BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Indonesia sebagai salah satu negara yang berkembang memiliki ciri-ciri adanya pembangunan di segala bidang. Salah satu kebijaksanaan pemerintah Indonesia dalam mendukung pembangunan adalah di bidang perekonomian dunia usaha. Semakin berkembangnya kegiatan usaha perekonomian, maka akan meningkatkan pertumbuhan suatu perusahaan. Pertumbuhan perusahaan di Indonesia secara kualitas maupun kuantitas cukup tinggi bila dilihat perkembangan adanya perusahaan yang telah menjadi perusahaan publik dimana saham-sahamnya yang dahulu hanya dapat dimiliki oleh pemegang saham tertentu saja. Dalam perkembangan dunia usaha, kegiatan go public banyak dipraktekkan untuk mendapatkan keuntungan yang lebih baik bagi perusahaan serta membuat perusahaan menjadi lebih terbuka dan terkenal dalam operasi bisnisnya. Keinginan yang demikian telah menyebabkan banyaknya perusahaan di Indonesia yang ingin mengubah bentuk dari perusahaan tertutup (close corporation) menjadi perusahaan go public (public corporation. Pengaturan keterbukaan suatu perusahaan tersebut diatur oleh hukum pasar modal, yang kini sudah menjadi suatu fenomena dalam hukum bisnis.
Pasar modal memberikan pelayanan jasa yaitu berupa menjembatani pemilik modal yang disebut pemodal (investor) dengan peminjam dana yang dalam hal ini disebut dengan emiten (perusahaan go public). Pemodal meminta instrumen pasar modal untuk keperluan investasi portofolio sehingga pada akhirnya dapat memaksimumkan penghasilan.
Proses go public tetap menggunakan prosedur yang berlaku, sesuai dengan standar dan aturan yang berlaku, tanpa sedikit pun manajemen Bursa Eefek Indonesia terlibat di dalamnya. Karena memang dalam proses go public ini, pintu pertama yang harus dilakukan adalah Badan Pengawas Pasar Modal-Lembaga Keuangan (Bapepam-LK). Berdasarkan struktur dan Undang-Undang Pasar Modal, lembaga pemerintah ini yang diberikan tanggung jawab terhadap proses go public hingga pasar perdana (pasar primer). Proses go public, secara sederhana dikatakan sebagai kegiatan penawaran saham atau efek lainnya yang dilakukan oleh emiten untuk menjual saham atau efek kepada masyarakat berdasarkan tata cara yang diatur oleh Undang-Undang Pasar Modal dan peraturan pelaksanaannya.
Salah satu mekanisme agar keterbukaan informasi terjamin bagi investor atau masyarakat adalah melalui suatu kesediaan suatu dokumen yang disebut prospektus bagi suatu perusahaan dalam proses melakukan go public. Prinsip keterbukaan menjadi persoalan inti pasar modal dan sekaligus merupakan jiwa pasar modal itu sendiri. Keterbukaan tentang fakta materil sebagai jiwa pasar modal didasarkan pada keberadaan prinsip keterbukaan yang memungkinkan tersedianya bahan pertimbangan bagi nvestor sehingga ia secara rasional dapat mengambil keputusan untuk melakukan pembelian atau penjualan saham.
Perusahaan dalam mencari dana cenderung memasyarakatkan kepada publik dengan cara memberikan sarana untuk masuk dalam perusahaannya yaitu penyertaan masyarakat dalam usahanya baik dalam pemilikan saham maupun penetapan pengelolaan kebijaksanaan perusahaannya. Hal ini dapat dikatakan bahwa untuk memperoleh tambahan modal usaha perusahaan cenderung melakukan suatu penawaran umum yang dikenal dengan istilah go public atau Initial Public Offering (IPO). Apabila suatu perusahaan ingin melakukan penawaran umum, maka perusahaan harus siap dengan konsekuensinya terutama dalam memberikan keterbukaan diri terhadap publik (disclosure) karena prinsip keterbukaan merupakan hal yang paling penting untuk melindungi kepentingan investor sebagai pemodal.
Dengan adanya pemberian informasi berdasarkan prinsip keterbukaan, maka dapat diantisipasi terjadinya kemungkinan investor tidak memperoleh informasi/fakta materil, atau fakta materil yang tidak lengkap disebabkan adanya informasi yang tidak disampaikan, sedangkan informasi itu sangat berfungsi sebagai bahan pertimbangan bagi investor untuk melakukan investasi. Antisipasi tersebut dapat dilakukan dengan adanya sistem keterbukaan wajib bagi perusahaan yang melakukan penawaran umum untuk menyampaikan informasi kepada masyarakat mengenai keadaan usahanya, baik dari segi keuangan, manajemen produksi, maupun hal-hal lain yang berkaitan dengan kegiatan usahanya.
