Selamat Datang....

Statistik Pembaca


widget

Kamis, 26 Februari 2009

Pengadilan Anak

Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak yang telah berlaku di Indonesia merupakan implementasi dari Konvensi Hak Anak. Dalam Konvensi Hak Anak tersebut dinyatakan bahwa setiap anak berhak atas perlindungan, mencakup perlindungan dari segala eksploitasi, perlakuan kejam dan perlakuan sewenang-wenang dalam proses peradilan pidana. Berkaitan dengan hal tersebut, maka dikeluarkanlah Undang-Undang tentang Pengadilan Anak.

Beberapa pengertian yang harus diperhatikan, yaitu:

  1. Yang dimaksud dengan anak dalam perkara Anak Nakal adalah orang yang telah mencapai umur 8 (delapan) tahun tetapi belum mencapai umur 18 (delapan belas) tahun dan belum pernah kawin.1

  2. Anak Nakal adalah:

- anak yang melakukan tindak pidana, atau

- anak yang melakukan perbuatan yang dinyatakan terlarang bagi anak, baik menurut peraturan perundang-undangan maupun menurut peraturan hukum lain yang hidup dan berlaku dalam masyarakat yang bersangkutan


Tahapan beracara dalam pengadilan anak pada dasarnya sama dengan peradilan umum, yaitu peradilan pidana. Namun mengingat bahwa subjeknya adalah anak yang berbeda dengan subjek peradilan umum lain, maka terdapat beberapa perbedaan dan perlakuan khusus yang dibuat untuk kepentingan anak. Perbedaan dan perlakuan khusus tersebut antara lain:

Berdasarkan pemeriksaan:

  1. Dalam hal anak melakukan tindak pidana pada batas umur yang telah ditentukan dalam batas umur Anak Nakal, dan diajukan ke sidang pengadilan setelah anak yang bersangkutan melampaui batas umur tersebut, tetapi belum mencapai umur 21 (dua puluh satu) tahun, tetap diajukan ke Sidang Anak.2

  2. Dalam hal anak belum mencapai umur 8 (delapan) tahun melakukan atau diduga melakukan tindak pidana, maka terhadap anak tersebut dapat dilakukan pemeriksaan oleh penyidik.3

  3. Apabila menurut hasil pemeriksaan, Penyidik berpendapat bahwa anak yang dimaksud dalam ayat 1 masih dapat dibina oleh orang tua, wali, atau orang tua asuhnya, Penyidik menyerahkan kembali amak tersebut kepada orangtua, wali, atau orangtua asuhnya.4

  4. Apabila menurut hasil pemeriksaan, penyidik berpendapat bahwa anak sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 tidak dapat lagi dibina oleh orangtua, wali, atau orangtua asuhnya, Penyidik menyerahkan anak tersebut kepada Departemen Sosial setelah mendengar pertimbangan dari Pembimbing Kemasyarakatan.5


Berdasarkan pemeriksaan di persidangan:


  1. Anak yang melakukan tindak pidana bersama-sama dengan orang dewasa diajukan ke Sidang Anak, sedangkan orang dewasa diajukan ke sidang bagi orang dewasa.6

  2. Anak yang melakukan tindak pidana bersama-sama dengan anggota Angkatan Bersenjata Republik Indonesia diajukan ke Sidang Anak, sedangkan anggota Angkatan Bersenjata Republik Indonesia diajukan ke Mahkamah Militer.7

  3. Hakim, Penuntut Umum, Penyidik, dan Penasihat Hukum, serta petugas lainnya dalam Sidang Anak tidak memakai toga atau pakaian dinas.8

  4. Hakim memeriksa perkara anak dalam sidang tertutup.9

  5. Dalam hal tertentu dan dipandang perlu, pemeriksaan perkara anak sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 dapat dilakukan dalam sidang terbuka.10

  6. Dalam hal sidang dilakukan dalam keadaan tertutup, maka yang dapat hadir dalam persidangan tersebut adalah orang tua, wali, atau orang tua asuh, Penasihat Hukum, dan Pembimbing Kemasyarakatan.11

  7. Selain mereka yang disebutkan di atas, orang-orang tertentu atas izin hakim atau majelis hakim dapat menghadiri persidangan tertutup.12

  8. Putusan pengadilan atas perkara anak yang dilakukan dalam persidangan tertutup, diucapkan dalam persidangan yang terbuka untuk umum.13

  9. Apabila ketentuan dalam pasal 8 dan pasal 6 UU No 3 Tahun 1997 ridak dilaksanakan, maka putusan hakim dapat dinyatakan batal demi hukum.14


1 Pasal 1 butir 1 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak.

2 Pasal 4 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak.

3 Pasal 4 ayat 1Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak.

4 Pasal 4 ayat 2 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak.

5 Pasal 4 ayat 3 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak.

6 Pasal 7 ayat 1 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak.

7 Pasal 7 ayat 2 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak.

8 Pasal 6 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak.

9 Pasal 8 ayat 1 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak.

10 Pasal 8 ayat 2 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak.

11 Pasal 8 ayat 3 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak.

12 Pasal 8 ayat 4 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak.

13 Pasal 8 ayat 6 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak.

14 Pasal 153 ayat 4 KUHAP.

Sistem Peradilan Pidana

Sistem Peradilan Pidana (Criminal Justice System) adalah “sistem dalam suatu masyarakat untuk menanggulangi masalah kejahatan”.1 Menanggulangi adalah usaha mengendalikan kejahatan agar berada dalam batas-batas toleransi dengan menyelesaikan sebagian besar laporan maupun keluhan masyarakat yang menjadi korban kejahatan dengan mengajukan pelaku kejahatan ke sidang pengadilan untuk diputus bersalah serta mendapat pidana di samping itu ada hal lain yang tidak kalah penting adalah mencegah terjadinya korban kejahatan serta mencegah pelaku untuk mengulangi kejahatannya.

Dari uraian di atas dapat dirinci bahwa tujuan sistem peradilan pidana sebagaimana dikatakan oleh Mardjono Reksodiputro sebagai berikut:

  1. Mencegah masyarakat menjadi korban kejahatan;

  2. Menyelesaikan kasus-kasus kejahatan yang terjadi sehingga masyarakat merasa puas bahwa keadilan telah ditegakkan dan yang bersalah telah dipidana sehingga masyarakat merasa puas;

  3. Mengusahakan agar mereka yang pernah melakukan kejahatan tidak mengulangi lagi kejahatannya.2


Sedangkan menurut Davies mengatakan bahwa tujuan sistem peradilan pidana antara lain:

  1. Menjaga masyarakat dengan mencegah kejahatan yang akan terjadi, dengan merehabilitasi terpidana atau orang-orang yang diperkirakan mampu melakukan kejahatan.

  2. Menegakkan hukum dan respek kepada hukum dengan memastikan pembinaan yang baik kepada tersangka, terdakwa atau terpidana, mengeksekusi terpidana dan mencegah masyarakat yang tidak bersalah dari tuntutan hukum.

