sebagai warga negara, sedangkan bagi orang asing tidak dijamin. Satu-satunya yang berlaku bagi tiap-tiap penduduk, tanpa membedakan status kewarganegaraannya adalah Pasal 29 Ayat (2) tersebut. Selain itu, ketentuan Pasal 28 dapat dikatakan memang terkait dengan ide hak asasi manusia. Akan tetapi, Pasal 28 Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 belum memberikan jaminan konstitusional secara langsung dan tegas mengenai adanya ‘kemerdekaan berserikat dan berkumpul, serta kemerdekaan mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan’ bagi setiap orang, Pasal 28 hanya menentukan bahwa hal ikhwal mengenai kemerdekaan berserikat dan berkumpul, serta mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan itu masih akan diatur lebih lanjut dan jaminan mengenai hal itu masih akan ditetapkan dengan undang-undang.[8]
Sementara itu, lima ketentuan lainnya, yaitu Pasal 27 Ayat (1) dan (2), Pasal 30 Ayat (1), Pasal 31 Ayat (1), dan Pasal 34, semuanya berkenaan dengan hak konstitusional warga negara Republik Indonesia, yang tidak berlaku bagi warga negara asing. Oleh sebab itu, dapat dikatakan bahwa yang sungguh-sungguh berkaitan dengan ketentuan hak asasi manusia hanya satu saja, yaitu Pasal 29 Ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Tentu, banyak juga sarjana hukum yang mengembangkan pendirian bahwa ketujuh ketentuan tersebut semuanya berkaitan dengan hak asasi manusia. Akan tetapi, tidak sedikit pula sarjana huum yang berpandangan bahwa kesimpulan demikian itu tidak tepat. Apalagi jika diperhatikan, jalan pikiran yang berkembang di antara ‘the founding leaders’ yang merumuskan naskah Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 memang tidak mengidealkan gagasan tentang hak asasi manusia yang pada umumnya dianggap berbau liberalistis dan individualistis.
Oleh karena itu pada mulanya, dalam rancangan naskah Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang dibahas dalam sidang BPUPKI pada tahun 1945, ketentuan mengenai jaminan hak asasi manusia dapat dikatakan tidak dimuat sama sekali. Yang dapat disebut jaminan hak asasi manusia hanya Pasal 29 Ayat (2) sebagai hasil kompromi akibat dicoretnya tujuh kata dari Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang berasal dari rumusan Piagam Jakarta. Artinya, rumusan Pasal 29 Ayat (2) itu pun sebenarnya tidak mengacu kepada pengertian-pengertian hak asasi manusia (human rights) yang lazim diperbincangkan. Hal ini tentu berkaitan dengan kenyataan bahwa di antara para ‘the founding leaders’ yang membahas Rancangan Undang-Undang Dasar dalam sidang-sidang BPUPKI pada tahun 1945, ide-ide hak asasi manusia (human rights) itu sendiri belum diterima secara luas. Para penyusun rancangan undang-undang dasar sependapat bahwa hukum dasar yang hendak disusun harus berdasarkan atas asas kekeluargaan, yaitu suatu asas yang sama sekali menentang paham liberalisme dan individualisme.
Dalam Rancangan Undang-Undang Dasar yang disusun oleh Panitia Kecil sama sekali tidak dimuat ketentuan mengenai hak-hak asasi manusia. Hal ini menimbulkan pertanyaan dari para anggota. Untuk menjawab hal itu, anggota Soekarno antara lain berkata:
"Saja minta dan menangisi kepada tuan-tuan dan nyonya-nyonya, buanglah sama sekali faham individualisme itu janganlah dimasukkan dalam Undang-Undang Dasar kita yang dinamakan ‘rights of the citizen’ sebagai yang dianjurkan oleh Republik Perancis itu adanya. Kita menghendaki keadilan sosial. Buat apa grondwet menuliskan bahwa, manusia bukan saja mempunyai kemerdekaan suara, kemerdekaan hak memberi suara, mengadakan persidangan dan berapat, jika misalnya tidak ada ‘sociale rechtvaardigheid’ jang demikian itu? Buat apa kita membikin grondwet, apa guna grondwet itu kalau ia tidak dapat mengisi perut orang yang hendak mati kelaparan. ‘Grondwet’ yang berisi ‘droit de l'homme et du citoyen’ itu, tidak bisa menghilangkan kelaparannya orang yang miskin yang hendak mati kelaparan. Maka oleh karena itu, djikalau kita betul-betul hendak mendasarkan negara kita kepada faham kekeluargaan, faham tolong menolong, faham gotong royong dan keadilan sosial enyahkanlah tiap-tiap pikiran, tiap-tiap faham individualisme dan liberalisme dari padanya."[9]
Hampir tidak berbeda dengan pendapat anggota Soekarno di atas, anggota Soepomo menyatakan:
''Tadi dengan panjang lebar sudah diterangkan oleh anggota Soekarno bahwa, dalam pembukaan itu kita telah menolak aliran pikiran perseorangan. Kita menerima dan mengandjurkan aliran pikiran kekeluargaan. Oleh karena itu Undang-Undang Dasar kita tidak bisa lain dari pada pengandung sistim kekeluargaan. Tidak bisa kita memasukkan dalam Undang-Undang Dasar beberapa pasal-pasal ten tang bentuk menurut aliran-aliran yang bertentangan. Misalnya dalam Undang-Undang Dasar kita tidak bisa memasukkan pasal-pasal yang tidak berdasarkan aliran kekeluargaan, meskipun sebetulnya kita ingin sekali memasukkan, di kemudian hari mungkin, umpamanya negara bertindak sewenang-wenang. Akan tetapi djikalau hal itu kita masukkan, sebetulnya pada hakekatnya Undang-Undang Dasar itu berdasar atas sifat perseorangan, dengan demikian sistim Undang-Undang Dasar bertentangan dengan konstruksinya, hal itu sebagai konstruksi hukum tidak baik, djikalau ada kejadian bahwa Pemerintah bertindak sewenang-wenang"[10].
Dengan demikian, baik bagi Soekarno maupun bagi Soepomo, paham kenegaraan yang dianggapnya paling cocok adalah paham integralistik, seperti yang tercermin dalam ’sistim pemerintahan di desa-desa yang dicirikan dengan kesatuan hidup dan kesatuan kawulo gusti’. Dalam model ini, kehidupan antar manusia dan individu dilihat sebagai satu kesatuan yang saling berkaitan. Oleh karena itu, tidak boleh ada dikotomi antara negara dan individu warga negara, dan tidak boleh ada konflik di antara keduanya, sehingga tidak diperlukan jaminan apapun hak-hak dan kebebasan fundamental warga negara terhadap negara.[11]
Pemahaman demikian itulah yang kemudian mendasari pandangan filosofis penyusunan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 yang mempengaruhi pula perumusan pasal-pasal Hak Asasi Manusia. Landasan filosofis yang digunakan sama sekali tidak membutuhkan adanya jaminan hak-hak asasi manusia dan jaminan kemerdekaan individu.
Adalah anggota Muhammad Hatta dan Muhammad Yamin, yang walaupun menyetujui prinsip kekeluargaan dan sama-sama menentang individualisme dan liberalisme, namun dalam rangka mencegah jangan sampai timbul negara kekuasaan (machtsstaat), memandang perlu untuk memasukkan pasal-pasal tertentu tentang hak-hak asasi manusia ke dalam Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945. Mengenai hal ini, Hatta, menyatakan:
"... ada baiknya dalam salah satu pasal, misalnya pasal yang mengenai warga negara, disebutkan juga disebelah hak yang sudah diberikan kepada misalnya tiap-tiap warga negara jangan takut mengeluarkan suaranya. Yang perlu disebutkan disini hak untuk berkumpul dan bersidang atau menyurat dan lain-lain. Formuleringnya atau redaksinya boleh kita serahkan kepada Panitia Kecil. Tetapi tanggungan ini perlu untuk menjaga, supaya negara kita tidak menjadi negara kekuasaan, sebab kita mendasarkan negara kita atas kedaulatan rakyat"[12].
