Selamat Datang....

Statistik Pembaca


widget

Minggu, 09 Oktober 2011

Malpraktek Kesehatan


BAB I
PENDAHULUAN


A.  Latar Belakang Masalah
Profesi kedokteran dan tenaga medis lainnya dianggap sebagai profesi yang mulia (officium nobel) dan terhormat dimata masyarakat. Seorang dokter sebelum melakukan praktek kedokterannya atau melakukan pelayanan medis telah melalui pendidikan dan pelatihan yang cukup panjang. Dari profesi ini banyak masyarakat menggantungkan harapan hidupnya dari kesembuhan dan .penderitaan sakitnya.
Hubungan antara pasien dan dokter yang tadinya dianggap tidak seimbang karena kedudukan dokter lebih tinggi sekarang mengalami pergeseran. Masyarakat dalam hal ini pasien menilai bahwa hubungan antara mereka dengan dokternya adalah seimbang, dimana dalam kewajiban dokter untuk melaksanakan tugasnya dengan hati-hati terdapat hak pasien untuk mendapat pelayanan yang sebaik-baiknya. Sekarang ini tuntutan profesional terhadap profesi ini makin tinggi. Berita yang menyudutkan serta tudingan bahwa dokter telah melakukan kesalahan di bidang medis bermunculan.
Di negara maju yang lebih dulu mengenal istilah makpraktek medis ini ternyata tuntutan terhadap dokter yang melakukan ketidaklayakan dalam praktek juga tidak surut. Biasanya yang menjadi sasaran terbesar adalah dokter spesialis bedah (ortopedi, plastik dan syaraf), spesialis anestesi serta spesialis kebidanan dan penyakit kandungan.
Di Indonesia, fenomena ketidakpuasan pasien pada kinerja profesi dokter juga berkembang. Pada awal Januari tahun 2007 publik dikejutkan oleh demontrasi yang dilakukan oleh para korban dugaan malpraktek medis ke Polda Metro Jaya dengan tuntutan agar polisi dapat mengusut terus sampai tuntas setiap kasus dugaan malpraktek yang pernah dilaporkan masyarakat. Tuntutan yang demikian dari masyarakat dapat dipahami mengingat sangat sedikit jumlah kasus malpraktek medik yang diselesaikan di pengadilan. Apakah secara hukum perdata, hukum pidana atau dengan hukum administrasi. Padahal media massa nasional juga daerah berkali-kali melaporkan adanya dugaan malpraktek medik yang dilakukan dokter tapi sering tidak berujung pada peyelesaian melalui sistem peradilan. Kasus-kasus dugaan malpraktek seperti gunung es, hanya sedikit yang muncul dipermukaan.
Ada banyak tindakan dan pelayanan medik yang dilakukan dokter atau tenaga medis lainnya yang berpotensi merupakan malpraktik yang dilaporkan masyarakat tapi tidak diselesaikan secara hukum. Bagi masyarakat hal ini sepertinya menunjukkan bahwa para penegak hukum tidak berpihak pada pasien terutama masyarakat kecil yang kedudukannya tentu tidak setara dengan dokter. Akan sangat sulit terkadang dipahami oleh pasien yang mejadi korban dari dugaan tindakan malpraktik atau masyarakat awam lainnya mengapa sangat tidak mudah membawa masalah malpraktik medik ini ke jalur hukum.
Masyarakat kemudian mengambil penilaian bahwa aparat penegak hukum kurang serius menanggapi kasus malpraktek medik ini. Untuk menetapkan seorang menjadi tersangka, apalagi terdakwa tentu bukan hal yang mudah apalagi untuk perkara malpraktek yang menyangkut aspek medis yang kadang kurang dipahami penegak hukum. Ada banyak sekali faktor penyebab mengapa kasus malpraktik ini mengalami apa yang disebut dalam ilmu hukum atau tepatnya dalamkriminologi istilahkan dengan dark number (angka gelap), yaitu banyaknya jumlah kriminalitas yang tidak tercatat.
Masyarakat sebenarnya banyak mengetahui atau mengalami terjadinya tindak pidana tertentu di bidang medik tetapi dari jumlah tersebut hanya sedikit yang dilaporkan masyarakat sehingga yang tercatat di kepolisian juga sedikit, sebab statistic criminal dibuat polisi berdasarkan data yang tercatat. Data dicatat berdasarkan laporan korban atau masyarakat. Dari jumlah data yang masuk ke kepolisian kemudian juga mengalami penyusutan (criminal case mortality) di kejaksaan sehingga pada akhirnya kasus yang sampai di sidangkan ke pengadilan semakin kecil. Keadaan ini juga berlaku pada kasus dugaan tindak pidana malpraktik medik di Indonesia.
Bahkan Dewan Penasehat Ikatan Dokter Indonesia, Hasbullah Thabrany mensinyalir dari seratus kejadian malpraktik, mungkin cuma sepuluh yang dilaporkan, jadi yang tampak ke permukaan hanyalah pucuknya saja. Itupun kebanyakan karena di ekspos oleh media cetak atau elektronik. Padahal ada banyak sebab mengapa seseorang korban (pasien atau keluarganya melaporkan atau tidak ke penegak hukum (kepolisian untuk tindak pidana) atau gugatan secara perdata tentang adanya dugaan malpraktik yang dilakukan dokter kepadanya. Faktor pendorong itu bisa karena kerugian, tingkat pemahaman dan kesadaran hukum pasien, rasa takut, atau menganggap soal ini sudah menjadi takdir pasien.