  3. Menjaga hukum dan ketertiban.

  4. Menghukum pelanggar kejahatan sesuai dengan prinsip keadilan.

  5. Membantu korban kejahatan.3


Berkenaan dengan istilah sistem peradilan pidana atau criminal justice system tidak terpisah dari istilah sistem yang digambarkan oleh Davies et.al sebagai “the word system conveys an impression of a complec to end”4, artinya bahwa kata system menunjukkan adanya suatu kesan dari objek yang komplek lainnya dan berjalan dari awal sampai akhir. Oleh karena itu dalam mewujudkan tujuan sistem tersebut ada empat instansi yang terkait yaitu kepolisian, kejaksaan, pengadilan dan lembaga pemasyarakatan. Keempat komponen tersebut harus bekerja sama secara terpadu (Integrated Criminal Justice Administration). Berproses secara terpadu artinya bahwa keempat sub sistem ini bekerja bagai bejana berhubungan walaupun masing-masing berdiri sendiri. Polisi selaku penyidik melakukan penyidikan termasuk penyelidikan, penangkapan, penahanan, penggeledahan, penyitaan dan pemeriksaan surat. Jaksa selaku penuntut umum melakukan penuntutan berdasarkan hasil penyidikan yang disampaikan oleh penyidik. Hakim atas dasar dakwaan penuntut umum melakukan pemeriksaan dalam sidang pengadilan.5

Hal senada juga ditegaskan oleh Menteri Ali Said 6 dalam pengarahannya antara lain menyatakan:

Sebelumnya mengenai perlunya tenaga-tenaga profesional sistem peradilan pidana yang bekerja dengan baik. Kita tidak akan dapat mengharapkan sistem yang bekerja dengan baik itu apabila tidak ada keterpaduan dalam kegiatan unsur-unsur tersebut. Dalam kebhinekaan fungsi masing-masing unsur sistem maka penghayatan yang sama tentang sistem peradilan pidana penting. Inilah yang akan membuktikan keterpaduan dari berbagai unsur tersebut.7


Selanjutnya beliau juga menambahkan bahwa disamping kepolisian, kejaksaan, pengadilan dan lembaga pemasyarakatan, khusus di Indonesia ingin ditambahkan pula masyarakat dan penasehat hukum sebagai unsur sistem tersebut. Menurutnya, Jepang telah mempergunakan pendekatan keterpaduan ini dalam sistem peradilan pidananya, sehingga Jepang diajukan sebagai “one of the succesfull models of an integrate approach”. Sistem di Jepang diperumpamakan sebagai “a chain of gears and each ofther should be precise and tenacious in maintaining good combination with each other” (seperangkat roda gigi yang harus dengan cermat dan ulet menjaga kombinasi yang baik antara masing-masing roda gigi tersebut). Dengan sisitem tersebut Jepang telah dapat membanggakan “ angka pengungkapan perkara” yang tinggi (high conviction rate) di pengadilan. Hal ini disebabkan karena penyidikan yang efisien, partisipasi masyarakat yang aktif, kerajinan para penegak hukum dan kecendrungan mereka mengejar kebenaran materil (substantial truth) dalam setiap perkara atau yang dinamakan “precise justice” (keadilan yang cermat)8

Ciri terpenting dalam sistem Jepang adalah wewenang hukum yang dinamakan “suspended prosecution” yang dimilliki oleh seorang penuntut umum. Dalam hal ini penuntut umum mempunyai keleluasaan (diskresi) untuk menghentikan penuntut meskipun ada cukup bukti tentang kesalahan. Melalui kewewenangan ini penegak hukum dapat mengendalikan aliran perkara kepengadilan maupun ke badan-badan pemasyarakatan. Oleh karena ituu fungsi penuntut umum ditekankan pula sebagai koordinator untuk seluruh proses peradilan pidana. Kewenangan penuntut umum diatas diawasi melalui suatu lembaga yang dinamakan “inquest of prosecution” (hak angket terhadap penuntut umum) yang dilakukan oleh sejumlah warga masyarakat yang dipilih secara undian.

Disamping itu penyelesaian perkara di pengadilan Jepang cepat, dengan keseimbangan hukum dijaga. Hukuman yang dijatuhkan dapat dianggap sebagai sangat “murah hati” (lenient) karena pengadilan berpendapat bahwa asal saja “angka pengungkapan perkara” dan angka penghukuman dipertahankan dalam tingkat yang tinggi, maka hukuman yang murah hati tidak akan mengurangi efek penegakan umum dari hukuman tersebut. Disamping itu profesionalisme dari para penegak hukum yang didasarkan pada model rehabilitasi dan adanya sukarelawan (anggota masyarakat yang membantu pemasyarakatan terpidana) telah menurunkan angka residivisme.

Pendapat yang menyatakan bahwa sistem peradilan pidana atau criminal justice system bukanlah suatu sistem, contohnya di Amerika Serikat. Pendapat tersebut disebabkan karena ada tiga komponen dari sistem tersebut tidak berjalan dengan harmonis, juga tidak cukup efisien untuk menciptakan ketakutan akan hukuman serta respek kepada nilai hukum itu sendiri. Burton Wright dan Vernon B. Fox misalnya menyatakan bahwa ”the criminal justice system...is frequently critized because it is not a coordinated structure-not a really a system. In many ways this is true”9

Pendapat yang menyatakan criminal justice system bukan sebagai sistem dibantah oleh Willa Darson, yang menyatakan, “administration of justice can be regarded as a system by most standards. It may be poorly functioning system but it does meet the criteria nonetheless. The system approach is still in its infancy.” sedangkan W.La Patra menyatakan bahwa “I do believe that a criminal justice system does exist, but that it function very poorly. The criminal justice system is a loosely connected, nonharmonious, group of social entities”.

Sue Titus Reid, berpendapat lain, menurutnya, sistem peradilan pidana adalah sistem karena dalam proses penyelenggaraannya sistem isi terpadu dan saling terkait berjalan seperti sebuah pabrik mobil, yang harus melewati beberapa bagian dan pengawasan tertentu sebelum dapat keluar dari pabrik, seperti dikutip di bawah ini:

The criminal justice process may be likened to an assembly line in a automobile factory. The offender, like the car, is on a moving belt. As he passes from station to station, different people to different things to him until ultimately he comes out at the end of the line, a convicted man who has, hopefully been “corrected”. The man, like the car may drop off the end. He may be taken off the line temporarily and the be put back on it. He may entirely through the line, but by committing a new offense, flunk the final inspection. So he is “called back by the factory”, taken out of circulation, and started again through the line.10


Selanjutnya Muladi mendefinisikan bahwa, sistem peradilan pidana adalah jaringan (network) peradilan yang menggunakan hukum pidana materiil, hukum pidana formil maupun hukum pelaksanaan pidana.11

Berbicara masalah sistem peradilan pidana di berbagai negara dikatakan berbeda-beda tetapi dapat dikiaskan sebagai “kotak hitam” (black box)12

Dikatakan “kotak hitam” karena menimbulkan keadaan yang tidak sejahtera bagi yang dikenakan output yang bersifat langsung dapat berupa hukuman penjara menimbulkan nista, pencabutan hak milik (penyiksaan secara diam-diam) dan di banyak negara bahkan di masa kinipun masih diterapkan hukuman penjara seumur hidup dan hukuman mati.

Landasan hukum sistem peradilan pidana adalah Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana yang lebih dikenal dengan sebutan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). KUHAP merumuskan tentang penyidikan13 dalam BAB XIV mulai dari Pasal 102 sampai Pasal 136, tentang penuntutan dalam BAB XV mulai dari Pasal 137 sampai Pasal 144, kemudian tentang pengadilan (mengadili)14 termasuk upaya hukumnya diatur dalam BAB XVI mulai dari Pasal 145 sampai Pasal 269.

