Pembangunan nasional yang merupakan bagian proses modernisasi membawa dampak positif maupun negatif. Salahsatu dampak negatif dari pesatnya perkembangan ekonomi, ilmu pengetahuan dan teknologi semakin meningkatkan kualitas serta kuantitas kejahatan. Disamping itu kemerosotan ekonomi juga sebagai faktor pemicu dominan terjadinya suatu kejahatan.
Menurut beberapa ahli, masalah kejahatan bukanlah barang baru meskipun tempat dan waktunya berlainan, akantetapi modusnya dinilai sama karena kejahatan adalah suatu fenomena sosial yang terjadi pada setiap waktu dan tempat, kehadirannya di bumi dapat dikatakan setua dengan umur manusia.1
Benedict Alpert berpendapat bahwa kejahatan merupakan the olders social problems karena sampai tahun 1970 telah dibahas lebih dari 80 (delapan puluh) pertemuan atau konferensi internasional.2
Sedangkan mengenai aspek prosesual dari perilaku menyimpang menurut Edwin Lemert bahwa karir pelaku penyimpang seringkali mengalami perubahan sesuai dengan perjalanan waktu dan tindakan pelaku penyimpang tersebut seringkali merupakan langkah ambil resiko yang bersifat coba-coba untuk pola perilaku yang dilarang. Tindakan ini menjadi sasaran reaksi sosial yang pada gilirannya dapat mempengaruhi pengalaman karir pelaku selanjutnya.3
Soerjono Soekanto menyatakan bahwa selama hidupnya manusia memiliki hasrat untuk hidup teratur, namun terkadang seseorang pernah melanggar hukum. Pelanggaran itu bisa disengaja ataupun tidak. Pelanggaran berat yang disengaja biasanya terjadi karena sebab-sebab tertentu.4
Sebagai suatu kenyataan sosial bahwa yang berkaitan dengan masalah sosial ekonomi, kejahatan itu sendiri tidak hanya dilakukan oleh orang dewasa semata, namun juga telah dilakukan oleh anak-anak. Pemerintah tidak melihat anak-anak yang terlantar kelak akan menjadi penjahat atau pengangguran, makanya tenang-tenang saja karena belum nampak kejahatannya. Dibat ruamh penjara untuk mereka, padahal apabila hati-hati saja, sebenarnya dapar dicegah sebelumnya. Mahkamah dan Menteri Kehakiman goyang kaki saja sebelum menjadi penjahat dewasa; padahal mereka itu dapat dipengaruhi secara bijaksana dan mungkin besar jasanya bagi masyarakat.5
Kecenderungan meningkatnya kualitas maupun kuantitas pelanggaran baik terhadap ketertiban umum maupun pelanggaran terhadap ketentuan hukum yang dilakukan oleh pelaku-pelaku usia muda, atau dengan perkataan lain meningkatnya kenakalan remaja yang mengarah kepada tindakan kriminal mendorong kita untuk lebih banyak memberi perhatian akan penanggulangan serta penanganannya, khususnya di bidang hukum pidana (anak), beserta hukum acaranya. Hal ini erat hubungannya dengan perlakuan khusus terhadap pelaku tindak pidana anak-anak.
Permasalahan pembinaan generasi muda merupakan bagian integral dari masalah pembangunan. Oleh sebab itu sebagian masalah pembinaan yaitu pembinaan yustisial terhadap generasi muda khususnya anak-anak perlu mendapat perhatian dan pembahasan tersendiri.
Dalam proses perkembangan tidak jarang timbul peristiwa yang menyebabkan anak dalam keadaan terlantar maupun terjadinya perbuatan yang dilakukan oleh anak-anak dibawah umur berupa ancaman atau pelanggaran terhadap ketertiban umum dalam masyarakat, bahkan terdapat kecenderungan adanya penyalahgunaan anak bagi kepentingan tertentu yang justru dilakukan oleh para orangtua atau pembinanya.
Oleh sebab itu anak nakal dan anak terlantar perlu diselesaikan melalui suatu badan yaitu lembaga peradilan khusus agar terdapat jaminan bahwa penyelesaian tersebut dilakukan benar-benar untuk kesejahteraan anak yang bersangkutan dan kepentingan masyarakat tanpa mengabaikan terlaksananya hukum. Oleh karenanya sudah menjadi kewajiban pemerintah dalam memperhatikan kemajuan serta kesempurnaannya.