Demikianlah pula dengan anggota Yamin, yang pendapatnya hampir sama dengan pendapat anggota Hatta, dan bahkan menginginkan tidak hanya satu pasal saja, tetapi lebih luas dari itu. Menurut Muhammad Yamin,
"Supaya aturan kemerdekaan warga negara dimasukkan dalam Undang-Undang Dasar seluas-luasnya. Saja menolak segala alasan-alasan yang dimajukan untuk tidak memasukkannya dan seterusnya dapatlah saja memajukan, beberapa alasan pula, selain dari pada yang dimajukan oleh anggota yang terhormat Moh. Hatta tadi. Segala constitution lama dan baru diatas dunia berisi perlindungan aturan dasar itu, misalnya Undang-Undang Dasar Dai Nippon, Republik Filipina dan Republik Tiongkok. Aturan dasar tidaklah berhubungan dengan liberalisme, melainkan semata-mata suatu keharusan perlindungan kemerdekaan yang harus diakui dalam Undang-Undang Dasar".
Dari kutipan-kutipan di atas, jelaslah bahwa di kalangan para ”the founding fathers” atau ”the founding leaders” memang terdapat perbedaan pandangan yang prinsipil satu sama lain. Meskipun ada juga sarjana yang berpandangan bahwa perbedaan diantara mereka itu hanya perbedaan formulasi eksplisit dan implisit saja. Karena itu, sebagai komprominya, ketentuan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 yang berkenaan dengan hak asasi manusia dapat dikatakan hanya memuat secara terbatas, yaitu sebanyak 7 pasal saja. Sedikitnya pasal-pasal yang berbicara langsung tentang hak-hak asasi manusia dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 bukan disebabkan oleh karena naskah undang-undang dasar ini disusun sebelum adanya Universal Declaration of Human Right Tahun 1948. Pada tahun 1945 itu, telah ada Declaration of Independence Amerika Serikat dan Declaration des droit de l'homme et du citoyen Perancis, yang dijadikan bahan untuk penyusunan pasal-pasal tentang hak-hak asasi manusia yang lebih lengkap dari apa yang kemudian disepakati dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Dengan hanya memuat 7 pasal saja yang mengatur secara terbatas mengenai hak-hak asasi manusia dalam Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945, dalam salah satu tulisannya, Muhammad Yamin memberi komentar:
"Bahwa pada waktu Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dirancangkan Pembukaannya menjamin demokrasi, tetapi pasal-pasalnya benci kepada kemerdekaan diri dan menentang liberalisme dan demokrasi revolusioner. Akibat pendirian ini yaitu hak-hak asasi tidaklah diakui seluruhnya, melainkan diambil satu dua saja yang kira-kira sesuai dengan suasana politik dan sosial pada tahun 1945, yang dipengaruhi oleh peperangan antara facisme melawan demokrasi. Waktu merancang Konstitusi 1945 maka hak-hak asasi yang lebih luas memang dimajukan, tetapi usul itu kandas atas alasan, bahwa pada waktu itu hak asasi dipandang sebagai kemenangan liberalisme yang tidak disukai."[13].
Dari uraian dan penjelasan di atas, teranglah bahwa pada saat Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 disusun, beberapa anggota Panitia berpendapat bahwa hak-hak asasi manusia adalah sesuatu yang bersumber kepada individualisme dan liberalisme, sehingga bertentangan dengan asas kekeluargaan yang dianut oleh bangsa Indonesia. Padahal, dapat dibuktikan bahwa sejarah perkembangannya, hak-hak asasi tidaklah dilahirkan oleh paham liberalisme dan individualisme, melainkan oleh absolutisme. Hak-hak asasi timbul sebagai reaksi terhadap absolutisme tindakan sewenang-wenang penguasa. Dengan perkataan lain, hak-hak asasi timbul sebagai akibat adanya pertentangan antara penguasa dan rakyat yang merasa ditindas oleh penguasa yang absolut.
Lahirnya Petition of Right dan Bill of Right di Inggris adalah akibat kemenangan rakyat atas raja, sehingga raja tidak lagi dapat berbuat sewenang-wenang. Lahirnya Declaration of Independence di Amerika Serikat disebabkan oleh adanya pertentangan antara rakyat Amerika yang merasa ditindas oleh Pemerintah Inggris yang menjajah. Declaration des Droit de l'homme et du Citoyen di Perancis juga merupakan hasil perjuangan rakyat yang menentang kekuasaan Raja yang absolut. Demikian pula, Universal Declaration of Human Rights (UDHR) Tahun 1948 lahir karena adanya pemerintah fasisme Jerman, Italia, dan Jepang yang dianggap menginjak-injak hak-hak asasi manusia.
Oleh karena itu, dikatakan oleh Muhamad Kusnardi dan Harmaily Ibrahim, persoalan hak-hak asasi manusia adalah persoalan antara individu yang memegang kekuasaan dan individu yang tidak mempunyai kekuasaan. Persoalan hak-hak asasi adalah persoalan yang timbul sebagai akibat terjadinya ketegangan antara yang berkuasa dengan yang dikuasai, antara yang memerintah (the ruler, the governor) dan yang diperintah (the ruled, the governed).
Ketika Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 digantikan oleh Konstitusi Republik Indonesia Serikat 1949 atau yang lebih tepat disebut sebagai Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Serikat 1949, dan kemudian Undang-Undang Dasar Sementara Tahun 1950, kedua naskah Undang-Undang Dasar ini memuat ketentuan yang lebih lengkap tentang hak asasi manusia. Yang berperan dalam perumusan naskah Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Serikat 1949 dan Undang Dasar Sementara Tahun 1950 juga adalah Soepomo yang semula, ketika Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dirumuskan, menentang pencantuman pasal-pasal tentang hak asasi manusia. Artinya, setelah tahun 1948, pandangan dan apresiasi Soepomo dan juga Soekarno turut pula mengalami perkembangan sehubungan dengan ketentuan konstitusional hak asasi manusia itu sendiri. Hal ini terjadi, karena ketika itu The Universal Declaration of Human Rights Tahun 1948 sudah ada, dan sedang sangat populer di dunia. Sayangnya, Undang-Undang Dasar 1950 tidak berlaku lagi sejak tanggal 5 Juli 1959. Mulai saat itu berlakulah kembali Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang hanya memuat 7 pasal tentang hak asasi manusia. Itu pun dalam pengertiannya yang sangat terbatas.
Menurut Harun Alrasyid, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 itu sama sekali tidak memberikan jaminan apa pun mengenai hak-hak asasi manusia. Menurutnya, yang diperdebatkan antara Hatta-Yamin di satu pihak dan Soekarno-Soepomo di lain pihak, hanya berkenaan dengan substansi Pasal 28 yang akhirnya sebagai kompromi disepakati berbunyi, ”Kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan sebagainya ditetapkan dengan Undang-undang”. Muhammad Hatta dan Muhammad Yamin sudah mengusulkan pencantuman jaminan hak asasi manusia disini, tetapi oleh Soekarno dan Soepomo ditolak karena hal itu mereka anggap bertentangan dengan paham integralistik. Karena itu, sebagai jalan tengahnya disepakatilah rumusan yang demikian itu. Akan tetapi, jika diamati secara seksama, Pasal 28 itu sama sekali tidak memberikan jaminan mengenai adanya pengakuan konstitusional akan hak dan kebebasan berserikat (freedom of association), berkumpul (freedom of assembly), dan menyatakan pendapat (freedom of expression). Pasal 28 menyatakan bahwa hak-hak tersebut akan ditetapkan dengan undang-undang. Artinya, sebelum ditetapkan dengan undang-undang, hak itu sendiri belum ada.
Karena itu, ide untuk mengadopsikan perlindungan hak asasi manusia itu, terus diperjuangkan oleh berbagai kalangan. Lahirnya pemerintahan Orde Baru, misalnya, juga diikuti oleh hidupnya kembali tekad untuk melindungi hak-hak asasi manusia. Berpedoman kepada pengalaman masa Orde Lama yang kurang mengindahkan hak asasi warga negara, Sidang Umum Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara ke IV menetapkan Ketetapan MPRS Nomor XIV /MPRS/1966 yang memerintahkan antara lain penyusunan piagam hak-hak asasi manusia. Artinya, Majelis Permusyawaratan Rakyat sendiri menyadari ketidak-lengkapan Undang-Undang Dasar 1945 dalam mengatur mengenai hak-hak asasi manusia.