Sedangkan tentang Pemasyarakatan diatur secara implisit dalam BAB XX tentang pengawasan dan pengamatan pelaksanaan putusan pengadilan mulai Pasal 277 sampai Pasal 283. Adapun fungsi dari keempat komponen sistem peradilan pidana. Polisi berfungsi menyelidiki dan menyidik bila ada kejahatan, mencegah kejahatan, menangkap pelaku kejahatan dan menjaga ketertiban umum. Jaksa berfungsi menerima berkas penyidikan dari polisi dan mengajukan penuntutan ke pengadilan. Pengadilan berfungsi menerima dan memproses kasus secara efisien, menjaga hak dari terdakwa, memutuskan terdakwa bersalah atau tidak dan menetapkan pidana. Pemasyarakatan berfungsi tempat menjalankan eksekusi, tempat menghukum terpidana untuk direhabilitasi dan menyiapkan terpidana agar dapat kembali ke masyarakat.

Selanjutnya dalam mencapai tujuan dan efektifitas dari sistem peradilan pidana ada beberapa hal yang perlu diperhatikan, yaitu:

  1. Efisiensi kepolisian merupakan prasyarat untuk administrasi pemasyarakatan yang baik.

  2. Penggunaan yang berlebihan dalam penahanan sementara akan mengakibatkan lembaga pemasyarakatan menampung penghuni di atas batas kapasitasnya. Hal ini sebenarnya dapat diatasi dengan mengurangi input, menambah output, dan mempersingkat waktu persidangan.

  3. Mengurangi beban penghuni lembaga pemasyarakatan atau dengan mempergunakan kemungkinan lain daripada pidana penjara.

  4. Mencegah disparitas dalam pidana yang dijatuhkan untuk perkara yang serupa, agar terpidana tidak diperlakukan tidak adil dan menimbulkan rasa permusuhan terhadap sub sistem peradilan pidana, termasuk lembaga pemasyarakatan yang akan menyukarkan pembinaan.15


Sistem peradilan pidana yang dilaksanakan secara terpadu sebenarnya merupakan proses pelaksanaan atau penegakan hukum pidana dan proses kriminal. Dalam suatu sistem peradilan yang baik harus menyadari keterbatasannya dalam menyampaikan kepada masyarakat bahwa tugas mereka adalah hanya menjaga ketertiban umum (public order maintenance).16

Sebagai suatu sistem agar dapat dilaksanakan secara terpadu ada beberapa pendekatan yang dapat dipakai, yaitu:

  1. Pendekatan normatif, dengan memandang keempat aparatur penegak hukum sebagai institusi pelaksana peraturan perundang-undangan yang berlaku sehingga keempat aparatur tersebut merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari sistem penegakan hukum semata.

  2. Pendekatan administratif, dengan memandang keempat aparatur penegak hukum sebagai suatu organisasi manajemen yang memiliki mekanisme kerja organisasi yang berlaku dalam organisasi tersebut.

  3. Pendekatan sosial, dengan memandang keempat aparatur penegak hukum merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari suatu sistem sosial sehingga masyarakat secara keseluruhan ikut bertanggungjawab atas keberhasilan atau ketidakberhasilan dari keempat aparatur penegak hukum tersebut dalam melaksanakan tugasnya.17


Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa walaupun masing-masing instansi komponen sistem peradilan pidana mempunyai tugas dan fungsi masing-masing, akan tetapi dalam mencapai tujuan harus bekerja sama karena jika tidak ada beberapa kerugian akan timbul yaitu:

  1. Kesukaran dalam menilai sendiri keberhasilan atau kegagalan masing-masing instansi sehubungan dengan tugas bersama;

  2. Kesulitan dalam memecahkan sendiri masalah pokok masing-masing instansi (sebagai sub sistem dari sistem peradilan pidana) dan;

  3. Karena tanggungjawab masing-masing instansi sering kurang jelas perbandingannya, maka setiap instansi tidak terlalu memperhatikan efektifitas menyeluruh dari sistem peradilan pidana.18


Kerugian tersebut merupakan kendala utama dalam managemen keseluruhan sistem sehingga tidak berhasil dalam mewujudkan tujuan SPP. Tujuan SPP bukan hanya tanggungjawab satu instansi tetapi tanggungjawab keempat komponen SPP. Selain dengan bentuk pendekatan tersebut diatas, sistem peradilan pidana tidak dapat dipisahkan dari proses kriminal, Herbert L. Packer mengemukakan ada dua model yaitu Due Process Model dan Crime Control Model. Crime Control Model (C.C.M) lebih memperhatikan kebutuhan untuk menyelesaikan kasus atau memperhatikan kebutuhan untuk menyelesaikan kasus atau memastikan ada tidaknya suatu kejahatan dan mengontrol kejahatan sedangkan Due Process Model (D.P.M) lebih menekankan pentingnya hak asasi dari terdakwa.19

Kedua model sistem peradilan di atas terdapat persamaan dan perbedaan. Persamaannya dilandasi pada asumsi tentang:

  1. Penetapan suatu tindakan sebagai tindakan pidana harus terlebih dahulu ditetapkan jauh sebelum proses identifikasi dan kontak dengan seorang tersangka pelaku kejahatan atau lebih dikenal dengan asas ex post facto law, artinya undang-undang tidak berlaku surut.

  2. Hukum untuk melakukan tindakan penyidikan dan penangkapan terhadap seorang tersangka pelaku kejahatan.

  3. Seorang pelaku kejahatan adalah subjek hukum yang harus dilindungi dan berhak atas peradilan yang jujur dan tidak memihak.20


Sedangkan perbedaan sistem Due Process Model (D.P.M) dan Crime Control Model. Crime Control Model (C.C.M) dapat dilihat pada tabel di bawah ini:

Tabel 2

Perbedaan Model Crime Control Model dan Due Process Model 21

Crime Control Model

Versus

Due Process Model

5 Karakteristik

Nilai (Value)

6 Karakteristik

  1. Represif

  2. Presumption of Guilt

  3. Informal Fact Finding

  4. Factual Guilt

  5. Efficiency


Mekanisme (Mechanism)

  1. Preventif

  2. Presumption of Innocence

  3. Formal

  4. Adjudicative

  5. Legal Guilt

  6. Efficiency


Secara internasional perlindungan terhadap pelaku tindak kejahatan telah dilindungi seperti dengan adanya The Standard Minimum Rules.

The Standard Minimum Rules recommend that no prisoner shall be punished except in accordance with law or regulation, or unless he has been informed of the alleged offense and given a proper opportunity to present his defense” 22

(Peraturan standar minimum mengatur bahwa tak seorang penjahat dihukum kecuali melanggar hukum dan peraturan atau setidak-tidaknya dia telah dinyatakan melanggar hukum dan peraturan atau setidak-tidaknya dia telah dinyatakan melanggar peraturan dan diberikan kesempatan untuk membela diri).


Dari ketentuan standar minimum tersebut jelas bahwa seseorang itu dihukum apabila melanggar hukum dan peraturan. Untuk itu hendaknya seorang hakim harus memperhatikan orang yang akan dijatuhkan hukuman dan hukuman yang dijatuhkan juga haruslah mengandung keadilan, manfaat dan kepastian hukum. Hukuman yang terlalu berat atau terlalu ringan dari yang sewajarnya atas suatu kejahatan merupakan putusan yang tidak adil menggambarkan tidak berhasilnya pengadilan memberikan pidana yang tepat untuk dapat memperbaiki pelaku kejahatan. Apabila hal ini terjadi secara berulang-ulang maka akan mengoyahkan kepercayaan masyarakat kepada hukum. Disisi lain dapat mendorong para pelaku kejahatan lebih berani melakukan perbuatannya karena sebagian mereka akan merasa kebal hukum.