Perhatian terhadap anak telah lama ada sejalan dengan peradaban manusia itu sendiri yang semakin berkembang. Oleh karena itu anak memerlukan pembinaan, bimbingan khusus agar dapat berkembang secara fisik, mental dan spiritualnya.
Perumusan tentang hukum anak di Indonesia telah ada sejak tahun 1925 ditandai dengan lahirnya Stb. 1925 No. 647 jo. Ordonantie 1949 No. 9 yang mengatur pembatasan kerja anak dan wanita. Pada tahun 1926 terbit Stb. 1926 No. 87 yang mengatur
Surat Edaran Kejaksaan Agung pada Mahkamah Agung No. P 1/20. tanggal 30 Maret 1951 menjelaskan tentang penjahat anak-anak adalah mereka yang menurut hukum pidana melakukan perbuatan yang dapat dihukum, belum berusia 16 (enam belas) tahun.6 Jaksa Agung dalam hal ini menekankan bahwa menghadapkan penjahat anak-anak ke muka pengadilan hanya sebagai langkah terakhir atau ultimum remedium. Sedangkan bagi penjahat anak-anak yang dimungkinkan penyelesaian lain maka perlu dipertimbangkan manfaatnya.
Sistem perundang-undangan di Indonesia belum terdapat adanya unifikasi tentang hukum anak, akan tetapi telah terkodifikasi dalam beberapa peraturan perundang-undangan yang berlaku saat ini seperti pada hukum perburuhan, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak, Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan, Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.
Oleh karena itu perlu dimaklumi sulitnya memahami hukum anak itu sendiri sehingga menurut Darwan Prinst, hukum anak adalah sekumpulan peraturan hukum yang mengatur tentang anak. Adapun hal-hal yang diatur dalam hukum anak itu meliputi sidang pengadilan anak, anak sebagai pelaku tindak pidana, anak sebagai korban tindak pidana, kesejahteraan anak, hak-hak anak, pengangkatan anak, anak terlantar, kedudukan anak, perwalian, anak nakal, dan lain sebagainya.7
Masalah tindak pidana anak sebenarnya telah di atur dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak yang menegaskan bahwa anak yang dapat di ajukan ke peradilan perkara pidana yaitu berumur 8 (delapan) tahun sampai dengan 18 (delapan belas) tahun, namun belum menikah/kawin. Pandangan hukum melihat kenakalan anak selalu bisa dan dapat di ajukan ke dalam peradilan anak. Salah satu ketentuan dalam proses sistem peradilan anak (child criminal justice system) harus di laksanakan dengan adanya petugas BAPAS (Balai Pemasyarakatan) sebagai pembuat LITMAS (penelitian masyarakat) anak, yang akan menjadi bahan pertimbangan dalam proses child criminal justice system.
Menurut pandangan ilmu viktimologi, anak yang masuk dalam perkara sistem peradilan pidana di saat pertama kali di tangkap oleh polisi, berarti anak yang awalnya mungkin menjadi tersangka berubah menjadi korban dalam proses peradilan pidana. Hal ini di sebabkan adanya proses viktimisasi terhadap anak, apalagi sampai masuk dalam penjara yang notabene merupakan tempat penjahat. Labelisasi atau cap sebagai penjahat terhadap anak akan membekas selama hidupnya.
Pandangan kriminologis dalam teorinya labelling theory menyatakan bahwa ketika seseorang sudah di label akan sesuatu akan memiliki kecenderungan akan menjalankan apa yang telh di labelkan orang atau masyarakat kepadanya. Demikian pula halnya label sebagai penjahat ketika anak di masukkan ke dalam penjara. Oleh karena itu di perlukan adanya pencermatan terhadap proses peradikan pidana yang benar-benar terpadu (integrated) dengan memperhatikan perkembangan psikologis anak, namun juga tidak mengenyampingkan kepentingan secara umum (daad daderstrafrecht).
Untuk dapat melaksanakan pembinaan dan memberikan perlindungan terhadap anak diperlukan dukungan baik menyangkut kelembagaan maupun perangkat hukum yang lebih memadai. Prakteknya di hukum kebiasaan internasional (international customary law), menetapkan usia pertanggungjawaban pidana minimal diatas 12 (dua belas) tahun, meskipun di tiap negara berbeda tentang usia minimal.