Berdasarkan TAP MPRS tersebut dibentuklah Panitia-panitia Ad Hoc, yaitu Panitia Ad Hoc IV menyusun tentang perincian hak-hak asasi, Panitia Ad Hoc II menyusun pembagian kekuasaan di antara lembaga-lembaga negara menurut sistim Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945, dan Panitia Ad Hoc III menyusun tentang pelengkap penjelasan Undang-Undang Dasar 1945. Khusus mengenai Panitia Ad Hoc IV, dalam melaksanakan tugasnya, pertama-tama mengundang para sarjana, cendekiawan dan tokoh masyarakat untuk memberikan ceramah tentang hak-hak asasi manusia. Berdasarkan bahan-bahan yang berhasil dihimpun, Panitia menyusun suatu Piagam tentang Hak-hak Asasi dan Hak-hak serta Kewajiban Warga Negara.
Dengan keputusan Pimpinan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS) tanggal 6 Maret 1967 Nomor 24/B/1967, hasil kerja Panitia Ad Hoc IV serta III dan II diterima dengan baik sebagai bahan pokok untuk disebarluaskan guna penyempurnaan lebih lanjut. Pada tanggal 12 Maret 1967 diputuskan bahwa Panitia Ad Hoc II, III dan IV diubah menjadi Panitia Ad Hoc B, dan masa kerjanya diperpanjang selama 6 bulan sejak keluarnya Keputusan MPRS Nomor 7/MPRS/1967. Setelah ada tanggapan dari masyarakat, maka Panitia Ad Hoc B selanjutnya mengadakan penyempurnaan atas Piagam tersebut.
Sayangnya, hasil karya Panitia Ad Hoc B tersebut tidak menjadi kenyataan, karena pada Sidang Umum Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara ke V tahun 1968, anggota-anggota MPRS tidak berhasil mencapai kata sepakat untuk mengesahkannya menjadi suatu ketetapan. Bahkan, setelah terbentuknya, Majelis Permusyawaratan Rakyat hasil Pemilihan Umum tahun 1971, dengan Ketetapan No. V/MPR/1973, MPR menyatakan bahwa Ketetapan MPRS No. XIV/MPRS/1966 tidak berlaku lagi dan dicabut. Dengan demikian, Piagam Hak Asasi Manusia yang pernah dihasilkan oleh MPRS itu hanya tinggal sejarah saja.
Sekarang, setelah Perubahan Kedua Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 pada tahun 2000, ketentuan mengenai hak asasi manusia dan hak-hak warga negara dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 telah mengalami perubahan yang sangat mendasar. Materi yang semula hanya berisi 7 butir ketentuan yang juga tidak seluruhnya dapat disebut sebagai jaminan konstitusional hak asasi manusia, sekarang telah bertambah secara sangat signifikan. Ketentuan baru yang diadopsikan ke dalam Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 setelah Perubahan Kedua pada tahun 2000 termuat dalam Pasal 28A sampai dengan Pasal 28J, ditambah beberapa ketentuan lainnya yang tersebar di beberapa pasal. Karena itu, perumusan tentang hak-hak asasi manusia dalam konstitusi Republik Indonesia dapat dikatakan sangat lengkap dan menjadikan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 sebagai salah satu undang-undang dasar yang paling lengkap memuat ketentuan yang memberikan perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia.
Pasal-pasal tentang hak asasi manusia itu sendiri, terutama yang termuat dalam Pasal 28A sampai dengan Pasal 28J, pada pokoknya berasal dari rumusan TAP MPR Nomor XVII/MPR/1998 tentang Hak Asasi Manusia yang kemudian isinya menjadi materi UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Oleh karena itu, untuk memahami konsepsi tentang hak-hak asasi manusia itu secara lengkap dan historis, ketiga instrumen hukum UUD 1945, TAP MPR Nomor XVII/MPR/1998 dan UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia tersebut dapat dilihat dalam satu kontinum[14]. Secara keseluruhan dapat dikatakan bahwa ketentuan-ketentuan tentang hak-hak asasi manusia yang telah diadopsikan ke dalam sistim hukum dan konstitusi Indonesia itu berasal dari berbagai konvensi internasional dan deklarasi universal tentang hak asasi manusia serta berbagai instrumen hukum internasional lainnya[15].
Setelah Perubahan Kedua pada tahun 2000, keseluruhan materi ketentuan hak-hak asasi manusia dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, yang apabila digabung dengan berbagai ketentuan yang terdapat dalam undang-undang yang berkenaan dengan hak asasi manusia, dapat kita kelompokkan dalam empat kelompok yang berisi 37 butir ketentuan. Diantara keempat kelompok hak asasi manusia tersebut, terdapat hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun atau non-derogable rights, yaitu:
1) Hak untuk hidup;
2) Hak untuk tidak disiksa;
3) Hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani;
4) Hak beragama;
5) Hak untuk tidak diperbudak;
6) Hak untuk diakui sebagai pribadi di hadapan hukum; dan
7) Hak untuk tidak dituntut atas dasar hokum yang berlaku surut.
Sedangkan keempat kelompok hak asasi manusia terdiri atas; kelompok pertama adalah kelompok ketentuan yang menyangkut hak-hak sipil yang meliputi:
1) Setiap orang berhak untuk hidup, mempertahankan hidup dan kehidupannya;
2) Setiap orang berhak untuk bebas dari penyiksaan, perlakuan atau penghukuman lain yang kejam, tidak manusiawi dan merendahkan martabat kemanusiaan;
3) Setiap orang berhak untuk bebas dari segala bentuk perbudakan;
4) Setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya;
5) Setiap orang berhak untuk bebas memiliki keyakinan, pikiran, dan hati nurani;
7) Setiap orang berhak untuk diakui sebagai pribadi di hadapan hukum;
8) Setiap orang berhak atas perlakuan yang sama di hadapan hukum dan pemerintahan;
9) Setiap orang berhak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut;
10) Setiap orang berhak untuk membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang sah;
11) Setiap orang berhak atas status kewarganegaraan;
12) Setiap orang berhak untuk bertempat tinggal di wilayah negaranya, meninggalkan, dan kembali ke negaranya;
13) Setiap orang berhak memperoleh suaka politik;
14) Setiap orang berhak bebas dari segala bentuk perlakuan diskriminatif dan berhak mendapatkan perlindungan hukum dari perlakuan yang bersifat diskriminatif tersebut.
Kedua, kelompok hak-hak politik, ekonomi, sosial, dan budaya yang meliputi:
1) Setiap warga negara berhak untuk berserikat, berkumpul dan menyatakan pendapatnya secara damai dengan lisan dan tulisan;
2) Setiap warga negara berhak untuk memilih dan dipilih dalam rangka lembaga perwakilan rakyat;
3) Setiap warga negara dapat diangkat untuk menduduki jabatan-jabatan publik;
4) Setiap orang berhak untuk memperoleh dan memilih pekerjaan yang sah dan layak bagi kemanusiaan;
5) Setiap orang berhak untuk bekerja, mendapat imbalan, dan mendapat perlakuan yang layak dalam hubungan kerja yang berkeadilan;
6) Setiap orang berhak mempunyai hak milik pribadi;
7) Setiap warga negara berhak atas jaminan sosial yang dibutuhkan untuk hidup layak dan memungkinkan pengembangan dirinya sebagai manusia yang bermartabat;
8) Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi;
9) Setiap orang berhak untuk memperoleh dan memilih pendidikan dan pengajaran;
10) Setiap orang berhak mengembangkan dan memperoleh manfaat dari ilmu pengetahuan dan teknologi, seni dan budaya untuk peningkatan kualitas hidup dan kesejahteraan umat manusia;
11) Negara menjamin penghormatan atas identitas budaya dan hak-hak masyarakat lokal selaras dengan perkembangan zaman dan tingkat peradaban bangsa-bangsa;
12) Negara mengakui setiap budaya sebagai bagian dari kebudayaan nasional;
13) Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing, dan untuk beribadat menurut kepercayaannya itu.