1 Mardjono Reksodiputro, Kriminlogi dan Sistem Peradilan Pidana, (Jakarta : Pusat Pelayanan dan Pengabdian Hukum Universitas Indonesia, 1997), hlm. 84 (Selanjutnya disebut Buku I)

2 Ibid., hlm. 85

3 Davies et.al., Criminal Justice and Introduction to the Criminal Justice System in England and Wales, (London : Longman Group Limited, 1995), hlm. 4

4 Ibid., hlm. 14

5 R. Abdul Salam dan Zen Zanibar, MZ, Refleksi Keterpaduan Penyidikan Penuntutan dan Peradilan Dalam Penanganan Perkara, (Jakarta : DISKUM POLRI, 1998), hlm. 8

6 Menteri Kehakiman RI pada saat seminar bersama UNAFEI Jepang - BIBINKUMNAS “Pencegahan Kejahatan dan Pembinaan Pelanggar Hukum, (Jakarta : Departemen Kehakiman RI ,13-21 Januari 1984)

7 Mardjono Reksodiputro, Bunga Rampai Permasalahan dalam Sistem Pidana, (Jakarta : Universitas Indonesia, 1997), hlm. 48 (Selanjutnya disebut Buku II)

8 Mardjono Reksodiputro, Buku II, Op-Cit., hlm, 49.


9 Febria, Pemasyarakatan dalam Kerangka Sistem Peradilan Pidana (Studi Kasus di Lembaga Pemasyarakatan Kelas I Sukamiskin Bandung), (Jakarta : Universitas Indonesia, 2001), hlm. 21.

10 Sue Titue Reid, Criminal Justice Procedures and Issues, (Minnesota : West Publishing Co, 1987), hlm. 5.

11 Romli Atmasasmita, Sistem Peradilan Pidana, (Bandung : Bina Cipta, 1996), hlm. 16.

12 M.L. HC. Hulsman, Sistem Peradilan Pidana Dalam Prespektif Perbandingan Hukum, Penyadur Dirdjosisworo, (Jakarta : Rajawali Press, 1984), hlm. 2

13 Penyidikan adalah serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam UU ini untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya (Pasal 1 angka 1 KUHAP).

14 Mengadili adalah serangkaian tindakan hakim untuk menerima, memeriksa dan memutus perkara pidana berdasarkan asas bebas, jujur dan tidak memihak di sidang pengadilan dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam UU ini (Pasal 1 angka 9 KUHAP)

15 Mardjono Reksodiputro, Buku I, Op-Cit, ha.m 145.

16 Mardjono Reksodiputro, Buku II, Op-Cit., hal. 6.

17 Romli Atmasasmita, Op-Cit., hlm. 146.

18 Mardjono Reksodiputro, Buku II, Op-Cit., hlm. 45.

19 Sue Titus Reid, Crime and Criminology, (New York : CBS College, 1985), hlm. 275.

20 Romli Atmasasmita., Op-Cit, hlm. 18.

21 Ibid., hlm. 21.

22 International Review of Crime Policy, Implementasi of The Standard Minimum Rules for the Treatment of Prisoners, (New York : UNITED NATION, 2000), hlm. 81.

Kejahatan Anak

Pembangunan nasional yang merupakan bagian proses modernisasi membawa dampak positif maupun negatif. Salahsatu dampak negatif dari pesatnya perkembangan ekonomi, ilmu pengetahuan dan teknologi semakin meningkatkan kualitas serta kuantitas kejahatan. Disamping itu kemerosotan ekonomi juga sebagai faktor pemicu dominan terjadinya suatu kejahatan.

Menurut beberapa ahli, masalah kejahatan bukanlah barang baru meskipun tempat dan waktunya berlainan, akantetapi modusnya dinilai sama karena kejahatan adalah suatu fenomena sosial yang terjadi pada setiap waktu dan tempat, kehadirannya di bumi dapat dikatakan setua dengan umur manusia.1

Benedict Alpert berpendapat bahwa kejahatan merupakan the olders social problems karena sampai tahun 1970 telah dibahas lebih dari 80 (delapan puluh) pertemuan atau konferensi internasional.2

Sedangkan mengenai aspek prosesual dari perilaku menyimpang menurut Edwin Lemert bahwa karir pelaku penyimpang seringkali mengalami perubahan sesuai dengan perjalanan waktu dan tindakan pelaku penyimpang tersebut seringkali merupakan langkah ambil resiko yang bersifat coba-coba untuk pola perilaku yang dilarang. Tindakan ini menjadi sasaran reaksi sosial yang pada gilirannya dapat mempengaruhi pengalaman karir pelaku selanjutnya.3

Soerjono Soekanto menyatakan bahwa selama hidupnya manusia memiliki hasrat untuk hidup teratur, namun terkadang seseorang pernah melanggar hukum. Pelanggaran itu bisa disengaja ataupun tidak. Pelanggaran berat yang disengaja biasanya terjadi karena sebab-sebab tertentu.4

Sebagai suatu kenyataan sosial bahwa yang berkaitan dengan masalah sosial ekonomi, kejahatan itu sendiri tidak hanya dilakukan oleh orang dewasa semata, namun juga telah dilakukan oleh anak-anak. Pemerintah tidak melihat anak-anak yang terlantar kelak akan menjadi penjahat atau pengangguran, makanya tenang-tenang saja karena belum nampak kejahatannya. Dibat ruamh penjara untuk mereka, padahal apabila hati-hati saja, sebenarnya dapar dicegah sebelumnya. Mahkamah dan Menteri Kehakiman goyang kaki saja sebelum menjadi penjahat dewasa; padahal mereka itu dapat dipengaruhi secara bijaksana dan mungkin besar jasanya bagi masyarakat.5

Kecenderungan meningkatnya kualitas maupun kuantitas pelanggaran baik terhadap ketertiban umum maupun pelanggaran terhadap ketentuan hukum yang dilakukan oleh pelaku-pelaku usia muda, atau dengan perkataan lain meningkatnya kenakalan remaja yang mengarah kepada tindakan kriminal mendorong kita untuk lebih banyak memberi perhatian akan penanggulangan serta penanganannya, khususnya di bidang hukum pidana (anak), beserta hukum acaranya. Hal ini erat hubungannya dengan perlakuan khusus terhadap pelaku tindak pidana anak-anak.

Permasalahan pembinaan generasi muda merupakan bagian integral dari masalah pembangunan. Oleh sebab itu sebagian masalah pembinaan yaitu pembinaan yustisial terhadap generasi muda khususnya anak-anak perlu mendapat perhatian dan pembahasan tersendiri.

Dalam proses perkembangan tidak jarang timbul peristiwa yang menyebabkan anak dalam keadaan terlantar maupun terjadinya perbuatan yang dilakukan oleh anak-anak dibawah umur berupa ancaman atau pelanggaran terhadap ketertiban umum dalam masyarakat, bahkan terdapat kecenderungan adanya penyalahgunaan anak bagi kepentingan tertentu yang justru dilakukan oleh para orangtua atau pembinanya.

Oleh sebab itu anak nakal dan anak terlantar perlu diselesaikan melalui suatu badan yaitu lembaga peradilan khusus agar terdapat jaminan bahwa penyelesaian tersebut dilakukan benar-benar untuk kesejahteraan anak yang bersangkutan dan kepentingan masyarakat tanpa mengabaikan terlaksananya hukum. Oleh karenanya sudah menjadi kewajiban pemerintah dalam memperhatikan kemajuan serta kesempurnaannya.

Perhatian terhadap anak telah lama ada sejalan dengan peradaban manusia itu sendiri yang semakin berkembang. Oleh karena itu anak memerlukan pembinaan, bimbingan khusus agar dapat berkembang secara fisik, mental dan spiritualnya.