Tabel 1:
Perbandingan Batas Usia Minimal Tanggung Jawab Kriminal
Nama Negara | Usia Minimal Tanggung Jawab Kriminal |
Austria | 14 |
Belgia | 18 |
Denmark | 15 |
Inggris | 10 |
Finlandia | 15 |
Perancis | 13 |
Jerman | 14 |
Yunani | 12 |
Irlandia | 7 |
Italia | 14 |
Luxemburg | 18 |
Belanda | 12 |
Irlandia Utara | 8 |
Portugal | 16 |
Skotlandia | 8 |
Spanyol | 16 |
Swedia | 15 |
Sumber Data Skunder: Badan Pembinaan Hukum Nasional
Berdasarkan tabel diatas diketahui bahwa rata-rata negara tersebut menetapkan usia pertanggungjawaban pidana minimal diatas 12 (dua belas) tahun.
Sedangkan di Indonesia tidak terdapat kesamaan batas usia minimal, yang dapat dilihat dengan adanya pluralisme mengenai kriteria anak, yaitu:
Undang-Undang Pengadilan Anak.
Pasal 1 ayat (2) merumuskan bahwa anak adalah orang dalam perkara anak nakal yang telah mencapai umur 8 (delapan) tahun, tetapi belum mencapai umur 18 (delapan belas) tahun dan belum pernah menikah. Jadi kriteria anak dibatasi dengan umur antara 8 (delapan) tahun sampai dengan berumur 18 (delapan belas) tahun. Kriteria lainnya bahwa si anak belum pernah menikah. Maksudnya tidak sedang terikat dalam perkawinan ataupun perkawinannya putus karena perceraian maka si anak dianggap sudah dewasa meskipun umurnya belum genap berusia 18 (delapan belas) tahun.
Anak dalam Hukum Perburuhan.
Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1948 tentang Pokok-Pokok Perburuhan mendefinisikan anak adalah orang laki-laki atau perempuan berumur 14 (empat belas) tahun ke bawah.
Anak menurut KUHP.
Pasal 45 KUHP mendefiisikan anak yang belum dewasa apabila belum berumur 16 (enam belas) tahun. Oleh karena itu apabila ia tersangkut dalam perkara pidana, hakim bisa memerintahkan supaya si tersalah itu dikembalikan kepada orangtuanya, walinya atau pemeliharanya dengan tidak dikenakan suatu hukuman atau memerintahkannya supaya diserahkan kepada pemerintah dengan tidak dikenakan sesuatu hukuman.
Anak menurut Hukum Perdata.
Pasal 330 KUH Perdata mengatakan bahwa orang belum dewasa adalah mereka yang belum mencapai umur 21 (dua pulus satu) tahun dan tidak lebih dahulu telah kawin.
Anak menurut Undang-Undang Perkawinan.
Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Undang-Undang Pokok Perkawinan menyebutkan bahwa seorang pria hanya diizinkan kawin apabila telah mencapai usia 19 (sembilan belas) tahun dan pihak wanita telah mencapai usia 16 (enam belas) tahun. Penyimpangan atas hal tersebut hanya dapat dimintakan dispensasi kepada Pengadilan Negeri.8
Perlindungan hukum terhadap anak dalam proses peradilan pidana yaitu terhadap anak sebagai pelaku kejahatan maksudnya adalah anak sebagai pelaku kejahatan bukanlah mendapatkan hak kekebalan hukum atau tidak tersentuh hukum, akan tetapi anak yang melakukan tindak kejahatan atau tindak kriminal berlaku ketentuan khusus dengan berpedoman kepada Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Peradilan Anak, maupun pemidanaannya dijatuhkan kepada anak nakal paling lama ½ (setengah) dari maksimum ancaman penjara bagi orang dewasa sehingga kekhususan penanganan peradilan pidana anak dapat mereduksi ketentuan dalam KUHP maupun KUHAP dengan berdasarkan asas lex spesialis derogat lex generalis.
Ada 2 (dua) kategori perilaku anak yang membuat ia berhadapan dengan hukum, yaitu:9
Status Offender adalah perilaku kenakalan anak yang apabila dilakukan oleh orang dewasa tidak dianggap sebagai kejahatan, seperti tidak menurut, membolos sekolah atau kabur dari rumah;
Juvenile Delinquency adalah perilaku kenakalan anak yang apabila dilakukan oleh orang dewasa dianggap kejahatan atau pelanggaran hukum.