Menurut Ketua YPKKI (Yayasan Pemberdayaan Konsumen Kesehatan Indonesia) selama rentang waktu 1998-2009, lembaga ini sudah menangani 618 pengaduan di bidang kesehatan. Dari sekian kasus tersebut, 60-65 persen persoalan berada pada dokter. Namun sekitar 90 % dari kasus tersebut tidak sampai ke pengadilan. Bagi masyarakat terutama para korban pertanyaan yang menjadi perhatian untuk penegak hukum mengapa begitu sulit membawa kasus dugaan malpraktik “dari meja operasi ke meja hijau”. Apakah perangkat hukum dan peraturan perundangan yang ada tidak cukup untuk membawa persoalan dugaan malpraktik medik ke ranah hukum terutama hukum pidana Ataukah ada kesulitan dari sudut teknis dan kesiapan serta ketidaksamaan paham dari para penegak hukum itu sendiri terhadap permasalaahan malpraktek ini.
Sejak terjadinya peristiwa dr. Setianingrum di Pati pada tahun 1981, banyak tuntutan atau gugatan ganti rugi diajukan terhadap dokter dengan alasan malpraktek. Meskipun dr. Setianingrum diputus bebas oleh Pengadilan Tinggi Semarang, namun peristiwa tersebut sudah terlanjur membuat resah para dokter. Para dokter resah, karena takut bahwa malpraktek itu setiap saat dapat dituduhkan pada dirinya juga. Bahwasanya para dokter itu resah dapat difahami karena definisi malpraktek itu sendiri masih belum jelas serta menimbulkan pelbagai penafsiran.
Pengertian malpraktek secara umum kita jumpai dalam Undang-undang Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan dalam Bab X tentang Ketentuan Pidana (Pasal 80 – Pasal 84). Jika malpraktek yang disebutkan pertama dikenai sanksi administratif maka yang kedua dikenai sanksi pidana. Di samping itu masih ada malpraktek yang sanksinya berupa membayar ganti rugi (perdata).
Hubungan terapeutik antara dokter dan pasien merupakan hubungan hukum (perjanjian) yang menimbulkan hak dan kewajiban bagi masing-masing. Dokter mempunyai hak dan kewajiban, demikian pula pasien mempunyai hak dan kewajiban.
Yang menjadi hak pasien antara lain ialah: hak menerima, menolak dan menghentikan pengobatan dan perawatan, hak atas rahasia, hak mendapatkan informasi mengenai penyakitnya dan sebagainya. Sedangkan kewajiban pasien ialah memberi informasi sekengkap-lengkapnya mengenai penyakitnya kepada dokter, menghormati privacy dokter, memberi imbalan jasa dan sebagainya.
Hak dokter dalam hubungan terapeutik ini antara lain: hak atas informasi pasien mengenai penyakitnya, hak untuk menolak melaksanakan tindakan medik yang tidak dapat dipertanggungjawabkannya secara profesional, hak atas iktikat baik pasien dalam pelaksanaan transaksi terapeutik, hak atas privacy, hak atas imbalan jasa dan sebagainya. Kewajiban dokter dalam menjalankan profesinya ialah antara lain: menghormati hak pasien, berupaya menyembuhkan dan meringankan penderitaan pasien serta memberikan pelayanan medik sesuai dengan standar profesi medik. Jadi agar dokter tidak dapat dipersalahkan dalam menjalankan kewajibannya dalam hubungan terapeutik dengan pasien ia harus menjalankan tindakan-tindakan mediknya sesuai dengan standar profesi.
Adapun yang dimaksudkan dengan standar profesi ialah pedoman atau cara yang baku yang harus dipergunakan sebagai petunjuk dalam menjalankan tindakan medik rnenurut ukuran tertentu yang didasarkan pada ilmu dan pengalarnan. Tidaklah rnudah untuk rnenentukan ukuran rnengenai standar profesi. Pada hakekatnya rnalpraktek merupakan kegagalan dalam hal dokter menjalankan profesinya. Tidak setiap kegagalan rnerupakan malpraktek, tetapi hanyalah kegagalan sebagai akibat kesalahan dalam menjalankan profesi medik yang tidak sesuai dengan standar profesi medik. Malpraktek mengandung dua unsur pokok, yaitu bahwa dokter gagal dalam menjalankan kewajibannya, dan kegagalan itu mengakibatkan luka atau kerugian.
Malpraktek disebabkan karena kurang berhati-hatinya atau lalainya dokter dalam menjalankan tugasnya. Tetapi tidak mustahil disebabkan karena kurang profesionalnya atau kurang cakapnya dokter yang bersangkutan. Ini menyebabkan pelayanan kesehatan menjadi tidak bermutu.  Tuntutan atau gugatan berdasarkan malpraktek tidak lain disebabkan oleh tuntutan akan pelayanan kesehatan yang bermutu. Tidak dapat dicegah rnasuknya peralatan pelayanan kesehatan yang canggih memerlukan tenaga kesehatan yang profesional untuk mengoperasikan peralatan canggih tersebut. Bukan hanya sekedar mengoperasikannya, tetapi juga mernperbaikinya kalau rusak. Tidak sedikit peralatan canggih yang didatangkan dari luar negeri di pelbagai instansi yang nongkrong karena tidak ada yang dapat mengoperasikannya atau rusak dan ;tidak ada yang dapat rnemperbaikinya. Ketergantungan pada peralatan pelayanan kesehatan canggih dapat rnenghambat pelayanan kesehatan.
Black’s Law Dictionary mendefinisikan malpraktek sebagai “professional misconduct or unreasonable lack of skill” atau “failure of one rendering proffesional services to exercise that degree of skill and learning commonly applied under all the circumstances in the community by the average prudent reputable member of the proffesion with the result of injury, loss or damage to the recipient of those services or to those entitled to rely upon them”.(Black’s Law Dictionary)