Perumusan tentang hukum anak di Indonesia telah ada sejak tahun 1925 ditandai dengan lahirnya Stb. 1925 No. 647 jo. Ordonantie 1949 No. 9 yang mengatur pembatasan kerja anak dan wanita. Pada tahun 1926 terbit Stb. 1926 No. 87 yang mengatur

Surat Edaran Kejaksaan Agung pada Mahkamah Agung No. P 1/20. tanggal 30 Maret 1951 menjelaskan tentang penjahat anak-anak adalah mereka yang menurut hukum pidana melakukan perbuatan yang dapat dihukum, belum berusia 16 (enam belas) tahun.6 Jaksa Agung dalam hal ini menekankan bahwa menghadapkan penjahat anak-anak ke muka pengadilan hanya sebagai langkah terakhir atau ultimum remedium. Sedangkan bagi penjahat anak-anak yang dimungkinkan penyelesaian lain maka perlu dipertimbangkan manfaatnya.

Sistem perundang-undangan di Indonesia belum terdapat adanya unifikasi tentang hukum anak, akan tetapi telah terkodifikasi dalam beberapa peraturan perundang-undangan yang berlaku saat ini seperti pada hukum perburuhan, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak, Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan, Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.

Oleh karena itu perlu dimaklumi sulitnya memahami hukum anak itu sendiri sehingga menurut Darwan Prinst, hukum anak adalah sekumpulan peraturan hukum yang mengatur tentang anak. Adapun hal-hal yang diatur dalam hukum anak itu meliputi sidang pengadilan anak, anak sebagai pelaku tindak pidana, anak sebagai korban tindak pidana, kesejahteraan anak, hak-hak anak, pengangkatan anak, anak terlantar, kedudukan anak, perwalian, anak nakal, dan lain sebagainya.7


Masalah tindak pidana anak sebenarnya telah di atur dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak yang menegaskan bahwa anak yang dapat di ajukan ke peradilan perkara pidana yaitu berumur 8 (delapan) tahun sampai dengan 18 (delapan belas) tahun, namun belum menikah/kawin. Pandangan hukum melihat kenakalan anak selalu bisa dan dapat di ajukan ke dalam peradilan anak. Salah satu ketentuan dalam proses sistem peradilan anak (child criminal justice system) harus di laksanakan dengan adanya petugas BAPAS (Balai Pemasyarakatan) sebagai pembuat LITMAS (penelitian masyarakat) anak, yang akan menjadi bahan pertimbangan dalam proses child criminal justice system.

Menurut pandangan ilmu viktimologi, anak yang masuk dalam perkara sistem peradilan pidana di saat pertama kali di tangkap oleh polisi, berarti anak yang awalnya mungkin menjadi tersangka berubah menjadi korban dalam proses peradilan pidana. Hal ini di sebabkan adanya proses viktimisasi terhadap anak, apalagi sampai masuk dalam penjara yang notabene merupakan tempat penjahat. Labelisasi atau cap sebagai penjahat terhadap anak akan membekas selama hidupnya.

Pandangan kriminologis dalam teorinya labelling theory menyatakan bahwa ketika seseorang sudah di label akan sesuatu akan memiliki kecenderungan akan menjalankan apa yang telh di labelkan orang atau masyarakat kepadanya. Demikian pula halnya label sebagai penjahat ketika anak di masukkan ke dalam penjara. Oleh karena itu di perlukan adanya pencermatan terhadap proses peradikan pidana yang benar-benar terpadu (integrated) dengan memperhatikan perkembangan psikologis anak, namun juga tidak mengenyampingkan kepentingan secara umum (daad daderstrafrecht).

Untuk dapat melaksanakan pembinaan dan memberikan perlindungan terhadap anak diperlukan dukungan baik menyangkut kelembagaan maupun perangkat hukum yang lebih memadai. Prakteknya di hukum kebiasaan internasional (international customary law), menetapkan usia pertanggungjawaban pidana minimal diatas 12 (dua belas) tahun, meskipun di tiap negara berbeda tentang usia minimal.

Tabel 1:

Perbandingan Batas Usia Minimal Tanggung Jawab Kriminal

Nama Negara

Usia Minimal Tanggung Jawab Kriminal

Austria

14

Belgia

18

Denmark

15

Inggris

10

Finlandia

15

Perancis

13

Jerman

14

Yunani

12

Irlandia

7

Italia

14

Luxemburg

18

Belanda

12

Irlandia Utara

8

Portugal

16

Skotlandia

8

Spanyol

16

Swedia

15

Sumber Data Skunder: Badan Pembinaan Hukum Nasional

Berdasarkan tabel diatas diketahui bahwa rata-rata negara tersebut menetapkan usia pertanggungjawaban pidana minimal diatas 12 (dua belas) tahun.

Sedangkan di Indonesia tidak terdapat kesamaan batas usia minimal, yang dapat dilihat dengan adanya pluralisme mengenai kriteria anak, yaitu:

  1. Undang-Undang Pengadilan Anak.

Pasal 1 ayat (2) merumuskan bahwa anak adalah orang dalam perkara anak nakal yang telah mencapai umur 8 (delapan) tahun, tetapi belum mencapai umur 18 (delapan belas) tahun dan belum pernah menikah. Jadi kriteria anak dibatasi dengan umur antara 8 (delapan) tahun sampai dengan berumur 18 (delapan belas) tahun. Kriteria lainnya bahwa si anak belum pernah menikah. Maksudnya tidak sedang terikat dalam perkawinan ataupun perkawinannya putus karena perceraian maka si anak dianggap sudah dewasa meskipun umurnya belum genap berusia 18 (delapan belas) tahun.

  1. Anak dalam Hukum Perburuhan.

Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1948 tentang Pokok-Pokok Perburuhan mendefinisikan anak adalah orang laki-laki atau perempuan berumur 14 (empat belas) tahun ke bawah.

  1. Anak menurut KUHP.

Pasal 45 KUHP mendefiisikan anak yang belum dewasa apabila belum berumur 16 (enam belas) tahun. Oleh karena itu apabila ia tersangkut dalam perkara pidana, hakim bisa memerintahkan supaya si tersalah itu dikembalikan kepada orangtuanya, walinya atau pemeliharanya dengan tidak dikenakan suatu hukuman atau memerintahkannya supaya diserahkan kepada pemerintah dengan tidak dikenakan sesuatu hukuman.

  1. Anak menurut Hukum Perdata.

Pasal 330 KUH Perdata mengatakan bahwa orang belum dewasa adalah mereka yang belum mencapai umur 21 (dua pulus satu) tahun dan tidak lebih dahulu telah kawin.

  1. Anak menurut Undang-Undang Perkawinan.

Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Undang-Undang Pokok Perkawinan menyebutkan bahwa seorang pria hanya diizinkan kawin apabila telah mencapai usia 19 (sembilan belas) tahun dan pihak wanita telah mencapai usia 16 (enam belas) tahun. Penyimpangan atas hal tersebut hanya dapat dimintakan dispensasi kepada Pengadilan Negeri.8


Perlindungan hukum terhadap anak dalam proses peradilan pidana yaitu terhadap anak sebagai pelaku kejahatan maksudnya adalah anak sebagai pelaku kejahatan bukanlah mendapatkan hak kekebalan hukum atau tidak tersentuh hukum, akan tetapi anak yang melakukan tindak kejahatan atau tindak kriminal berlaku ketentuan khusus dengan berpedoman kepada Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Peradilan Anak, maupun pemidanaannya dijatuhkan kepada anak nakal paling lama ½ (setengah) dari maksimum ancaman penjara bagi orang dewasa sehingga kekhususan penanganan peradilan pidana anak dapat mereduksi ketentuan dalam KUHP maupun KUHAP dengan berdasarkan asas lex spesialis derogat lex generalis.