Prinsip keterbukaan tersebut, maka suatu prospektus harus benar-benar berisikan informasi penting apa adanya. Akantetapi emiten yang melakukan go public di pasar modal Indonesia sering menyediakan prospektus tidak layak, yakni hanya untuk:
1) Sekedar memenuhi kewajiban yuridisnya yang terkait dari peraturan-peraturan yang ada;
2) Sekedar menjadi pengangkat image perusahaan;
3) Bahkan hanya sekedar iklan berlaku bagi suatu perusahaan untuk dapat membuat saham-sahamnya menjadi laku di pasar modal, tidak ubahnya seperti fungsi iklan-iklan yang ada di media massa. Akibatnya prospektus yang ada hanya merupakan dokumen rutin yang tidak mempunyai peranan dan tidak mempunyai arti apa-apa.
Keakuratan dan kebenaran isi dari suatu prospektus seharusnya menjadi suatu harapan bagi investor sebelum menanamkan modalnya melalui pembelian saham perusahaan. Berkaitan dengan profesi Notaris sebagai salah satu profesi penunjang di pasa modal, maka Notaris akan melakukan pekerjaan semuanya yang telah ditentukan oleh Undang-undang dan peraturan pelaksananya, serta memiliki tanggung jawab atas pekerjaan yang dilaksanakan dalam rangka suatu penawaran umum perusahaan. Lembaga hukum yang dikenal dengan sebutan Notariat tersebut merupakan suatu keutuhan akan adanya jaminan yang ditugaskan oleh kekuasaan umum (openbaar gezag) untuk di mana dan apabila Undang-undang mengharuskan sedemikian atau di kehendaki oleh masyarakat memmbuat alat bukti tertulis yang mempunyai kekuatan otentik. Kebutuhan akan adanya jasa Notaris sebagai pembuat akta otentik di Indonesia telah di kenal sejak masa pemerintahan kolonial Hindia Belanda. Sedangkan di negara Anglo Saxon perkembangan Notaris berbeda dengan di negara kontinental di mana Notaris tidak berfungsi sebagai pembuat akta.
Hal-hal yang berkenaan dengan kewajiban pendaftaran Notaris di Pasar Modal telah diatur dalam Keputusan Ketua Bapepam Nomor Kep-37/PM/1996, tanggal 17 Januari 1996, peraturan Nomor VIII.D.I, tentang Pendaftaran Notaris yang melakukan kegiatan di Pasar Modal. Persyaratan Notaris yang melakukan kegiatan di Pasar Modal adalah sebagai berikut:
1) Telah diangkat dan disumpah sebagai Notaris sesuai dengan Undang¬-undang Jabatan Notaris;
2) Telah menjadi anggota Ikatan Notaris Indonesia (INI);
3) Tidak pemah melakukan perbuatan tercela dan atau dihukum karena terbukti melakukan tindak pidana di bidang keuangan;
4) Memiliki akhlak dan moral yang baik;
5) Wajib menjalankan jabatan sesuai dengan Undang-undang Jabatan Notaris dan kode etik Notaris yang ditetapkan oleh organisasi Notaris sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Jabatan Notaris;
6) Wajib bersikap independen, obyektif, dan profesional dalam menjalankan tugasnya;
7) Wajib memiliki keahlian di bidang Pasar Modal. Persyaratan keahlian tersebut dapat dipenuhi melalui Pendidikan Profesi yang diselenggarakan oleh Ikatan Notaris Indonesia (INI) atau Pihak lain yang disetujui oleh Ikatan Notaris Indonesia (INI) dengan jumlah paling kurang 30 (tiga puluh) satuan kredit profesi dalam satu kali keikutsertaan;
8) Wajib secara terus-menerus mengikuti Pendidikan Profesi lanjutan yang diselenggarakan oleh Ikatan Notaris Indonesia (INI) atau pihak lain yang disetujui oleh Ikatan Notaris Indonesia (INI) dengan jumlah sekurang¬kurangnya 5 (lima) satuan kredit profesi setiap tahun; dan
9) Bersedia untuk diperiksa oleh Majelis Pengawas atas pemenuhan Undang¬undang Jabatan Notaris dan kode etik Notaris yang ditetapkan oleh organisasi Notaris sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Jabatan Notaris.
Perkembangan globalisasi membawa dampak dalam kegiatan usaha dalam melakukan transaksi. Pelaku usaha dalam melaksanakan transaksi tidak hanya mengandalkan kepercayaan (trust) namun memiliki instrumen kontrak bisnis sabagai salah satu bentuk perikatan dalam menjamin pelaksanaan transaksi bisnis.