Ketiga, kelompok hak-hak khusus dan hak atas pembangunan yang meliputi:
1) Setiap warga negara yang menyandang masalah sosial, termasuk kelompok masyarakat yang terasing dan yang hidup di lingkungan terpencil, berhak mendapat kemudahan dan perlakuan khusus untuk memperoleh kesempatan yang sama;
2) Hak perempuan dijamin dan dilindungi untuk mendapai kesetaraan gender dalam kehidupan nasional;
3) Hak khusus yang melekat pada diri perempuan uang dikarenakan oleh fungsi reproduksinya dijamin dan dilindungi oleh hukum;
4) Setiap anak berhak atas kasih sayang, perhatian, dan perlindungan orangtua, keluarga, masyarakat dan negara bagi pertumbuhan fisik dan mental serta perkembangan pribadinya;
5) Setiap warga negara berhak untuk berperan-serta dalam pengelolaan dan turut menikmati manfaat yang diperoleh dari pengelolaan kekayaan alam;
6) Setiap orang berhak atas lingkungan hidup yang bersih dan sehat;
7) Kebijakan, perlakuan atau tindakan khusus yang bersifat sementara dan dituangkan dalam peraturan perundang-undangan yang sah yang dimaksudkan untuk menyetarakan tingkat perkembangan kelompok tertentu yang pernah mengalami perlakuan diskriminatif dengan kelompok-kelompok lain dalam masyarakat, dan perlakuan khusus tersebut tidak termasuk dalam pengertian diskriminasi.
Keempat, kelompok yang mengatur mengenai tanggungjawab negara dan kewajiban asasi manusia yang meliputi:
1) Setiap orang wajib menghormati hak asasi manusia orang lain dalam tertib kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara;
2) Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk pada pembatasan yang ditetapkan oleh undang-undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan dan penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain serta untuk memenuhi tuntutan keadilan sesuai dengan nilai-nilai agama, moralitas, dan kesusilaan, keamanan, dan ketertiban umum dalam masyarakat yang demokratis;
3) Negara bertanggungjawab atas perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan hak-hak asasi manusia;
4) Untuk menjamin pelaksanaan hak asasi manusia, dibentuk Komisi Nasional Hak Asasi Manusia yang bersifat independen dan tidak memihak yang pembentukan, susunan, dan kedudukannya diatur dengan undang-undang.
Hak-hak tersebut di atas ada yang termasuk kategori hak asasi manusia yang berlaku bagi semua orang yang tinggal dan berada dalam wilayah hukum Republik Indonesia, dan ada pula yang merupakan hak warga negara yang berlaku hanya bagi warga negara Republik Indonesia. Hak-hak dan kebebasan tersebut ada yang tercantum dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan ada pula yang tercantum hanya dalam undang-undang tetapi memiliki kualitas yang sama pentingnya secara konstitusional sehingga dapat disebut memiliki “constitutional importance” yang sama dengan yang disebut eksplisit dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Sesuai dengan prinsip “kontrak sosial” (social contract), maka setiap hak yang terkait dengan warga negara dengan sendiri bertimbal-balik dengan kewajiban negara untuk memenuhinya. Demikian pula dengan kewenangan-kewenangan konstitusional yang dimiliki oleh negara melalui organ-organnya juga bertimbal-balik dengan kewajiban-kewajiban konstitusional yang wajib ditaati dan dipenuhi oleh setiap warga negara.
Konsepsi HAM yang pada awalnya menekankan pada hubungan vertikal, terutama dipengaruhi oleh sejarah pelanggaran HAM yang terutama dilakukan oleh negara, baik terhadap hak sipil-politik maupun hak ekonomi, sosial, dan budaya. Sebagai konsekuensinya, disamping karena sudah merupakan tugas pemerintahan, kewajiban utama perlindungan dan pemajuan HAM ada pada pemerintah. Hal ini dapat kita lihat dari rumusan-rumusan dalam Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia, Konvenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik, serta Konvenan Internasional tentang Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya, yang merupakan pengakuan negara terhadap hak asasi manusia sebagaimana menjadi substansi dari ketiga instrumen tersebut. Konsekuensinya, negara-lah yang terbebani kewajiban perlindungan dan pemajuan HAM. Kewajiban negara tersebut ditegaskan dalam konsideran “Menimbang” baik dalam Konvenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik maupun Konvenan Internasional tentang Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya. Dalam hukum nasional, Pasal 28 I ayat (4)[16] Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menyatakan bahwa perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan HAM adalah tanggungjawab negara, terutama Pemerintah.
Dengan berkembangnya konsepsi HAM yang juga meliputi hubungan-hubungan horisontal mengakibatkan perluasan kategori pelanggaran HAM dan aktor pelanggarnya. Hak atas informasi dan hak partisipasi dalam pembangunan misalnya tidak hanya menjadi kewajiban negara, tetapi juga menjadi tanggungjawab korporasi-korporasi yang dalam aktivitasnya bersinggungan dengan kehidupan masyarakat. Keberadaan perusahaan-perusahaan mau tidak mau membawa dampak dalam kehidupan masyarakat yang sering kali mengakibatkan berkurangnya hak asasi manusia.
Persinggungan antara Korporasi dengan Hak Asasi Manusia paling tidak terkait dengan hak atas lingkungan yang bersih dan sehat, hak atas ketersediaan dan aksesibilitas terhadap sumber daya alam dan hak-hak pekerja. Secara lebih luas struktur hubungan kekuasaan yang bersifat horizontal antara produsen juga memiliki potensi dan peluang terjadinya tindakan-tindakan sewenang-wenang terhadap pihak konsumen yang mungkin diperlakukan sewenang-wenang dan tidak adil.
Maka pelanggaran HAM tidak hanya dapat dilakukan oleh negara. Dalam pola relasi kekuasaan horisontal peluang terjadinya pelanggaran HAM lebih luas dan aktor pelakunya juga meliputi aktor-aktor non negara, baik individu maupun korporasi. Karena itulah memang sudah saatnya kewajiban dan tanggungjawab perlindungan dan pemajuan HAM juga ada pada setiap individu dan korporasi. Hal ini juga telah dinyatakan dalam “Declaration on the Right and Responsibility of Individuals, Groups, and Organs of Society to Promote and Protect Universally Recognized Human Rights and Fundamental Freedom”[17] pada tahun 1998.
C. Keberadaan Mahkamah Konstitusi Sebagai Penegakan Konstitusi dan HAM di Indonesia
Mahkamah Konstitusi adalah salah satu pelaku kekuasaan kehakiman sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Menurut Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, kewajiban dan kewenangan Mahkamah Konstitusi adalah :
a) Berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusnya bersifat final untuk:
i. Menguji Undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945.
ii. Memutus sengketa kewenangan lembaga Negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945.
iii. Memutuskan pembubaran partai politik.
iv. Memutuskan perselisihan tentang hasil Pemilihan Umum.
v. Wajib memberi putusan atas pendapat Dewan Perwakilan Rakyat mengenai dugaan pelanggaran oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden menurut Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945.
b) Mahkamah Knstitusi wajib memberikan putusan atas pendapat DPR bahwa Presiden dan Wakil Presiden diduga telah melakukan pelanggaran hukum beruppa pengkhianatan terhadap Negara, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela, dan /atau tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan / atau Wakil Presiden sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Indonesia Tahun 1945.
c) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berupa :
i. Pengkhianatan terhadap Negara adalah tindak pidana terhadap keamanan Negara sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang.
ii. Korupsi dan penyuapan adalah tindak pidana korupsi atau penyuapan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang.
iii. Tindak pidana berat lainnya adalah tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima ) tahun atau lebih.
iv. Perbuatan yang tercela adalah perbuatan yang dapat merendahkan martabat Presiden dan /atau Wakil Presiden.
v. Tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/ Wakil Presiden adalah syarat sebagaimana ditentukan dalam Pasal 6 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menentukan bahwa MK mempunyai 4 Kewenangan Konstitusional,yaitu:
a) Menguji undang-undang terhadap UUD.
b) Memutuskan sengketa kewenangan antara lembaga yang kewenangannya diberikan oleh UUD.
c) Memutuskan sengketa hasil pemilu.
d) Memutuskan pembubaran partai politik
Sementara kewajiban Konstitusi MK adalah memutuskan pendapat DPR bahwa Presiden dan/ atau Wakil Presiden telah bersalah melakukan pelanggaran hukum ataupun tidak lagi memenuhi persyaratan sebagai Presiden dan/ atau Wakil Presiden seperti yang dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945. Tanpa harus mengecilkan arti kewenangan lainnya dan apalagi tidak cukup ruang untuk membahasnya dalam makalah singkat ini, maka dari keempat kewenangan dan satu kewajiban konstitusional tersebut, yang dapat dikatakan paling banyak mendapat sorotan di dunia ilmu pengetahuan adalah pengujian atas konstitusionalitas.