Ada 2 (dua) kategori perilaku anak yang membuat ia berhadapan dengan hukum, yaitu:9

  1. Status Offender adalah perilaku kenakalan anak yang apabila dilakukan oleh orang dewasa tidak dianggap sebagai kejahatan, seperti tidak menurut, membolos sekolah atau kabur dari rumah;

  2. Juvenile Delinquency adalah perilaku kenakalan anak yang apabila dilakukan oleh orang dewasa dianggap kejahatan atau pelanggaran hukum.


Sehubungan dengan hal ini, Muladi yang menyatakan bahwa criminal justice system memiliki tujuan untuk: resosialisasi dan rehabilitasi pelaku tindak pidana; pemberantasan kejahatan; dan untuk mencapai kesejahteraan sosial.10 Berangkat dari pemikiran ini, maka tujuan sistem peradilan pidana anak terpadu lebih ditekankan kepada upaya pertama (resosialiasi dan rehabilitasi) dan ketiga (kesejahteraan sosial). Kemudian fungsi yang seharusnya dijalankan oleh sistem peradilan pidana terpadu adalah: workers; indigenous peoples, children; dan women.

Pelaksanaan sistem peradilan anak sebagaimana telah dipaparkan diatas ditegakkannya demi mencapai kesejahteraan anak dengan berdasar prinsip kepentingan terbaik bagi anak. Dengan kata lain, sistem peradilan pidana anak berdasarkan kepada perlindungan anak dan pemenuhan hak-hak anak (protection child and fullfilment child rights based approuch).

Deklarasi hak-hak anak pada tahun 1959 dapat menjadi acuan dalam memaknai prinsip kepentingan terbaik untuk anak. Salahsatu prinsipnya menyatakan bahwa anak-anak seharusnya menikmati perlindungan khusus dan dierikan kesempatan dan fasilitas melalui upaya hukum maupun upaya lain sehingga memungkinkan anak terbangun fisik, mental, moral, spiritual, dan sosial dalam mewujudkan kebebasan dan kehormatan anak.

Pendekatan kesejahteraan dapat dijadikan sebagai dasar filosofi penanganan terhadap pelanggaran hukum usia anak, yaitu:11

  1. Anak-anak dianggap belum mengerti benar kesalahan yang telah diperbuat, sehingga sudah sepantasnya diberikan pengurangan hukuman, serta pembedaan pemberian hukuman bagi anak-anak dengan orang dewasa.

  2. Bila dibandingkan dengan orang dewasa, anak-anak diyakini lebih mudah dibina dan disadarkan.

Dengan adanya pendekatan kesejahteraan, maka peranan pembimbing kemasyarakatan sangat efektif dalam memberikan anak-anak motivasi dalam menjalani hukuman. Hal ini sesuai dengan tugasnya pembimbing kemasyarakatan dalam Pasal 34 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Peradilan Anak adalah untuk memperlancar tugas penyidik, penuntut umum, dan hakim dalam perkara anak nakal baik di dalam maupun di luar sidang anak dengan membuat laporan hasil penelitian kemasyarakatan.12

Pemasyarakatan yang dimaksud adalah bagian dari tata peradilan pidana dari segi pelayanan tahanan, pembinaan narapidana, anak negara, dan bimbingan klien pemasyarakatan yang dilaksanakan secara terpadu dengan tujuan agar mereka setelah menjalani pidananya dapat kembali menjadi warga masyarakat yang baik.

1 JE. Sahetapy, Victimologi Sebuah Bunga Rampai, (Jakarta : Sinar Harapan, 1987), hlm. 35.

2 Muladi, Teori-Teori dan Kebijakan Pidana, (Bandung : Alumni, 1992), hlm. 86.

3 Mulyana W. Kusumah, Analisa Kriminologi Tentang Kejahatan Kekerasan, (Jakarta : Ghalia Indonesia, 1982), hlm. 8

4 Soerjono Soekanto, Suatu Tinjauan Sosiologi Hukum Terhadap Masalah Sosial, (Bandung : Citra Aditya Bakti, 1989), hlm. 7.

5 Simanjuntak, Latar Belakang Kenakalan Remaja (Etiologi Juvenile Delinquency) , (Bandung : Alumni, 1979), hlm. 97.

6 Lihat Pasal 45 KUHP

7 Darwin Prinst, Hukum Anak Indonesia, (Bandung : Citra Aditya Bakti, 1997), hlm. 1.

8 Ibid., hlm. 3

9 Purnianti, Mamik Sri Supatmi, dan Ni Made Martini Tinduk, mengutip Harry E. Allen and Cliffford E. Simmonsen, dalam Correction in America

10 Mappi FHUI, Lembaga Pengawasan Sistem Peradilan Pidana Terpadu, (Jakarta : Universitas Indonesia, 2003).

11 Purnianti menyitir pendapat Stewart Asquish, Children and Young People in Conflict with the Law, hlm. 72 .

12 Lihat Pasal 34 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Peradilan Anak

Perceraian

Perceraian adalah merupakan suatu peristiwa hukum yang mempunyai rentetan peristiwa hukum yang tingkat kerumitannya terkadang tidak kalah dengan permasalahan perceraian itu sendiri. Bahkan tidak jarang rentetan permasalahan tersebut lah yang membuat proses perceraian menjadi semakin berlarut. Makanya dalam praktek pengadilan saat ini, proses pemeriksaan perceraian itu dipisahkan dengan proses pemeriksaan perkara yang menjadi rentetan perceraian itu.


Beberapa permasalahan rentetan perceraian yang relevan dan kami anggap penting untuk dibahas dalam tulisan ini adalah sebagai berikut :

a. Harta Bersama,

b. Hak Pengasuhan dan Perwalian Anak


A. HARTA BERSAMA

Adanya apa yang disebut harta bersama dalam suatu rumah tangga, pada mulanya didasarkan atas ‘urf atau adat istiadat dalam sebuah negeri yang tidak memisahkan antara hak milik suami dan istri. Harta bersama tidak ditemukan dalam masyarakat Islam yang adat istiadatnya memisahkan antara harta suami dan harta istri. Makanya dalam literr fikih tidak akan dijumpai pembahasan masalah harta bersama suami istri dalam perkawinan karena umumnya pengarang dari kitab-kitab fikih adalah orang Arab yang tidak mengenal pencampuran harta.


Indonesia adalah salah satu negara yang masyarakat muslimnya memiliki kebiasan melakukan percampuran harta antara suami dan istri. Dan hal tersebut menjadi lebih kuat karena telah dituangkan dalam Pasal 35 UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.


Menurut Pasal 35 UU No. 1 Tahun 1974, dikenal dua jenis harta dalam perkawinan :


a. Harta yang diperoleh selama perkawinan disebut harta bersama;

b. Harta bawaan masing-masing suami istri dan harta yang diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau warisan yang disebut dengan harta pribadi yang sepenuhnya berada dibawah penguasaan masing-masing sepanjang para pihak tidak menentukan lain.