Berdasarkan uraian di atas, peranan Notaris membuat akta otentik dan juga dapat memberikan nasehat hukum (legal advisor) maupun pendapat hukum (legal opinion) kepada pihak-pihak yang memerlukan sehingga terkadang di anggap sebagai profesi yang dapat mengatasi masalah hukum.
Pasal 1868 KUHPerdata menyatakan suatu akta otentik ialah suatu akta yang di dalam bentuk yang ditentukan oleh Undang-Undang, dibuat oleh atau di hadapan pegawai-pegawai umum yang berkuasa untuk itu di tempat di mana akta dibuatnya
Akta yang dibuat Notaris adalah akta otentik dan otensitasnya itu bertahan terus bahkan sampai sesudah ia meninggal dunia. Tanda tangannya pada waktu akta itu tetap mempunyai kekuatan. Walaupun ia tidak dapat lagi menyampaikan keterangan mengenai kejadian-kejadian pada saat pembuatan akta itu. Apabila notaris untuk sementara waktu diberhentikan atau dipecat dari jabatannya, maka akta-akta tersebut tetap memiliki kekuatan sebagai akta otentik, tetapi akta-akta itu harus telah dibuat sebelum pemberhentian atau pemecatan sementara waktu itu dijatuhkan.
Berdasarkan ketentuan tersebut di atas dapat terlihat juga arti penting dari profesi Notaris yaitu Notaris dikarenakan Undang-undang diberi wewenang menciptakan alat pembuktian yang mutlak dalam pembuktian bahwa apa yang tersebut dalam akta otentik pada pokoknya dianggap benar. Hal ini sangat penting untuk mereka yang membutuhkan alat pembuktian untuk suatu keperluan, baik untuk pribadi maupun untuk kepentingan usaha dan pihak ketiga. Pasal 1 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris (UUJN) menjelaskan pengertian Notaris adalah satu-satunya pejabat umum yang berwenang membuat akta otentik.
Dalam hal suatu perusahaan akan melakukan go public, maka sebagai pejabat umum dan sekaligus profesi penunjang, Notaris memiliki tugas dan tanggung jawab. Adapun tugas pokok Notaris adalah memberikan penerangan dan saran-saran. Sebelum dibuatkan akta oleh Notaris, maka Notaris harus mengumpulkan data-data, keterangan-keterangan yang selengkapnya dan mempelajari akibat hukum yang akan terjadi, lalu memberikan saran-saran untuk mencegah timbulnya sengketa diantara para pihak sehubungan dengan akta yang akan dibuatnya.”Kalau seorang Advokat membela hak-hak seseorang ketika timbul suatu kesulitan, maka Notaris harus berusaha mencegah terjadinya kesulitan itu.”
Setiap emiten dilarang melakukan tindakan yang dapat menciptakan gambaran semu atau menyesatkan terhadap harga dan aktifitas perdagangan yang dapat mengakibatkan suatu kondisi:
1) Meningkatkan harga efek secara artificial yang menjadikan orang lain terpengaruh untuk membeli.
2) Menurunkan harga efek secara artificial yang mengakibatkan orang lain agar terpengaruh untuk menjual.
3) Menampilkan harga efek secara artificial untuk mempengaruhi orang lain agar membeli atau menjual.
4) Melakukan suatu kegiatan yang memberi kesan kondisi efek tertentu tetap aktif diperdagangkan
5) Melakukan suatu kegiatan atas suatu efek tertentu dengan tujuan window dressing.
6) Melakukan transaksi efek tanpa mengakibatkan perubahan pemilik penerima manfaat.
Berkaitan dengan peranan Notaris sebagai lembaga profesi terhadap emiten yang memalsukan data, maka Notaris harus menjunjung tinggi kode etik profesi yang merupakan produk etika terapan karena dihasilkan berdasarkan penerapan pemikiran etis atas suatu profesi sehingga kode etik profesi dapat berubah dan diubah seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Berdasarkan uraian tersebut diatas, maka peneliti tertarik untuk meneliti dengan judul “Analisis Yuridis Terhadap Tugas Dan Tanggung Jawab Notaris Dalam Penerbitan Prospektus Perusahaan Go Public.”
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang tersebut diatas, maka terdapat beberapa rumusan masalah, yaitu :
1. Bagaimanakah tugas dan tanggung jawab Notaris dalam penerbitan prospektus perusahaan go public?
2. Bagaimanakah perlindungan hukum bagi Notaris yang menerbitkan prospektus perusahaan go public bila terjadi emiten yang memalsukan data?
C. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini dilaksanakan dengan maksud :
1. Untuk mengetahui tugas dan tanggung jawab Notaris dalam penerbitan prospektus perusahaan go public.
2. Untuk mengetahui perlindungan bagi Notaris yang menerbitkan prospektus perusahaan go public bila terjadi emiten yang memalsukan data.