Konstitusi bangsa Indonesia secara tegas menyatakan bahwa Negara Indonesia adalah Negara Hukum (Rechtstaats). Menurut pemikiran Friedrich Julius Stahl, salah satu unsur yang dimiliki oleh negara hukum adalah pemenuhan akan hak-hak dasar manusia (basic rights/fundamental rights). Agar dapat selalu mengikuti perkembangan dan pemenuhan akan hak-hak dasar manusia, maka sebuah konstitusi haruslah mempunyai aspek yang dinamis dan mampu menangkap fenomena perubahan sejarah (historical change), sehingga dapat menjadikannya sebagai suatu konstitusi yang selalu hidup (living constitution).
Konstitusi sebagai hukum dasar yang utama dan merupakan hasil representatif kehendak seluruh rakyat, haruslah dilaksanakan dengan sungguh-sungguh di setiap sendi kehidupan berbangsa dan bernegara. Oleh karena itu, prinsip yang timbul adalah setiap tindakan, perbuatan, dan/atau aturan dari semua otoritas yang diberi delegasi oleh konstitusi, tidak boleh bertentangan dengan basic rights dan konstitusi itu sendiri.
Hasil amandemen ketiga Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, telah melahirkan sebuah lembaga yang berfungsi sebagai pengawal konstitusi (the guardian of the constitution), yaitu Mahkamah Konstitusi (Mahkamah) yang mempunyai kedudukan setara dengan Mahkamah Agung, berdiri sendiri, serta terpisah (duality of jurisdiction) dengan Mahkamah Agung.
Berdasarkan Pasal 24C Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 juncto Pasal 10 Undang-undang No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, Mahkamah mempunyai 4 (empat) kewenangan dan 1 (satu) kewajiban dengan perincian sebagai berikut: menguji undang-undang terhadap UUD (judicial review), memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar (disputes regarding state institution’s authority), memutus pembubaran partai politik (political party’s dissolution), dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum (disputes regarding General Election’s result); dan wajib memberikan putusan atas pendapat DPR bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana lainnya, atau perbuatan tercela, dan/atau pendapat bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden (pemakzulan atau impeachment).
A. Kewenangan Mahkamah Konstitusi Dalam Penegakan Konstitusi dan HAM di Indonesia.
Berdasarkan ketentuan Pasal 24 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, ”Kekuasaan kehakiman yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan”. Sedangkan Pasal 24 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Indonesia Tahun 1945 mengatur ” Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi”. Pasal 24C ayat (1) dan (2) Undang-Undang Dasar Negara Indonesia Tahun 1945 mengatur sebagai berikut: - Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar, memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar, memutus pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum. - Mahkamah Konstitusi wajib memberikan putusan atas pendapat Dewan Perwakilan Rakyat mengenai dugaan pelanggaran oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden menurut Undang-Undang Dasar Negara Indonesia Tahun 1945. Ketentuan-ketentuan di atas ditegaskan kembali pengaturannya dalam Undang-Undang Mahkamah Konstitusi Pasal 10 Ayat (1) dan (2). Dari ketentuan tersebut di atas dapat dijelaskan bahwa Mahkamah Konstitusi merupakan badan peradilan tingkat pertama dan terakhir, atau dapat dikatakan merupakan badan peradilan satu-satunya yang putusannya bersifat final dan mengikat untuk mengadili perkara pengujian undang-undang, sengketa lembaga negara yang kewenagannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar Negara Indonesia Tahun 1945, pembubaran partai politik, dan perselisihan hasil pemilu. Dengan demikian, dalam hal pelaksanaan kewenangan ini tidak ada mekanisme banding dan kasasi terhadap putusan yang dibuat Mahkamah Konstitusi untuk perkara-perkara yang berkenaan dengan kewenangan tersebut.[19]
Berikut ini akan dijelaskan dan dijabarkan kewenangan Mahkamah Konstitusi yang diberikan Undang-Undang Dasar Negara Indonesia Tahun 1945:
a. Pengujian Undang-Undang
Undang-Undang Dasar Negara Indonesia Tahun 1945 telah meletakkan bahwa sistem hukum di Indonesia terdapat dua institusi yang berwenang melakukan pengujian (judicial review). Kewenangan untuk menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Indonesia Tahun 1945 diberikan kepada Mahkamah Konstitusi (Pasal 24C Ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Indonesia Tahun 1945), sedangkan pengujian peraturan perundang-undangan di bawah Undang-undang menjadi kewenangan Mahkamah Agung (Pasal 24A Ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Indonesia Tahun 1945). Wewenang untuk menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Indonesia Tahun 1945 merupakan suatu hal yang sudah lama diinginkan dalam konteks pelaksaan kekuasaan kehakiman sebagai bagian dari cita-cita terwujudnya negara hukum dan demokrasi. Dengan adanya kewenangan dan mekanisme pengujiankonstitusionalitas undang-undang, cita-cita negara hukum dan demokrasi telah mendapat penegasannya.[20]
Selanjutnya, Undang-Undang No. 24 Tahun 2003 mengatur bahwa pengujian konstitusionalitas suatu undang-undang dimungkinkan bisa dilakukan secara formal dan materiil (Pasal 51 Ayat 3). Pengujian secara formal menelaah apakah pembentukan undang-undang telah memenuhi prosedur pembentukan berdasarkan ketentuan Undang-Undang Dasar Negara Indonesia Tahun 1945. Sedangkan, pengujian Undang-undang secara materiil memeriksa apakah materi muatan dalam pasal, ayat, dan/atau bagian undang-undang yang bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Indonesia Tahun 1945.
b. Memutus Sengketa Kewenangan Antar Lembaga Negara
Pengaturan kewenangan ini ditujukan kepada lembaga yang kewenangannya diberikan langsung oleh Undang-Undang Dasar Negara Indonesia Tahun 1945. Lembaga yang dimaksud antara lain MPR, Presiden, DPR, DPD, BPK, Komisi Yudisial. Selain itu ada Komisi Pemilihan Umum, Bank Sentral, TNI-Polri serta pemerintah daerah. Kecuali bank sentral, seluruh lembaga lainnya diatur kewenangannya dalam UUD. Pasal 61 Ayat (1) Undang-Undang No. 24 Tahun 2003 mengatur “pemohon adalah lembaga Negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang mempuyai kepentingan langsung terhadap kewenangan yang dipersengketakan”. Sedangkan, Pasal 65 Undang-Undang No. 24 Tahun 2003 menyatakan ”Mahkamah Agung tidak dapat menjadi pihak dalam sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Negara Republik Indonesia Tahun 1945”. [21]
Dalam persidangan Mahkamah Konstitusi dan/atau termohon untuk menghentikan sementara pelaksanaan kewenangan yang dipersengketakan sampai putusan Mahkamah Konstitusi. Putusan Mahkamah Konstitusi mengenai sengketa kewenangan disampaikan kepada DPR, DPD, dan Presiden.[22]
c. Memutus Pembubaran Partai Politik
Alasan pembubaran partai politik dapat ditemukan secara implisit dari Pasal 68 Ayat (2) Undang-Undang No.24 Tahun 2003 yakni berkaitan dengan ideologis, asas, tujuan, program, dan kegiatan partai politik yang dianggap bertentangan dengan Undang-Undang Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Sedangkan, pihak yang menjadi pemohon adalah adalah pemerintah. Adapun pelaksanaan pembubaran partai politik di Indonesia dilakukan dengan membatalakan pendaftaran pada pemerintah dan proses pemeriksaan permohonan pembubaran partai politik diputus paling lambat 60 hari kerja (Pasal 71 dan 73 Ayat (1) Undang-Undang No.24 Tahun 2003).[23]
d. Memutus Perselisihan Hasil Pemilu
Perselisihan hasil pemilihan umum adalah perselisihan antara peserta pemilihan umum dengan penyelenggara pemilihan umum.
