Perceraian adalah merupakan suatu peristiwa hukum yang mempunyai rentetan peristiwa hukum yang tingkat kerumitannya terkadang tidak kalah dengan permasalahan perceraian itu sendiri. Bahkan tidak jarang rentetan permasalahan tersebut lah yang membuat proses perceraian menjadi semakin berlarut. Makanya dalam praktek pengadilan saat ini, proses pemeriksaan perceraian itu dipisahkan dengan proses pemeriksaan perkara yang menjadi rentetan perceraian itu.
Beberapa permasalahan rentetan perceraian yang relevan dan kami anggap penting untuk dibahas dalam tulisan ini adalah sebagai berikut :
a. Harta Bersama,
b. Hak Pengasuhan dan Perwalian Anak
A. HARTA BERSAMA
Adanya apa yang disebut harta bersama dalam suatu rumah tangga, pada mulanya didasarkan atas ‘urf atau adat istiadat dalam sebuah negeri yang tidak memisahkan antara hak milik suami dan istri. Harta bersama tidak ditemukan dalam masyarakat Islam yang adat istiadatnya memisahkan antara harta suami dan harta istri. Makanya dalam literr fikih tidak akan dijumpai pembahasan masalah harta bersama suami istri dalam perkawinan karena umumnya pengarang dari kitab-kitab fikih adalah orang Arab yang tidak mengenal pencampuran harta.
Indonesia adalah salah satu negara yang masyarakat muslimnya memiliki kebiasan melakukan percampuran harta antara suami dan istri. Dan hal tersebut menjadi lebih kuat karena telah dituangkan dalam Pasal 35 UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
Menurut Pasal 35 UU No. 1 Tahun 1974, dikenal dua jenis harta dalam perkawinan :
a. Harta yang diperoleh selama perkawinan disebut harta bersama;
b. Harta bawaan masing-masing suami istri dan harta yang diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau warisan yang disebut dengan harta pribadi yang sepenuhnya berada dibawah penguasaan masing-masing sepanjang para pihak tidak menentukan lain.
Terbentuknya Harta Bersama
Tentang ini Pasal 35 ayat (1) Undang-undang No. 1 Tahun 1974 sudah menegaskan : “harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama”. Ini berarti terbentuknya harta bersama dalam perkawinan ialah sejak saat tanggal terjadinya perkawinan sampai ikatan perkawinan bubar. Kalau begitu harta apa saja yang diperoleh terhitung sejak saat dilangsungkan akad nikah, sampai saat perkawinan pecah baik oleh karena salah satu pihak meninggal atau oleh karena perceraian, seluruh harta-harta tersebut dengan sendirinya menurut hukum menjadi harta bersama. Penegasan yang seperti itu antara lain dapat dilihat dalam Putusan Mahkamah Agung tanggal 9 November 1976 No. 1448.K/Sip/1974. dalam putusan ini ditegaskan “Sejak berlakunya UU No. 1 Tahun 1974, harta benda yang diperoleh selama peerkawinan menjadi harta bersama, sehingga pada saat terjadinya perceraian harta bersama tersebut dibagi sama rata antara bekas suami istri”.
Dengan demikian patokan untuk menetukan apakah suatu barang atau harta termasuk atau tidak ke dalam harta bersama suami istri, ditentukan oleh faktor selama perkawinan antara suami istri berlangsung, dengan sendirinya harta tersebut menjadi harta bersama. Kecuali jika harta yang diperoleh berupa “warisan” atau “hibah” oleh salah satu pihak, harta tersebut tidak termasuk harta bersama tapi jatuh menjadi harta pribadi si penerima. Misalnya, suami atau istri mendapat harta warisan dari oranng tua. Sekalipun harta tersebut diperoleh selama perkawinan berlangsung, oleh karena harta yang diperoleh berbentuk warisan, harta itu akan menjadi milik pribadi penerima warisan. Begitu juga harta yang diperoleh sebagai hibah. Jika penghibahan ditujukan dan diperuntukkan secara pribadi kepada suami atau istri, harta tersebut tidak jatuh menjadi harta bersama, tapi jatuh menjadi harta pribadi penerima hibah.