Sehubungan dengan hal ini, Muladi yang menyatakan bahwa criminal justice system memiliki tujuan untuk: resosialisasi dan rehabilitasi pelaku tindak pidana; pemberantasan kejahatan; dan untuk mencapai kesejahteraan sosial.10 Berangkat dari pemikiran ini, maka tujuan sistem peradilan pidana anak terpadu lebih ditekankan kepada upaya pertama (resosialiasi dan rehabilitasi) dan ketiga (kesejahteraan sosial). Kemudian fungsi yang seharusnya dijalankan oleh sistem peradilan pidana terpadu adalah: workers; indigenous peoples, children; dan women.
Pelaksanaan sistem peradilan anak sebagaimana telah dipaparkan diatas ditegakkannya demi mencapai kesejahteraan anak dengan berdasar prinsip kepentingan terbaik bagi anak. Dengan kata lain, sistem peradilan pidana anak berdasarkan kepada perlindungan anak dan pemenuhan hak-hak anak (protection child and fullfilment child rights based approuch).
Deklarasi hak-hak anak pada tahun 1959 dapat menjadi acuan dalam memaknai prinsip kepentingan terbaik untuk anak. Salahsatu prinsipnya menyatakan bahwa anak-anak seharusnya menikmati perlindungan khusus dan dierikan kesempatan dan fasilitas melalui upaya hukum maupun upaya lain sehingga memungkinkan anak terbangun fisik, mental, moral, spiritual, dan sosial dalam mewujudkan kebebasan dan kehormatan anak.
Pendekatan kesejahteraan dapat dijadikan sebagai dasar filosofi penanganan terhadap pelanggaran hukum usia anak, yaitu:11
Anak-anak dianggap belum mengerti benar kesalahan yang telah diperbuat, sehingga sudah sepantasnya diberikan pengurangan hukuman, serta pembedaan pemberian hukuman bagi anak-anak dengan orang dewasa.
Bila dibandingkan dengan orang dewasa, anak-anak diyakini lebih mudah dibina dan disadarkan.
Dengan adanya pendekatan kesejahteraan, maka peranan pembimbing kemasyarakatan sangat efektif dalam memberikan anak-anak motivasi dalam menjalani hukuman. Hal ini sesuai dengan tugasnya pembimbing kemasyarakatan dalam Pasal 34 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Peradilan Anak adalah untuk memperlancar tugas penyidik, penuntut umum, dan hakim dalam perkara anak nakal baik di dalam maupun di luar sidang anak dengan membuat laporan hasil penelitian kemasyarakatan.12
Pemasyarakatan yang dimaksud adalah bagian dari tata peradilan pidana dari segi pelayanan tahanan, pembinaan narapidana, anak negara, dan bimbingan klien pemasyarakatan yang dilaksanakan secara terpadu dengan tujuan agar mereka setelah menjalani pidananya dapat kembali menjadi warga masyarakat yang baik.
1 JE. Sahetapy, Victimologi Sebuah Bunga Rampai, (Jakarta : Sinar Harapan, 1987), hlm. 35.
2 Muladi, Teori-Teori dan Kebijakan Pidana, (Bandung : Alumni, 1992), hlm. 86.
3 Mulyana W. Kusumah, Analisa Kriminologi Tentang Kejahatan Kekerasan, (Jakarta : Ghalia Indonesia, 1982), hlm. 8
4 Soerjono Soekanto, Suatu Tinjauan Sosiologi Hukum Terhadap Masalah Sosial, (Bandung : Citra Aditya Bakti, 1989), hlm. 7.
5 Simanjuntak, Latar Belakang Kenakalan Remaja (Etiologi Juvenile Delinquency) , (Bandung : Alumni, 1979), hlm. 97.
6 Lihat Pasal 45 KUHP
7 Darwin Prinst, Hukum Anak Indonesia, (Bandung : Citra Aditya Bakti, 1997), hlm. 1.
8 Ibid., hlm. 3
9 Purnianti, Mamik Sri Supatmi, dan Ni Made Martini Tinduk, mengutip Harry E. Allen and Cliffford E. Simmonsen, dalam Correction in America
10 Mappi FHUI, Lembaga Pengawasan Sistem Peradilan Pidana Terpadu, (Jakarta : Universitas Indonesia, 2003).
11 Purnianti menyitir pendapat Stewart Asquish, Children and Young People in Conflict with the Law, hlm. 72 .
12 Lihat Pasal 34 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Peradilan Anak
terima kasih, tulisan lengkap dan tuntas.
BalasHapus