Terbentuknya Harta Bersama

Tentang ini Pasal 35 ayat (1) Undang-undang No. 1 Tahun 1974 sudah menegaskan : “harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama”. Ini berarti terbentuknya harta bersama dalam perkawinan ialah sejak saat tanggal terjadinya perkawinan sampai ikatan perkawinan bubar. Kalau begitu harta apa saja yang diperoleh terhitung sejak saat dilangsungkan akad nikah, sampai saat perkawinan pecah baik oleh karena salah satu pihak meninggal atau oleh karena perceraian, seluruh harta-harta tersebut dengan sendirinya menurut hukum menjadi harta bersama. Penegasan yang seperti itu antara lain dapat dilihat dalam Putusan Mahkamah Agung tanggal 9 November 1976 No. 1448.K/Sip/1974. dalam putusan ini ditegaskan “Sejak berlakunya UU No. 1 Tahun 1974, harta benda yang diperoleh selama peerkawinan menjadi harta bersama, sehingga pada saat terjadinya perceraian harta bersama tersebut dibagi sama rata antara bekas suami istri”.


Dengan demikian patokan untuk menetukan apakah suatu barang atau harta termasuk atau tidak ke dalam harta bersama suami istri, ditentukan oleh faktor selama perkawinan antara suami istri berlangsung, dengan sendirinya harta tersebut menjadi harta bersama. Kecuali jika harta yang diperoleh berupa “warisan” atau “hibah” oleh salah satu pihak, harta tersebut tidak termasuk harta bersama tapi jatuh menjadi harta pribadi si penerima. Misalnya, suami atau istri mendapat harta warisan dari oranng tua. Sekalipun harta tersebut diperoleh selama perkawinan berlangsung, oleh karena harta yang diperoleh berbentuk warisan, harta itu akan menjadi milik pribadi penerima warisan. Begitu juga harta yang diperoleh sebagai hibah. Jika penghibahan ditujukan dan diperuntukkan secara pribadi kepada suami atau istri, harta tersebut tidak jatuh menjadi harta bersama, tapi jatuh menjadi harta pribadi penerima hibah.


Ruang Lingkup Harta Bersama

Yang dimaksud dengan ruang lingkup harta bersama, mencoba memberi penjelasan bagaimana cara menentukan, apakah suatu harta termasuk atau tidak sebagai objek harta bersama antara suami isteri dalam suatu perkawinan. memang benar baik Pasal 35 Undang-undang No. 1 Tahun 1974 maupun yurisprudensi telah menentukan segala harta yang diperoleh selama perkawinan dengan sendirinya menurut hukum menjadi harta bersama. Akan tetapi tentu tidak sesederhana itu penerapannya dalam konkreto.

1) Harta Yang Dibeli Selama Perkawinan

Patokan pertama untuk menentukan apakah suatu barang termasuk objek harta bersama atau tidak, ditentukan pada saat pembelian. Setiap barang yang dibeli selama perkawinan, harta tersebut menjadi objek harta bersama suami isteri tanpa mempersoalkan :

- Apakah isteri atau suami yang membeli;

- Apakah harta terdaftar atas nama isteri atau suami;

- Di mana harta itu terletak.

Lain halnya jika uang pembelian barang berasal dari harta pribadi suami atau isteri. Jika uang pembeli barang secara murni berasal dari harta pribadi, barang yang dibeli tidak termasuk objek harta bersama. Harta yang seperti itu tetap menjadi milik pribadi suami atau isteri.


2) Harta yang dibeli dan dibangun sesudah perceraian yang dibiayai dari harta bersama

Patokan berikut untuk menentukan sesuatu barang termasuk atau tidak objek harta bersama, ditentukan oleh asasl-usul uang biaya pembelian dan pembangunan barang yang bersangkutan, meskipun bbarang itu dibeli atau dibangun sesudah terjadi perceraian. Misalnya suami isteri selama perkawinan berlangsung mempunyai harta dan uang simpanan. Kemudian terjadi perceraian. Semua harta dan uang simpanan dikuasasi suami, belum dilakukan pembagian. Dari uang simpanan tersebut suami membeli atau membangun rumah. Dalam kasus yang seperti ini, rumah yang dibeli atau dibangun suami sesudah terjadi perceraian, namun jika uang pembeli atau biaya pembangunan berasal dari harta bersama, barang hasil pembelian atau pembangunan yang demikian tetap termasuk ke dalam objek harta bersama.

3) Harta yang dapat dibuktikan diperolehannya selama perkawinan

Patokan ini sejalan dengan kaidah hukum harta bersama. Semua harta yang diperoleh selama perkawinan dengan sendirinya menjadi harta bersama. Namun kita sadar, dalam suatu sengketa perkara harta bersama, pihak yang digugat selalu mengajukan bantahan bahwa harta yang digugat bukan harta bersama, tetapi milik pribadi. Hak kepemilikan tergugat bisa didalilkan berdasar atas hak pembelian, warisan, atau hibah. Apabila tergugat mengajukan dalih yang seperti itu, patokan untuk menentukan apakah sesuatu barang termasuk atau tidak objek harta bersama, ditentukan oleh kemampuan dan keberhasilan penggugat membuktikan bahwa harta-harta yang digugat benar-benar diperoleh selama perkawinan berlangsung dan uang pembeliannya tidak berasal dari uang pribadi.

4) Penghasilan harta bersama dan harta bawaan

Penghasilan yang tumbuh dari harta bersama, sudah logis akan jatuh menambah jumlah harta bersama. Tumbuhnya pun berasal dari harta bersama, sudah semestinya hasil tersebut menjadi harta bersama. Akan tetapi, bukan hanya yang tumbuh dari harta bersama yang jatuh menjadi objek harta bersama di antara suami isteri. Juga termasuk penghasilan yang tumbuh dari harta pribadi suami isteri, akan jatuh menjadi objek harta bersama.


5) Segala penghasilan pribadi suami isteri

Menurut putusan Mahkamah Agung tanggal 11 Maret 1971 No. 454 K/Sip/1970, “segala penghasilan pribadi suami isteri baik dari keuntungan yang diperoleh dari perdagangan masing-masing ataupun hasil perolehan masing-masing pribadi sebagai pegawai jatuh menjadi harta bersama suami isteri”.

Jadi sepanjang mengenai penghasilan pribadi suami isteri tidak terjadi pemisahan. Malahan dengan sendirinya terjadi penggabungan kedalam harta bersama. Penggabungan penghasilan pribadi dengan sendirnya terjadi menurut hukum, sepanjang suami isteri tidak menentukan lain dalam perjanjian perkawinan.

B. HAK PENGASUHAN DAN HAK PERWALIAN ANAK

HAK PENGASUHAN ANAK

Hadanah menurut bahasa berarti meletakkan sesuatu dekat dengan tulang rusuk seperti mengendong, atau meletakkan sesuatu dalam pangkuan. Seorang ibu waktu menyusukan, meletakkan anak dipangkuannya dan melindunginya dari segala yang menyakiti. Menurut istilah ialah tugas menjaga dan mengasuh atau mendidik bayi atau anak kecil sejak ia lahir sampai mampu menjaga dan mengatur dirinya sendiri.