Menurut Pasal 74 Ayat (1) Undang-Undang No.24 Tahun 2003:
Pemohon adalah: Perorangan warga negara Indonesia calon anggota Dewan Perwakilan Daerah peserta pemilihan umum; Pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden peserta pemilihan umum Presiden dan Wakil Presiden; dan Partai politik peserta pemilihan umum.
Di samping itu, setelah lahirnya Undang-Undang No.22 Tahun 2007 dan Undang-Undang No.12 Tahun 2008, terjadi perubahan pada ketentuan Pilkada yaitu penyelengarannya dilaksanakan dengan pemilihan secara langsung oleh rakyat kemudian Pilkada yang sebelumnya masuk Pemerintahan Daerah bergeser menjadi pemilu. Akibatnya pergeseran tersebut, maka penyelesaian sengketa hasil Pilkada yang sebelumnya dilakukan oleh Mahkamah Agung, kemudian berpindah ke Mahkamah Konstitusi.
Menurut Pasal 1 Angka 4 Undang-Undang No.22 Tahun 2007 menentukan bahwa Pemilihan Umum Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah adalah Pemilihan Umum untuk memilih kepala daerah dan wakil kepala daerah daerah secara langsung dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
e. Memutus Dugaan Pelanggaran Presiden dan/atau Wakil Presiden
Kewenangan yang diberikan kepada Mahkamah Konstitusi merupakan refleksi proses penghentian (Impeachment) terhadap presiden dan/atau wakil presiden yang sebelumnya hanya berdasarkan mekanisme dan pertimbangan politik. Penempatan peran Mahkamah Konstitusi dimaksudkan agar proses pemberhentian presiden/atau wakil presiden terdapat pertimbangn-pertimbagan hukum.[24]
Sesuai ketentuan Pasal 7B Ayat 1-5, Mahkamah Konstitusi berkewajiban untuk memeriksa dugaan DPR atas pelanggaran hukum berupa: pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, perbuatan tercela, tidak lagi memenuhi syarat presiden dan/atau wakil presiden. Usul pemberhentian berdasarkan alasan- alasan tersebut dilakukan oleh DPR. DPR dalam hal ini harus terlebih dahulu mengajukan permintaan kepada Mahkamah Konstitusi untuk memeriksa, mengadili, dan memutus dugaan atau pendapat DPR tersebut.[25]
Apabila Mahkamah Konstitusi memutuskan bahwa presiden dan/atau wakil presiden bersalah, DPR meneruskan usul pemberhentian kepada MPR. Dengan demikian, kewenangan Mahkamah Konstitusi tidak sampai memutuskan apakah presiden dan/atau wakil presiden diberhentikan atau tidak. Mahkamah Konstitusi hanya memberikan pertimbangan hukum dan membuktikan benar atau tidaknya dugaaan atau pendapat DPR. Wewenang pemberhentian presiden dan/atau wakil presiden ada pada institusi MPR. Proses persidangan selanjutnya MPR akan menentukan kemudian apakah presiden dan/atau wakil presiden yang sudah diputus bersalah oleh Mahkamah Konstitusi bisa diberhentikan atau tidak.[26]
B. Implementasi Kewenangan Mahkamah Konstitusi Dalam Penegakan Konstitusi dan HAM di Indonesia
- Asas-asas Hukum di Mahkamah Konstitusi
a) Persidangan Terbuka Untuk Umum
Undang-undang Tentang Kekuasaan Kehakiman dalam Pasal 19 menentukan bahwa sidang pengadilan adalah terbuka untuk umum kecuali undang-undang menentukan lain. Hal ini berlaku secara universal dan berlaku di semua lingkungan peradilan. Pasal 40 Ayat (1) Undang-Undang No.24 Tahun 2003 menentukan secara khusus bahwa sidang Mahkamah Konstitusi terbuka untuk umum, kecuali Rapat Permusyawaratan Hakim.[27]
Keterbukaan sidang ini merupakan salah satu sosial kontrol dan juga bentuk akuntabilitas hakim. Transparansi dan akses publik secara luas yang dilakukan Mahkamah Konstitusi dengan membuka, bukan hanya sidang tetapi juga proses persidangan yang dapat dilihat atau dibaca melalui transkripsi, berita acara dan putusan yang dipublikasikan lewat situs internet merupakan langkah yang jauh diambil untuk mengefektifkan kontrol terhadap Mahkamah Konstitusi . Tersedianya salinan putusan dalam bentuk hard copy yang dapat diperoleh pihak pemohon dan termohon setelah sidang pembacaaan putusan yang dilakukan dalam sidang terbuka untuk umum merupakan interpretasi Mahkamah Konstitusi terhadap kerterbukaan dan asas sidang terbuka untuk umum tersebut sebagai pelaksanaan Pasal 14 Undang-Undang No.24 Tahun 2003 yang berbunyi bahwa ”masyarakat mempuyai akses untuk mendapatkan putusan Mahkamah Konstitusi”.[28]
b) Independen dan Imparsial
Pasal 2 Undang-Undang No.24 Tahun 2003 menyarakan bahwa Mahkamah Konstitusi merupakan salah satu kekuasaan kehakiman yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan, Pasal 33 Undang-Undang No.4 Tahun 2004 menyatakan bahwa dalam menjalankan tugas dan fungsinya hakim wajib menjaga kemandirian peradilan. Independen atau kemandirian tersebut sangat berkaitan dengan sikap imparsial atau tidak memihak hakim baik dalam pemeriksaan maupun dalam pengambilan keputusan. Hakim yang tidak independen atau mandiri tidak dapat diharapkan bersikap netral atau imparsial dalam menjalankan tugasnya. Demikian juga satu mahkamah yang tergantung kepada badan lain dalam bidang-bidang tertentu dan tidak mampu mengatur dirinya secara mandiri juga akan menyebabkan sikap yang tidak netral dalam menjalankan tugasnya. Independensi dan imparsialitas merupakan konsep yang mengalir dalam doktrin separation of power (pemisahan kekuasaan) yang harus dilakukan secara tegas agar cabang-cabang kekuasaan negara tidak saling mempengaruhi. Sebagai kekuasaan kehakiman yang merdeka, maka kekuasaan extra judicial dilarang melakukan campur tangan atau intervensi. Intervensi terhadap kekuasaan kehakiman berdasarkan Undang-Undang No. 4 Tahun 2004 dapat dipidana. [29]
c) Peradilan Dilaksanakan Secara Cepat, Sederhana dan Murah
Pasal 4 ayat (2) Undang-Undang No. 4 Tahun 2004 menentukan bahwa peradilan dilakukan dengan sederhana, cepat, dan biaya ringan. Penjelasan atas Pasal ayat (2) tersebut menyatakan bahwa yang dimaksud dengan sederhana adalah pemeriksaan dan penyelesaian perkara dilakukan dengan acara yang efisien dan efektif sedangkan biaya murah adalah biaya perkara yang dapat dipikul oleh rakyat. Keduanya tanpa mengorbankan ketelitian dalam mencari kebenaran dan keadilan. Biaya perkara yang dibebankan kepada pemohon atau termohon tidak dikenal dalam acara Mahkamah Konstitusi. Semua biaya yang menyangkut persidangan di Mahkamah Konstitusi dibebankan kepada negara.