Ruang Lingkup Harta Bersama
Yang dimaksud dengan ruang lingkup harta bersama, mencoba memberi penjelasan bagaimana cara menentukan, apakah suatu harta termasuk atau tidak sebagai objek harta bersama antara suami isteri dalam suatu perkawinan. memang benar baik Pasal 35 Undang-undang No. 1 Tahun 1974 maupun yurisprudensi telah menentukan segala harta yang diperoleh selama perkawinan dengan sendirinya menurut hukum menjadi harta bersama. Akan tetapi tentu tidak sesederhana itu penerapannya dalam konkreto.
1) Harta Yang Dibeli Selama Perkawinan
Patokan pertama untuk menentukan apakah suatu barang termasuk objek harta bersama atau tidak, ditentukan pada saat pembelian. Setiap barang yang dibeli selama perkawinan, harta tersebut menjadi objek harta bersama suami isteri tanpa mempersoalkan :
- Apakah isteri atau suami yang membeli;
- Apakah harta terdaftar atas nama isteri atau suami;
- Di mana harta itu terletak.
Lain halnya jika uang pembelian barang berasal dari harta pribadi suami atau isteri. Jika uang pembeli barang secara murni berasal dari harta pribadi, barang yang dibeli tidak termasuk objek harta bersama. Harta yang seperti itu tetap menjadi milik pribadi suami atau isteri.
2) Harta yang dibeli dan dibangun sesudah perceraian yang dibiayai dari harta bersama
Patokan berikut untuk menentukan sesuatu barang termasuk atau tidak objek harta bersama, ditentukan oleh asasl-usul uang biaya pembelian dan pembangunan barang yang bersangkutan, meskipun bbarang itu dibeli atau dibangun sesudah terjadi perceraian. Misalnya suami isteri selama perkawinan berlangsung mempunyai harta dan uang simpanan. Kemudian terjadi perceraian. Semua harta dan uang simpanan dikuasasi suami, belum dilakukan pembagian. Dari uang simpanan tersebut suami membeli atau membangun rumah. Dalam kasus yang seperti ini, rumah yang dibeli atau dibangun suami sesudah terjadi perceraian, namun jika uang pembeli atau biaya pembangunan berasal dari harta bersama, barang hasil pembelian atau pembangunan yang demikian tetap termasuk ke dalam objek harta bersama.
3) Harta yang dapat dibuktikan diperolehannya selama perkawinan
Patokan ini sejalan dengan kaidah hukum harta bersama. Semua harta yang diperoleh selama perkawinan dengan sendirinya menjadi harta bersama. Namun kita sadar, dalam suatu sengketa perkara harta bersama, pihak yang digugat selalu mengajukan bantahan bahwa harta yang digugat bukan harta bersama, tetapi milik pribadi. Hak kepemilikan tergugat bisa didalilkan berdasar atas hak pembelian, warisan, atau hibah. Apabila tergugat mengajukan dalih yang seperti itu, patokan untuk menentukan apakah sesuatu barang termasuk atau tidak objek harta bersama, ditentukan oleh kemampuan dan keberhasilan penggugat membuktikan bahwa harta-harta yang digugat benar-benar diperoleh selama perkawinan berlangsung dan uang pembeliannya tidak berasal dari uang pribadi.
4) Penghasilan harta bersama dan harta bawaan
Penghasilan yang tumbuh dari harta bersama, sudah logis akan jatuh menambah jumlah harta bersama. Tumbuhnya pun berasal dari harta bersama, sudah semestinya hasil tersebut menjadi harta bersama. Akan tetapi, bukan hanya yang tumbuh dari harta bersama yang jatuh menjadi objek harta bersama di antara suami isteri. Juga termasuk penghasilan yang tumbuh dari harta pribadi suami isteri, akan jatuh menjadi objek harta bersama.
5) Segala penghasilan pribadi suami isteri
Menurut putusan Mahkamah Agung tanggal 11 Maret 1971 No. 454 K/Sip/1970, “segala penghasilan pribadi suami isteri baik dari keuntungan yang diperoleh dari perdagangan masing-masing ataupun hasil perolehan masing-masing pribadi sebagai pegawai jatuh menjadi harta bersama suami isteri”.
Jadi sepanjang mengenai penghasilan pribadi suami isteri tidak terjadi pemisahan. Malahan dengan sendirinya terjadi penggabungan kedalam harta bersama. Penggabungan penghasilan pribadi dengan sendirnya terjadi menurut hukum, sepanjang suami isteri tidak menentukan lain dalam perjanjian perkawinan.