Dari segi hukum, di dalam definisi di atas dapat ditarik pemahaman bahwa malpraktek dapat terjadi karena suatu tindakan yang disengaja (intentional) seperti pada misconduct tertentu, tindakan kelalaian (negligence), ataupun suatu kekurang-mahiran/ketidakkompetenan yang tidak beralasan. Professional misconduct merupakan kesengajaan yang dapat dilakukan dalam bentuk pelanggaran ketentuan etik, ketentuan disiplin profesi, hukum administratif, serta hukum pidana dan perdata seperti melakukan kesengajaan yang merugikan pasien, fraud, penahanan pasien, pelanggaran wajib simpan rahasia kedokteran, aborsi illegal, euthanasia, penyerangan seksual, misrepresentasi, keterangan palsu, menggunakan ilmu pengetahuan dan teknologi kedokteran yang belum teruji/diterima, berpraktek tanpa SIP, berpraktik di luar kompetensinya, dan lain-lain.
Kelalaian dapat terjadi dalam 3 (tiga) bentuk, yaitu:
1)      Malfeasance, berarti melakukan tindakan yang melanggar hukum atau tidak tepat/layak (unlawful atau improper), misalnya melakukan tindakan medis tanpa indikasi yang memadai, pilihan tindakan medis tersebut sudah improper.
2)      Misfeasance, berarti melakukan pilihan tindakan medis yang tepat tetapi dilaksanakan dengan tidak tepat (improper performance), yaitu misalnya melakukan tindakan medis dengan menyalahi prosedur.
3)      Malfeasance Nonfeasance, adalah tidak melakukan tindakan medis yang merupakan kewajiban baginya. Bentuk-bentuk kelalaian di atas sejalan dengan bentuk-bentuk error (mistakes, slips and lapses), namun pada kelalaian harus memenuhi keempat unsur kelalaian dalam hukum khususnya adanya kerugian, sedangkan error tidak selalu mengakibatkan kerugian.