Kewajiban melakukan hadanah terletak dipundak kedua orang tua. Prinsip tersebut berjalan lancar bilamana kedua orang tua tetap dalam hubungan suami isteri. Yang menjadi persoalan adalah apabila kedua orang tua si anak telah berpisah cerai, maka pihak manakah yang lebih berhak terhadap anak itu. Dalam kaitannya dengan masalah ini ada dua periode bagi anak yang perlu dikemukakan:

1. Periode Sebelum Mumayiz

Periode ini adalah dari waktu lahir sampai menjelang umur tujuh atau delapan tahun. Pada masa tersebut pada galibnya seorang anak belum lagi mumayiz atau belum bisa membedakan antara yang bermanfaat dan yang berbahaya bagi dirinya sendiri. Pada periode ini, setelah melengkapi syarat-syarat pengasuh, kesimpulan ulama menunjukkan bahwa pihak ibu lebih berhak terhadap anak untuk selanjutnya melakukan hadanah. Kesimpulan ini didasarkan atas :

a. Sabda Rasulullah yang maksudnya : “Barang siapa memisahkan antara seorang ibu dan anaknya, niscaya Allah akan memisahkannya dengan yang dikasihinya da hari Kemudian.” (HR. Abu Daud)

b. Hadis Abdullah bin Umar bin al-Ash menceritakan, seorang wanita mengadu kepada Rasulullah tentang anak kecilnya, dimana mantan suaminya bermaksud membawa anak mereka bersamanya setelah menceraikannya. Lalu Rasulullah SAW bersabda : “Kamu (wanita itu) lebih berhak terhadap anak itu selama kamu belum menikah dengan lelaki lain”. (HR. Abu Daud Ahamad).

c. Sesuai dengan isi hadis-hadis tersebut di atas adalah keputusan Khalifah Abu Bakar dalam kasus sengketa antara Umar bin Khattab dab bekas isterinya. Umar bin Khattab dengan salah seorang isterinya mendapat seorang anak yang diberi nama ‘Ashima, kemudian ia bercerai dari isterinya. Pada suatu hari Umar peergi ke Quba, ia mendapati anaknya itu sedang bermain. Ketika ia memegang anaknya dengan maksud membawanya pergi, terjadilah pertengkaran dengan pihak ibu. Kasus ini segera disampaikan kepada Khalifah Abu Bakar dan ia memutuskan menetapkan bahwa anak itu ikut ibunya (Riwayat Ibnu Abi Syaibah).

d. Ibu lebih mengerti dengan kebutuhan anak dalam masa tersebut dan lebih bisa memperlihatkan kasih sayangnya. Demikian pula anak dalam masa itu sedang amat membutuhkan untuk hidup didekat ibunya.

Berdasarkan alasan-alasan di atas, apabila terjadi perceraian, demi kepentingan anak dalam Umar tersebut, maka itu lebih berhak untuk mengasuhnya, bilamana peersyaratan-persyaratannya dapat dilengkapi.

2. Periode Mumayiz

Masa mumayiz adalah dari umur tujuh tahun sampai menjelang balig berakal. Pada masa ini seorang anak secara sederhana telah mempu membedakan antara yang berbahaya dan yang bermanfaat bagi dirinya. Oleh sebab itu, ia sudah dianggap dapat menjatuhkan pilihannya sendiri apakah ia ikut ibu atau ikut ayahnya. Dengan demikian ia diberi hak pilih menentukan sikapnya. Dasar hukumnya adalah hadis Abu Hurairah yang menceritakan seorang wanita mengadukan tingkah bekas suaminya yang hendak mengambil anak mereka berdua, yang telah mulai mampu menolong mengambil air dari sumur. Lalu Rasulullah menghadirkan kedua pihak yang bersengketa dan mengadili : “Hai anak, ini ibumu dan ini ayahmu. Pilihlah yang mana yang engkau sukai untuk tinggal bersamanya. Lalu anak itu memilih ibunya”.

Syarat-syarat Bagi Yang Melakukan Hadanah

Beberapa syarat bagi yang melakukan hadanah, sebagai berikut :

a. Sudah balig berakal;

b. Mempunyai kemampuan dan kemauan untuk memelihara dan mendidik anak yang diasuh dan tidak terikat dengan suatu pekerjaan yang bisa mengakibatkan tugas hadanah menjadi terlantar;

c. Seseorang yang melakukan hadanah hendaklah dapat dipercaya memegang amanah, sehingga dengan itu lebih menjamin pemeliharaan anak;

d. Jika yang akan melakukan hadanah itu ibu kandung dari anak yang akan diasuh, disyaratkan tidak kawin dengan lelaki lain kecuali laki-laki lain tersebut adalah kerabat dekat si anak atau rela menerima kenyataan;

e. Beragama Islam;

Hadanah Menurut Kompilasi Hukum Islam

Dalam Kompilasi Hukum Islam yang merupakan bagian upaya dalam rangka mencari pola fikih yang bersifat khas Indonesia atau fikih yang bersifat kontekstual, masalah hadanah diatur dalam Pasal 105 dan Pasal 156 :

Pasal 105

Dalam hal terjadinya perceraian :

a. Pemeliharaan anak yang belum mumayiz atau belum berumur 12 tahun adalah hak ibunya;

b. Pemeliharaan anak yang sudah mumayiz diserahkan kepada anak untuk memilih di antara ayah atau ibunya sebagai pemegang hak pemeliharaannya;

c. Biaya pemeliharaan ditanggung ayahnya.

Pasal 156

Akibat putusnya perkawinan karena perceraian ialah :

a. Anak yang belum mumayiz berhak mendapatkan hadanah dari ibunya, kecuali bial ibunya telah meninggal dunia, maka kedudukannya digantikan oleh :

1. Wanita-wanita dalam garis lurus dari ibu;

2. ayah;

3. wanita-wanita dalam garis lurus ke atas dari ayah;

4. saudara perempuan dari anak yang bersangkutan;

5. wanita-wanita kerabat sedarah menurut garis samping dari ibu;

6. wanita-wanita kerabat sedarah menurut garis samping dari ayah.

b. Anak yang sudah mumayiz berhak memilih untuk mendapatkan hadanah dari ayah atau ibunya…;

Jadi menurut Kompilasi Hukum Islam, anak yang belum mumayiz atau belum berumur 12 tahun mendapat hadanah dari ibunya dan setelah mumayiz, anak dapat memilih untuk mendapatkan hadanah dari ayah atau ibunya.

HAK PERWALIAN ANAK

Istilah wali disamping dipakai untuk orang yang menjadi wali nikah, juga dipakai untuk orang yang melakukan pemeliharaan atas diri anak-anak semenjak berakhir periode hadanah sampai ia berakal balig, atau sampai menikah bagi anak perempuan. Jadi tugas wali adalah untuk menyambung dan menyempurnakan pendidikan anak yang telah dimulai pada waktu hadanah, serta bertanggungjawab atas kelangsungan hidup dan pemeliharaan anak sampai ia berakal balig, dan mampu hidup mandiri. Disamping itu, istilah wali juga dipakai untuk seseorang yang berwenang memelihara harta anak kecil serta mengatur perbelanjaannya dari hartanya itu.

Menurut Imam Syafi’i yang akan menjadi wali bagi harta anak-anak yang masih kecil adalah pertama ayahnya sendiri, kemudian ayah dari ayahnya (kakek). Setelah ayah dari kakek tidak ada atau berhalangan, harta dipelihara oleh washiy, yaitu orang yang ditunjuk oleh ayahnya sebagai kepercayaannya dalam mengurus anak dan hartanya bila ia berhalangan atau wafat, dan setelah itu hak pemeliharaan harta dipegang oleh washiy kakeknya. Setelah orang-orang tersebut tidak ada, maka hakim perlu menunjuk siapa yang akan bertindak sebagai washiy untuk memegang dan memelihara harta si anak. Berbeda dengan itu, mazhab Hanafi menetapkan bahwa hak wali terhadap harta anak pertama terletak pada ayah kandungnya, kemudian pada washiynya. Bilaman orang-orang tersebut berhalangan, hak sebagai washiy dipegang oleh orang yang ditunjuk oleh penguasa atau hakim.

Referensi Hukum