B. HAK PENGASUHAN DAN HAK PERWALIAN ANAK
HAK PENGASUHAN ANAK
Hadanah menurut bahasa berarti meletakkan sesuatu dekat dengan tulang rusuk seperti mengendong, atau meletakkan sesuatu dalam pangkuan. Seorang ibu waktu menyusukan, meletakkan anak dipangkuannya dan melindunginya dari segala yang menyakiti. Menurut istilah ialah tugas menjaga dan mengasuh atau mendidik bayi atau anak kecil sejak ia lahir sampai mampu menjaga dan mengatur dirinya sendiri.
Kewajiban melakukan hadanah terletak dipundak kedua orang tua. Prinsip tersebut berjalan lancar bilamana kedua orang tua tetap dalam hubungan suami isteri. Yang menjadi persoalan adalah apabila kedua orang tua si anak telah berpisah cerai, maka pihak manakah yang lebih berhak terhadap anak itu. Dalam kaitannya dengan masalah ini ada dua periode bagi anak yang perlu dikemukakan:
1. Periode Sebelum Mumayiz
Periode ini adalah dari waktu lahir sampai menjelang umur tujuh atau delapan tahun. Pada masa tersebut pada galibnya seorang anak belum lagi mumayiz atau belum bisa membedakan antara yang bermanfaat dan yang berbahaya bagi dirinya sendiri. Pada periode ini, setelah melengkapi syarat-syarat pengasuh, kesimpulan ulama menunjukkan bahwa pihak ibu lebih berhak terhadap anak untuk selanjutnya melakukan hadanah. Kesimpulan ini didasarkan atas :
a. Sabda Rasulullah yang maksudnya : “Barang siapa memisahkan antara seorang ibu dan anaknya, niscaya Allah akan memisahkannya dengan yang dikasihinya da hari Kemudian.” (HR. Abu Daud)
b. Hadis Abdullah bin Umar bin al-Ash menceritakan, seorang wanita mengadu kepada Rasulullah tentang anak kecilnya, dimana mantan suaminya bermaksud membawa anak mereka bersamanya setelah menceraikannya. Lalu Rasulullah SAW bersabda : “Kamu (wanita itu) lebih berhak terhadap anak itu selama kamu belum menikah dengan lelaki lain”. (HR. Abu Daud Ahamad).
c. Sesuai dengan isi hadis-hadis tersebut di atas adalah keputusan Khalifah Abu Bakar dalam kasus sengketa antara Umar bin Khattab dab bekas isterinya. Umar bin Khattab dengan salah seorang isterinya mendapat seorang anak yang diberi nama ‘Ashima, kemudian ia bercerai dari isterinya. Pada suatu hari Umar peergi ke Quba, ia mendapati anaknya itu sedang bermain. Ketika ia memegang anaknya dengan maksud membawanya pergi, terjadilah pertengkaran dengan pihak ibu. Kasus ini segera disampaikan kepada Khalifah Abu Bakar dan ia memutuskan menetapkan bahwa anak itu ikut ibunya (Riwayat Ibnu Abi Syaibah).
d. Ibu lebih mengerti dengan kebutuhan anak dalam masa tersebut dan lebih bisa memperlihatkan kasih sayangnya. Demikian pula anak dalam masa itu sedang amat membutuhkan untuk hidup didekat ibunya.
Berdasarkan alasan-alasan di atas, apabila terjadi perceraian, demi kepentingan anak dalam Umar tersebut, maka itu lebih berhak untuk mengasuhnya, bilamana peersyaratan-persyaratannya dapat dilengkapi.
2. Periode Mumayiz
Masa mumayiz adalah dari umur tujuh tahun sampai menjelang balig berakal. Pada masa ini seorang anak secara sederhana telah mempu membedakan antara yang berbahaya dan yang bermanfaat bagi dirinya. Oleh sebab itu, ia sudah dianggap dapat menjatuhkan pilihannya sendiri apakah ia ikut ibu atau ikut ayahnya. Dengan demikian ia diberi hak pilih menentukan sikapnya. Dasar hukumnya adalah hadis Abu Hurairah yang menceritakan seorang wanita mengadukan tingkah bekas suaminya yang hendak mengambil anak mereka berdua, yang telah mulai mampu menolong mengambil air dari sumur. Lalu Rasulullah menghadirkan kedua pihak yang bersengketa dan mengadili : “Hai anak, ini ibumu dan ini ayahmu. Pilihlah yang mana yang engkau sukai untuk tinggal bersamanya. Lalu anak itu memilih ibunya”.