Demikian pula adanya latent error yang tidak secara langsung menimbulkan dampak buruk. Kelalaian medis adalah salah satu bentuk dari malpraktek medis, sekaligus merupakan bentuk malpraktek medis yang paling sering terjadi. Pada dasarnya kelalaian terjadi apabila seseorang dengan tidak sengaja, melakukan sesuatu (komisi) yang seharusnya tidak dilakukan atau tidak melakukan sesuatu (omisi) yang seharusnya dilakukan oleh orang lain yang memiliki kualifikasi yang sama pada suatu keadaan dan situasi yang sama. Pada umumnya kelalaian yang dilakukan orang per-orang bukanlah merupakan perbuatan yang dapat dihukum, kecuali apabila dilakukan oleh orang yang seharusnya berdasarkan sifat profesinya bertindak hati-hati dan telah mengakibatkan kerugian atau cedera bagi orang lain. Suatu perbuatan atau sikap dokter atau dokter gigi dianggap lalai apabila memenuhi 4 (empat) unsur di bawah ini, yaitu:
1)      Duty atau kewajiban dokter dan dokter gigi untuk melakukan sesuatu tindakan atau untuk tidak melakukan sesuatu tindakan tertentu terhadap pasien tertentu pada situasi dan kondisi yang tertentu.
2)      Dereliction of the duty atau penyimpangan kewajiban tersebut.
3)      Damage atau kerugian, yaitu segala sesuatu yang dirasakan oleh pasien sebagai kerugian akibat dari layanan kesehatan/kedokteran yang diberikan oleh pemberi layanan.
4)      Direct causal relationship atau hubungan sebab akibat yang nyata. Dalam hal ini harus terdapat hubungan sebab-akibat antara penyimpangan kewajiban dengan kerugian yang setidaknya merupakan “proximate cause”

Pengertian istilah kelalaian medik tersirat dari pengertian malpraktek medis menurut World Medical Association (1992), yaitu: “medical malpractice involves the physician’s failure to conform to the standard of care for treatment of the patient’s condition, or lack of skill, or negligence in providing care to the patient, which is the direct cause of an injury to the patient”. World Medical Association  mengingatkan pula bahwa tidak semua kegagalan medis adalah akibat malpraktek medis. Suatu peristiwa buruk yang tidak dapat diduga sebelumnya (unforeseeable) yang terjadi saat dilakukan tindakan medis yang sesuai standar tetapi mengakibatkan cidera pada pasien tidak termasuk ke dalam pengertian malpraktek atau kelalaian medik.
“An injury occurring in the course of medical treatment which could not be foreseen and was not the result of the lack of skill or knowledge on the part of the treating physician is untoward result, for which the physician should not bear any liability”. Dengan demikian suatu akibat buruk yang unforeseeable dipandang dari ilmu pengetahuan dan teknologi kedokteran saat itu dalam situasi dan fasilitas yang tersedia tidak dapat dipertanggungjawabkan kepada dokter. Dengan demikian adverse events dapat terjadi sebagai akibat dari peristiwa tanpa adanya error dan dapat pula disebabkan oleh error. Adverse events akibat errors dianggap dapat dicegah (preventable). Apabila preventable adverse events tersebut telah menimbulkan kerugian, maka ia memenuhi semua unsur kelalaian medis menurut hukum, sehingga disebut sebagai negligent adverse events. Suatu adverse events (hasil yang tidak diharapkan) di bidang medik sebenarnya dapat diakibatkan oleh beberapa kemungkinan, yaitu:
a)      Hasil dari suatu perjalanan penyakitnya sendiri, tidak berhubungan dengan tindakan medis yang dilakukan dokter.
b)      Hasil dari suatu risiko yang tak dapat dihindari, yaitu risiko yang tak dapat diketahui sebelumnya (unforeseeable); atau risiko yang meskipun telah diketahui sebelumnya (foreseeable) tetapi tidak dapat/tidak mungkin dihindari (unavoidable), karena tindakan yang dilakukan adalah satu-satunya cara terapi. Risiko tersebut harus diinformasikan terlebih dahulu.
c)      Hasil dari suatu kelalaian medik.
d)      Hasil dari suatu kesengajaan.