d) Hak Untuk Didengar Secara Seimbang (Audi et Alteram Partem)
Dalam perkara yang diperiksa dan diadili di peradilan biasa, baik penggugat maupun tergugat, atau penuntut umum maupun terdakwa mempuyai hak yang sama untuk didengar keterangannya secara berimbang dan masing-masing pihak mempunyai kesempatan yang mengajukan pembuktian untuk mendukung dalil masing-masing. Hal ini juga berlaku pada persidangan di Mahkamah Konstitusi dimana pihak pemohon, ternohon maupun pihak yang berkaitan langsung dengan perkara di beri hak yang sama untuk didengar.[30]
e) Hakim Aktif dan Juga Pasif Dalam Proses Persidangan
Hakim bersikap pasif dan tidak boleh aktif melakukan inisiatif untuk menggerakkan mekanisme Mahkamah Konstitusi memeriksa perkara tanpa diajukan dengan satu permohonan. Maka sekali permohonan tersebut didaftar dan mulai diperiksa disebabkan adanya kepentingan umum yang termuat di dalamnya secara langsung maupun tidak langsung akan memaksa hakim untuk bersikap aktif dalam proses dan tidak menggantungkan proses hanya pada inisiatif pihak, baik dalam rangka menggali keterangan maupun bukti-bukti yang dianggap perlu untuk membuat jelas dan terang hal diajukan dalam permohonan tersebut.[31]
f) Ius Curia Novit
Pasal 16 Undang-Undang No.4 Tahun 2004 menyebutkan bahwa ”pengadilan tidak boleh menolak untuk memeriksa, mengadili dan memutus suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak ada atau kurang jelas melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadilinya. Dengan kata lain bahwa pengadilan dianggap mengetahui hukum yang diperlukan untuk menyelesaikan perkara yang diajukan kepadanya sehingga pengadilan tidak boleh menolak perkara karena berpendapat hukumnya tidak jelas.[32]
g) Asas praduga Rechtmatige
Sebelum ada putusan Mahkamah Konstitusi objek yang menjadi perkara misalnya permohonan untuk menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar, maka undang-undang tersebut harus dianggap selalu dianggap sah atau telah sesuai dengan hukum sebelum putusan hakim konstitusi menyatakan sebaliknya. Konsekuensinya, akibat putusan hakim konstitusi tersebut adalah ”ex nucn”, yaitu dianggap ada sampai saat pembatalannya. Artinya, akibat ketidaksahan undang-undang karena bertentangan dengan Undang-Undang Dasar tidaklah berlaku surut namun berlaku ke depan.
h) Asas Hakim Majelis
Asas ini ditegaskan dalam Pasal 28 ayat (1) Undang-Undang No.24 Tahun 2003 yang menyatakan bahwa Mahkamah Konstitusi memeriksa, mengadili dan memutus dalam sidang pleno Mahkamah Konstitusi dengan 9 (sembilan) orang hakim konstitusi, kecuali dalam keadaam luar biasa dengan 7 (tujuh) orang hakim konstitusi yang dipimpim oleh ketua Mahkamah Konstitusi. Dalam hal ketua dan wakil ketua Mahkamah Konstitusi berhalangan pada waktu yang bersamaan, sidang pleno dipimpim oleh ketua sementara yang dipilih dari anggota Mahkamah Konstitusi (Pasal 28 ayat (2) dan (3) UU No.24 Tahun 2003).
- Kewenangan Hukum Acara di Mahkamah Konstitusi
Perkembangan Undang-Undang No. 24 Tahun 2004 setelah perubahan keempat Undang-Undang Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yaitu pada tahun 2002 memilki banyak kekurangan, terutama dalam hal menyangkut hukum acara. Akan tetapi sejak awal hal tersebut telah disadari oleh pembuat undang-undang, sehingga pembuat undang-undang memberikan mandat pada Mahkamah Konstitusi untuk melengkapi hukum acaranya sendiri (rule of procedure), dengan menetapakan Pasal 86 Undang-Undang No.24 Tahun 2003 yang berbunyi: ”Mahkamah Konstitusi dapat mengatur lebih lanjut hal-hal yang diperlukan bagi kelancaran pelaksanaan tugas dan wewenangnya menurut Undang-Undang ini”.
Hukum acara yang temuat dalam Undang-Undang No.24 Tahun 2003 tampaknya sederhana, baik dalam asas dan sifat hukum acara Mahkamah Konstitusi maupun dalam luasnya cakupan masalah yang dirumuskan dalam kaidah-kaidah yang dikandungnya. Berdasarkan mandat atau pelimpahan wewenang dari pembuat undang-undang tersebut, maka Mahkamah Konstitusi juga berusaha mengatur masalah-masalah yang dihadapi dalam praktek yang belum diatur dan dicakup oleh undang-undang hukum acara dalam Undang-Undang No. 24 Tahun 2003 tersebut dalam bentuk Peraturan Mahkamah Konstitusi (yang selanjutnya disebut PMK).[33]
Perkembangan yang terjadi dalam praktek dan masalah yang dihadapi Mahkamah Konstitusi bertumbuh demikian cepat, sehingga praktek dan kaidah hukum acara PMK berkembang dengan pesat. Akibatnya, kebutuhan untuk melakukan perubahan dan penyesuaian dengan keadaan, yang kemudian menyebabkan hukum acara tersebut terus bertumbuh dan berubah (continually evolving). Pertumbuhan dan perkembangan yang demikian, oleh banyak kalangan
Perselisihan yang dibawa ke Mahkamah Konstitusi memiliki karakter tersendiri dan berbeda dengan perselisihan yang dihadapai sehari-hari oleh peradilan biasa. Keputusan yang diminta oleh pemohon dan diberikan oleh Mahkamah Konstitusi akan membawa akibat hukum yang tidak hanya mengenai orang seorang, tetapi juga orang lain, lembaga negara dan aparatur pemerintah atau masyarakat pada umumnya, terutama sekali dalam hal pengujian undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar (Judicial review).[34]
Nuansa public interest yang melekat pada perkara-perkara semacam itu akan menjadi pembeda yang jelas dengan perkara pidana, perdata, dan tata usaha negara yang pada umunya menyangkut kepentingan pribadi dan individu berhadapan dengan individu lain ataupun dengan pemerintah. Ciri inilah yang akan membedakan penerapan hukum acara di Mahkamah Konstitusi dengan hukum acara di pengadilan-pengadilan lainnya.
Oleh karena terjadinya praktek hukum acara yang merujuk pada undang-undang hukum acara yang lain timbul karena kebutuhan yang kadang-kadang dihadapkan kepada Mahkamah Konstitusi, maka ketentuan yang memberlakukan aturan Hukum Acara Pidana, Perdata, dan Tata Usaha Negara secara mutatis mutandis dapat diberlakukan dengan menyesuaikan aturan dimaksud dalam praktek hukum acaranya. Hanya saja jika terjadi pertentangan dalam praktek hukum acara pidana dan TUN dengan aturan hukum acara perdata maka secara mutatis mutandis juga aturan hukum acara perdata tidak akan diberlakukan. Meskipun aturan ini tidak dimuay dalam UU Mahakamah Konstitusi, akan tetapi telah diadopsi dalam Peraturan Mahkamah Konstitusi (PMK), baik sebelum maupun sesudah praktek yang merujuk undang-undang hukum acara lain itu digunakan dalam praktek.
Dari uraian di atas, maka sumber hukum acara Mahkamah Konstitusi dapat dikenali sebagai berikut:[35]
a. Undang-Undang No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi;
b. Peraturan Mahakamah Konstitusi (PMK);
c. Yurisprudensi Mahkamah Konstitusi RI;
d. Undang-Undang Hukum Acara Perdata, Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara, dan Hukum Acara Pidana Indonesia.
e. Pendapat Sarjaa (doktrin);
f. Hukum Acara dan yurisprudensi Mahkamah Konstitusi Negara lain.