Syarat-syarat Bagi Yang Melakukan Hadanah
Beberapa syarat bagi yang melakukan hadanah, sebagai berikut :
a. Sudah balig berakal;
b. Mempunyai kemampuan dan kemauan untuk memelihara dan mendidik anak yang diasuh dan tidak terikat dengan suatu pekerjaan yang bisa mengakibatkan tugas hadanah menjadi terlantar;
c. Seseorang yang melakukan hadanah hendaklah dapat dipercaya memegang amanah, sehingga dengan itu lebih menjamin pemeliharaan anak;
d. Jika yang akan melakukan hadanah itu ibu kandung dari anak yang akan diasuh, disyaratkan tidak kawin dengan lelaki lain kecuali laki-laki lain tersebut adalah kerabat dekat si anak atau rela menerima kenyataan;
e. Beragama Islam;
Hadanah Menurut Kompilasi Hukum Islam
Dalam Kompilasi Hukum Islam yang merupakan bagian upaya dalam rangka mencari pola fikih yang bersifat khas Indonesia atau fikih yang bersifat kontekstual, masalah hadanah diatur dalam Pasal 105 dan Pasal 156 :
Pasal 105
Dalam hal terjadinya perceraian :
a. Pemeliharaan anak yang belum mumayiz atau belum berumur 12 tahun adalah hak ibunya;
b. Pemeliharaan anak yang sudah mumayiz diserahkan kepada anak untuk memilih di antara ayah atau ibunya sebagai pemegang hak pemeliharaannya;
c. Biaya pemeliharaan ditanggung ayahnya.
Pasal 156
Akibat putusnya perkawinan karena perceraian ialah :
a. Anak yang belum mumayiz berhak mendapatkan hadanah dari ibunya, kecuali bial ibunya telah meninggal dunia, maka kedudukannya digantikan oleh :
1. Wanita-wanita dalam garis lurus dari ibu;
2. ayah;
3. wanita-wanita dalam garis lurus ke atas dari ayah;
4. saudara perempuan dari anak yang bersangkutan;
5. wanita-wanita kerabat sedarah menurut garis samping dari ibu;
6. wanita-wanita kerabat sedarah menurut garis samping dari ayah.
b. Anak yang sudah mumayiz berhak memilih untuk mendapatkan hadanah dari ayah atau ibunya…;
Jadi menurut Kompilasi Hukum Islam, anak yang belum mumayiz atau belum berumur 12 tahun mendapat hadanah dari ibunya dan setelah mumayiz, anak dapat memilih untuk mendapatkan hadanah dari ayah atau ibunya.
HAK PERWALIAN ANAK
Istilah wali disamping dipakai untuk orang yang menjadi wali nikah, juga dipakai untuk orang yang melakukan pemeliharaan atas diri anak-anak semenjak berakhir periode hadanah sampai ia berakal balig, atau sampai menikah bagi anak perempuan. Jadi tugas wali adalah untuk menyambung dan menyempurnakan pendidikan anak yang telah dimulai pada waktu hadanah, serta bertanggungjawab atas kelangsungan hidup dan pemeliharaan anak sampai ia berakal balig, dan mampu hidup mandiri. Disamping itu, istilah wali juga dipakai untuk seseorang yang berwenang memelihara harta anak kecil serta mengatur perbelanjaannya dari hartanya itu.
Menurut Imam Syafi’i yang akan menjadi wali bagi harta anak-anak yang masih kecil adalah pertama ayahnya sendiri, kemudian ayah dari ayahnya (kakek). Setelah ayah dari kakek tidak ada atau berhalangan, harta dipelihara oleh washiy, yaitu orang yang ditunjuk oleh ayahnya sebagai kepercayaannya dalam mengurus anak dan hartanya bila ia berhalangan atau wafat, dan setelah itu hak pemeliharaan harta dipegang oleh washiy kakeknya. Setelah orang-orang tersebut tidak ada, maka hakim perlu menunjuk siapa yang akan bertindak sebagai washiy untuk memegang dan memelihara harta si anak. Berbeda dengan itu, mazhab Hanafi menetapkan bahwa hak wali terhadap harta anak pertama terletak pada ayah kandungnya, kemudian pada washiynya. Bilaman orang-orang tersebut berhalangan, hak sebagai washiy dipegang oleh orang yang ditunjuk oleh penguasa atau hakim.