Berkaitan dengan risiko tersebut, setiap tindakan medis mengandung risiko buruk, sehingga harus dilakukan tindakan pencegahan ataupun tindakan mereduksi risiko. Namun demikian sebagian besar diantaranya tetap dapat dilakukan oleh karena risiko tersebut dapat diterima (acceptable) sesuai dengan “state-of-the-art” ilmu dan teknologi kedokteran. Risiko yang dapat diterima adalah risiko-risiko sebagai berikut:(Biben, Achmad, 2004 )
a)      Risiko yang derajat probabilitas dan keparahannya cukup kecil, dapat diantisipasi, diperhitungkan atau dapat dikendalikan, misalnya efek samping obat, perdarahan dan infeksi pada pembedahan, dan lain-lain.
b)      Risiko yang derajat probabilitas dan keparahannya besar pada keadaan tertentu, yaitu apabila tindakan medis yang berisiko tersebut harus dilakukan karena merupakan satu-satunya cara yang harus ditempuh (the only way), terutama dalam keadaan gawat darurat.

Ungkapan malpraktik medis secara langsung pada kasus klinis dengan outcome yang tidak diinginkan adalah tidak tepat atau tidak adil (tidak fair). Istilah yang sebenarnya netral sebelum ada pembuktian adalah adverse clinical incident, adverse event, atau medical accident, yang umumnya digunakan dalam perpustakaan Inggris (dalam kepustakaan Amerika lebih sering digunakan kata-kata medical error sejak dini, yang juga tidak netral). Adverse clinical incident atau medical accident menggambarkan peristiwa atau kejadian klinis yang cocok atau yang berlawanan dengan harapan, tanpa menetapkan dulu apa penyebab kejadian yang tidak diinginkan itu dan siapa yang bersalah. Ini sesuai dengan asas hukum praduga tak bersalah, sampai kesalahan benar-benar terbukti.
Menurut Guwandi, pengertian malpraktek adalah (Guwandi, J. 1994 : 18) yaitu:
a)      Melakukan suatu hal yang seharusnya tidak boleh dilakukan oleh dokter atau dokter gigi;
b)      Tidak melakukan apa yang seharusnya dilakukan atau melalaikan kewajiban (negligence).
c)      Melanggar suatu ketentuan menurut atau berdasarkan peraturan perundang-undangan.

Menurut Nugroho Kampono bahwa untuk mengurangi adverse events dan kelalaian medik dapat dilakukan dengan manajemen risiko klinis. Manajemen risiko klinis adalah suatu proses yang secara sistimatik mengidentifikasi, mengevaluasi dan mengarahkan kejadian yang berpotensi atau yang telah terjadi suatu risiko melalui suatu penataan program yang dapat mencegah, mengendalikan dan meminimalkan kemungkinan risiko. Manajemen risiko klinis diperlukan untuk:
a)      Mengurangi kejadian yang merugikan dan ketidakpuasan dari pasien dan keluarga.
b)      Mencegah pengelolaan yang buruk dari dokter dan dokter gigi, pemborosan waktu dan uang.
c)      Pencegahan terhadap tuntutan masyarakat dan pertanggungjawaban kelalaian medik.
d)      Mencegah publikasi buruk.
e)      Membuat dokter dan dokter gigi waspada terhadap akibat tindakannya.
f)        Meningkatkan moral dan percaya diri dokter dan dokter gigi dengan membuat RS sadar keamanan.
g)      Menganalisa derajat risiko.
h)      Membuat keputusan lebih eksplisit dan berdasarkan norma kebenaran.
Kriteria yang dipergunakan untuk identifikasi risiko dilakukan melalui rekam medis pasien rawat inap dan pasien instalasi gawat darurat . Contoh masalah medis yang dibahas:
a)      Gagal melakukan monitoring atau tindakan.
b)      Terlambat menegakkan diagnosis.
c)      Salah menilai risiko .
d)      Kehilangan / kekurangan informasi pada saat pemindahan/peralihan ke staf medik lain.
e)      Gagal mencatat peralatan yang rusak.
f)        Lupa membawa checklist data-data preoperative.
g)      Perubahan dari protokol yang telah disepakati.
h)      Gagal memberi bantuan bila diperlukan.
i)        Mempergunakan protokol yang salah.
j)        Pengobatan diberikan pada sisi tubuh yang salah.
k)      Pemberian pengobatan yang salah.