Adapun secara ringkas dan sistematis, prosedur berperkara di Mahkamah Konstitusi dapat penulis simpulkan sebagai berikut:[36]
1. Pengajuan permohonan[37]
a. Ditulis dalam bahas Indonesia;
b. Ditandatangani oleh pemohon/kuasanya;
c. Diajukan dalam 12 rangkap;
d. Jenis perkara;
e. Sistematika:
§ Identitas dan legal standing
§ Posita
§ Petitum
f. Disertai bukti pendukung
2. Pendaftaran[38]
a. Pemeriksaan kelengkapan permohonan panitera:
§ Belum lengkap, diberitahukan
§ 7 (tujuh) hari sejak diberitahu, wajib dilengkapi
§ Lengkap
a. Registrasi sesuai dengan perkara;
b. 7 (tujuh) hari kerja sejak registrasi untuk perkara.
§ Pengujian undang-undang:
- Salinan permohonan disampaikan kepada Presiden dan DPR.
- Permohonan diberitahukan kepada Mahkamah Agung.
§ Sengketa kewenangan lembaga negara:
Salinan permohonan disampaikan kepada lembaga negara termohon.
§ Pembubaran Partai Politik:
Salinan permohonan disampaikan kepada Parpol yang bersangkutan.
§ Pendapat DPR:
Salinan permohonan disampaikan kepada Presiden.
3. Penjadwalan Sidang
a. Dalam 14 hari kerja setela registrasi ditetapkan Hari Sidang I (kecuali perkara Perselisihan Hasil Pemilu).
b. Para pihak diberitahu/dipanggil.
c. Diumumkan kepada masyarakat.
4. Pemeriksaan Pendahuluan
a. Sebelum pemeriksaan pokok perkara, memeriksa:
§ Kelengkapan syarat-syarat Permohonan.
§ Kejelasan materi Permohonan.
b. Memberi nasehat:
§ Kelengkapan syararat-syarat permohonan.
§ Perbaikan materi permohonan.
c. 14 hari harus sudah dilengkapi dan diperbaiki.
5. Pemeriksaan Persidangan
a. Terbuka untuk umum.
b. Memeriksa: permohonan dan alat bukti.
c. Para pihak hadir menghadapi sidang guna memberikan keterangan.
d. Lembaga negara dapat diminta keterangan Lembaga negara dimaksud dalam jangka waktu tujuh hari wajib memberi keterangan yang diminta.
e. Saksi dan/atau ahli memberi keterangan.
f. Pihak-pihak dapat diwakili kuasa, didampingi luasa dan orang lain.
6. Putusan
a. Diputus paling lambat dalam tenggang waktu:
§ Untuk perkara pembubaran partai politik, 60 hari kerja sejak registrasi.
§ Untuk perkara perselisihan hasil pemilu:
- Presiden dan/atau wakil Presiden, 14 hari kerja sejak registrasi.
- DPR, DPD, dan DPRD, 30 hari kerja sejak registrasi.
- Untuk perkara pendapat DPR, 90 hari kerja sejak registrasi.
b. Sesuai alat bukti, minimal 2 (dua) alat bukti memuat:[39]
§ Fakta.
§ Dasar hukum keputusan.
c. Cara mengambil keputusan:
§ Musyawarah mufakat.
§ Setiap hakim menyampaikan pendapat/pertimbangan tertulis.
§ Diambil suara terbanyak bila tak mufakat.
§ Bila tidak dapat dicapai suara terbanyak, suara terakhir ketua menentukan.
d. Ditandatangani hakim dan panitera.
e. Berkekuatan hukum tetap sejak diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum/
f. Salinan putusan dikirim kepada para pihak 7 (tujuh) hari sejak diucapkan.
g. Untuk Putusan perkara:
§ Pengujian undang-undang, disampaikan kepada DPR, DPD, Presiden, dan Mahkamah Agung.
§ Sengketa kewenangan lembaga negara, disampaikan kepada DPR, DPD, dan Presiden.
§ Pembubaran partai politik, disampaikan kepada partai politik yang bersangkutan.
§ Perselisihan hasil pemilu disampaikan kepada Presiden.
§ Pendapat DPR, disampaikan kepada DPR, Presiden dan Wakil Presiden.
[1] Di unduh dari http://www.wikipedia/search?constitution/ pada tanggal 20 Juli 2010
[2] Jimly Asshiddiqie, Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia, Edisi Revisi. Jakarta: Konpress, 2005, hal. 8
[3] Albert, Hasibuan, Implikasi Amandemen Konstitusi dalam Pembangunan Hukum, Komisi Hukum Nasional 2005, hal. 27
[4] Ibid, hal. 29
[7] Bachr, Peter, Pieter van Dijk, Adnan Buyung Nasution, dkk, (eds.), Instrumen Internasional Pokok Hak-Hak Asasi Manusia, (Jakarta : Yayasan Obor Indonesia , 2001, hal. 16
[12] Naskah Persiapan Undang-Undang Dasar 1945
[18] Lexy Moleong, Penelitian Hukum, (Jakarta, Rajawali Press), 2002, hal. : 5
[19] Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Cetak Biru Membangun Mahkamah Konstitusi, (Jakarta, Mahkamah Konstitusi), 2004, hal. 22
[20] Ibid, hal. 24
[21] Ibid, hal. 25
[22] Taufiqurrohman Syahuri, Lima Kewenangan Mahkamah Konstitusi dan Satu Tahun Pelaksanaannya (dalam) Menjaga Denyut Konstitusi Refleksi Satu Tahun Mahkamah Konstitusi , Konstitusi Press, Jakarta, 2004, hal.365
[23]Mahkamah Konstitusi, Op.cit, hal.27
[24] Mahkamah Konstitusi, Op-cit, hal. 29
[25] Ibid, hal. 30
[26] Ibid, hal. 31
[27] Maruarar Siahaan, Hukum Acara Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, (Jakarta : Konstitusi Press), 2005 hal.55
[28] Ibid, hal. 26
[29] Ibid, hal. 57
[30] Ibid, hal. 63
[31] Ibid, hal. 64
[32] Ibid, hal. 66
[33] Maruarar Siahaan, Hukum Acara Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, (Jakarta : Konstitusi Press, 2005), hal. 55
[34] Perbedaan kewenangan antara Mahkamah Konstitusi dengan Mahkamah Agung dalam hal Judicial Review yaitu dalam hal pengujian undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar harus dimohonkan kepada Mahkamah Konstitusi, sedangkan pengujian seluruh peraturan perundang-undangan di bawah Undang-undang terhadap Undang-undang diajukan kepada Mahkamah Agung.
[35] Untuk sumber-sumber hukum acara yang disebut dalam huruf d, e, dan f merupakan sumber tidak langsung, dimana dapat diterapkan pada Mahkamah Konstitusi RI apabila terdapat kekosongan dalam pengaturan hukum acaranya.
[36] BAB V Undang-Undang No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi dan beberapa Peraturan Mahkamah Konstitusi (PMK) tentang Hukum Beracara berdasarkan tiap-tiap kewenangan MK.
[37] Khusus untuk perkara Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU), diajukan paling lambat 2 x 24 jam sejak KPU mengumumkan hasil pemilu.
[38] Khusus untuk perkara perselisihan hasil Pemilu, paling lambat 3 (tiga) hari kerja sejak registrasi Salinan Permohonan disampaikan kepada KPU.
[39] Pasal 36 ayat (1) Undang-Undang No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi mengakui enam jenis alat bukti yang sah yang dapat dijadikan bahan pertimbangan oleh hakim konstitusi dalam memeriksa dan memutus setiap perkara konstitusi yang dimohonkan kepadanya. Keenam alat bukti itu adalah: 1. Surat atau tulisan; 2. Keterangan saksi; 3. Keterangan ahli; 4. Keterangan para pihak; 5. Petunjuk; dan 6. Alat bukti lain berupa informasi yang diucapkan, dikirimkan, diterima, atau disimpan secara elektronik dengan alat optik atau yang serupa dengan itu.