Dalam Undang Undang Nomor 29 Nomor 29 Tahun 2004 tidak diatur secara tegas mengenai malpraktek medis. Memang pada UU tentang Praktik Kedokteran, ada bab dan pasal-pasal yang mengatur pembentukan Peradilan Disiplin Profesi Tenaga Medis yang meliputi penyelenggaraan Peradilan Disiplin Profesi Tenaga Medis, Susunan Pengadilan, Kekuasaan Pengadilan Disiplin Profesi Tenaga Medis dan Pengadilan Tinggi Disiplin Profesi Tenaga Medis, Hukum Acara, dan Pemeriksaan Peninjauan Kembali, dimana peradilan ini merupakan salah satu pelaksanaan kekuasaan kehakiman bagi masyarakat pencari keadilan terhadap sengketa akibat tindakan yang dilakukan dokter dan dokter gigi dalam praktik kedokteran.
Namun dalam pembahasan antara DPR dan Pemerintah pasal peradilan ini disepakati ditiadakan karena pertimbangan antara lain sumberdaya manusia yaitu dokter dan dokter gigi sebagai hakim profesi meskipun dalam UU tentang Kehakiman dimungkinkan pembentukannya. Dengan demikian maka jika terjadi kelalaian yang menimbulkan luka atau mati pada pasien, maka akan tetap diadili sesuai ketentuan hukum pidana di pengadilan negeri dan gugatan sesuai dengan hukum perdata untuk tuntutan ganti rugi. Dalam UU tentang Praktik Kedokteran memang tidak dibentuk peradilan profesi, tetapi dengan UU tersebut dibentuk Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia (MKDKI) yang merupakan lembaga otonom dari Konsil Kedokteran Indonesia dalam menegakkan disiplin dokter dan dokter gigi dalam penyelenggaraan praktik kedokteran.
Sedangkan Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia (MKDKI) tidak dapat menetapkan semacam “uang tali kasih” seperti Medische Tucht Raad di Belanda sehingga pasien tidak perlu menggugat secara perdata ke Pengadilan. Ini yang dinilai masyarakat sebagai kritikan bahwa UU tentang Praktik Kedokteran tidak mengatur malpraktik karena tidak ada satu katapun ada istilah malpraktik didalamnya, tetapi sebenarnya pengaturan ini ada jika dicermati dari pengertian malpraktik dan pencegahannya.
Pengaturan kelalaian yang menyebabkan luka atau kematian memang tetap dilaksanakan sesuai dengan ketentuan dalam Kitab Undang Undang Hukum Pidana (KUHP) dan Kitab Undang Undang Hukum Perdata dalam hal permintaan ganti rugi, tetapi pengaturan untuk mencegah terjadinya kelalaian, penetapan kewajiban dan standar-standar telah diatur dalam UU ini sehingga diharapkan dapat terlaksana sesuai tujuannya. Pengaturan dimaksud meliputi surat tanda registrasi, surat izin praktik, pelaksanaan praktik, standar pendidikan, hak dan kewajiban dokter dan dokter gigi, standar kompetensi, standar pelayanan, standar profesi, standar prosedur operasional, persetujuan tindakan kedokteran atau kedokteran gigi (informed consent), rekam medis, rahasia kedokteran, kendali mutu dan kendali biaya.
Ketentuan pengaturan jika terjadi dugaan kelalaian medis dokter dituntut secara pidana dan atau perdata dapat membuat stress kalangan profesi medis yang disamakan dengan pesakitan pada ummunya. Hal ini sebenanya juga akan berdampak kepada masyarakat dengan penerapan “defensive medicine” dan kemungkinan pemeriksaan penunjang yang berlebihan. Sebagai perbandingan di New Zealand untuk setiap orang yang terluka /mati termasuk karena adanya kelalaian medis ganti rugi akan diberikan oleh The Accident Compensation Corporation (ACC) jadi tidak perlu melalui jalur pengadilan.
Sedangkan dokter/dokter gigi akan dibawa ke pengadilan jika benar-benar melakukan tindak pidana misalnya mencuri uang pasien atau melakukan perbuatan asusila kepada pasien. Jika terjadi dugaan kelalaian dokter/dokter gigi akan dibawa terlebih dahulu ke Medical Council dimana di dalamnya terdapat Professional Conduct Committees atau diajukan kepada Health & Disability Commissioner yang melindungi hak-hak konsumen termasuk pasien. Jika tidak dapat diselesaikan maka akan diajukan ke NZ Health Practitioners Disciplinary Tribunal dimana sanksinya pencabutan sementara/tetap registrasinya Jadi tidak langsung ke Pengadilan sebagaimana di Indonesia pasien dapat langsung ke Pengadilan tanpa perlu melalui Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia (MKDKI) terlebih dahulu., bahkan dokter/dokter gigi dapat digugat ke Pengadilan sekaligus ke Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia (MKDKI). Berkaitan dengan malpraktik ketentuan pidana baik berupa tindak kesengajaan (professional misconducts) ataupun akibat culpa (kelalaian/kealpaan) sebagai berikut:
1)      Menyebabkan mati atau luka karena kelalaian ( Pasal 359 KUHP, Pasal 360 KUHP, Pasal 361 KUHP );
2)      Penganiayaan ( Pasal 351 KUHP ), untuk tindakan medis tanpa persetujuan dari pasien ( informed consent );
3)      Aborsi ( Pasal 341 KUHP, Pasal 342 KUHP, Pasal 346 KUHP, Pasal 347 KUHP, Pasal 348 KUHP , Pasal 349 KUHP );
4)      Euthanasia ( Pasal 344 KUHP, Pasal 345 KUHP);
5)      Keterangan palsu (Pasal 267-268 KUHP)

Seorang dokter atau dokter gigi yang menyimpang dari standar profesi dan melakukan kesalahan profesi belum tentu melakukan malpraktik medis yang dapat dipidana, malpraktik medis yang dipidana membutuhkan pembuktian adanya unsur culpa lata atau kalalaian berat dan pula berakibat fatal atau serius. (Ameln, Fred, 1991)
Hal ini sesuai dengan ketentuan Pasal 359 KUHP, Pasal 360, Pasal 361 KUHP yang dibutuhkan pembuktian culpa lata dari dokter atau dokter gigi. Dengan demikian untuk pembuktian malpraktek secara hukum pidana meliputi unsur :
1)      Telah menyimpang dari standar profesi kedokteran;
2)      Memenuhi unsur culpa lata atau kelalaian berat; dan
3)      Tindakan menimbulkan akibat serius, fatal dan melanggar Pasal 359, Pasal 360 KUHP.
Adapun unsur-unsur dari Pasal 359 dan Pasal 360 sebagai berikut :
1)      Adanya unsur kelalaian (culpa).
2)      Adanya wujud perbuatan tertentu.
3)       Adanya akibat luka berat atau matinya orang lain.
4)      Adanya hubungan kausal antara wujud perbuatan dengan akibat kematian orang lain itu.
Berbagai kasus malpraktek medis yang diajukan gugatan secara perdata didasarkan pada ketentuan perbuatan melanggar hukum (onrechtmatige daad) yang diatur dalam Pasal 1365, Pasal 1366, Pasal 1367 KUH Perdata. Berkaitan dengan ganti rugi ini juga diatur dalam Pasal 55 UU Kesehatan sebagai berikut :
1)      Setiap orang berhak atas ganti rugi akibat kesalahan atau kelalaian yang dilakukan tenaga kesehatan.
2)      Ganti rugi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Dalam pembuktian perkara perdata, pihak yang mendalilkan sesuatu harus mengajukan bukti-buktinya. Dalam hal ini dapat dipanggil saksi ahli untuk diminta pendapatnya. Jika kesalahan yang dilakukan sudah demikian jelasnya (res ipsa loquitur, the thing speaks for itself) sehingga tidak diperlukan saksi ahli lagi, maka beban pembuktian dapat dibebankan pada dokternya.
Namun demikian ada pula masyarakat yang melakukan penyelesaian melalui jalan lain yang dianggap lebih cepat yaitu melalui mediasi yang dilakukan oleh lembaga kemasyarakatan yang bergerak di bidang kesehatan. Masalahnya disini jika dokter/dokter gigi tidak “deal” membayar ganti rugi maka kasus itu akan dipublikasikan dan dibawa ke pengadilan, sehingga dokter/dokter gigi yang belum tentu melakukan kelalaian, yang tidak ingin namanya tercemar dan digugat ke Pengadilan memilih “deal” dalam mediasi tersebut.


Referensi Hukum