D. Manfaat Penelitian
1. Manfaat teoritis :
a. Penelitian ini diharapkan berguna untuk memberikan sumbangan pemikiran dan memperkaya pengembangan ilmu hukum dan hukum pasar modal khususnya tentang perusahaan go public.
b. Penelitian ini diharapkan bermanfaat dalam menelusuri kemungkinan diadakannya penyempurnaan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal.
2. Manfaat praktis :
a. Penelitian ini diharapkan sebagai bahan masukan dalam upaya menambah wawasan ilmu pengetahuan hukum pasar modal dalam menanggulangi penerbitan prospektus perusahaan go public yang menyesatkan.
b. Penelitian ini diharapkan sebagai bahan masukan bagi BAPEPAM dan Notaris dalam menerapkan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal.
E. Keaslian Penelitian
Penelitian tentang hukum pasar modal di Indonesia sangat jarang dilaksanakan, namun agar tidak terjadi pengulangan suatu penelitian terhadap masalah yang sama, peneliti biasanya akan mengumpulkan data tentang masalah tersebut sebelum melakukan kegiatan ilmiah.
Berdasarkan hasil penelusuran kepustakaan (library research) khususnya di lingkungan Universitas Sumatera Utara Medan, judul tesis berupa ”Analisis Yuridis Terhadap Tugas Dan Tanggung Jawab Notaris Dalam Penerbitan Prospektus Perusahaan Go Public” dengan permasalahannya belum pernah dilakukan oleh peneliti lainnya. Dengan demikian penelitian ini adalah asli serta dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah.
F. Kerangka Teori dan Konsepsi
1. Kerangka Teori
Teori adalah untuk menerangkan atau menjelaskan mengapa gejala spesifik atau proses tertentu terjadi, dan teori harus diuji dengan menghadapkannya pada fakta-fakta yang dapat menunjukkan ketidakbenaran. Kerangka teori adalah kerangka pemikiran atau butir-butir pendapat, teori, mengenai sesuatu kasus atau permasalahan yang akan menjadi bahan perbandingan atau pegangan teoritis.
a. Teori Pasar Modal
Pasar modal merupakan suatu bidang usaha perdagangan surat-surat berharga seperti saham, sertifikat saham dan obligasi. Dalam pengertian klasik, seperti dapat dilihat dalam praktek-prakteknya di negara-negara maju, perdagangan efek sesungguhnya merupakan kegiatan perusahaan swasta. Motif utamanya terletak pada masalah kebutuban modal bagi perasahaan yang ingin lebih memajukan usaha dengan menjual sahamnya pada para pemilik uang atau investor baik golongan maupun lembaga-lembaga usaha.
U Tun Wai dan Hugh T. Patrick, menyebutkan 3 (tiga) pengertian tentang pasar modal, yaitu:
1) Definisi yang luas.
Pasar modal adalah kebutuhan sistem keuangan yang terorganisir, termasuk bank-bank komersial dan semua perantara di bidang keuangan serta surat-surat berharga jangka panjang dan jangka pendek, primer dan tidak langsung.
2) Definisi dalam arti menengah.
Pasar modal adalah semua pasar yang terorganisir dan lembaga-lembaga yang memperdagangkan warkat kredit (biasanya yang berjangka waktu lebih dari 1 (tahun) termasuk saliam-saham, obljgasi, pinjaman benangka, hipotik, dan tabungan serta deposito berjangka.
3) Definisi dalam arti sempit.
Pasar modal adalah pasar terorganisir yang memperdagangkan saharn-saham dan obligasi dengan memekai jasa makelar, komisioner dan underwriter. Menurut Siswanto Sudomo, yang dimaksud dengan pasar modal adalah pasar dimana diterbitkan serta diperdagangkan surat-surat berharga jangka panjang, khususnya obligasi dan saham. Sebagaimana halnya pasar uang, maka pasar modal dapat diartikan dalam ruang lingkup lokal, regional dan nasional. Oleh karena menyangkut dana-dana jangka panjang, maka pasar modal mengandung pengertian modal ekonomi. Dana-dana yang dihasilkan melalui penerbitan instrumen kredit oleh dunia usaha dan perorangan diinvestasikan dalam persediaan (inventories) ataupun harta tetap (fixed assets). Sedangkan hasil dari obligasi pemerintah dan saham-saham perusahaan dipergunakan untuk membelanjakan pengeluaran dan harta kekayaan.
Pengertian pasar modal di Indonesia sebagaimana tertuang dalam Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 52 Tahun 1976 tentang Pasar Modal pada Bab I Pasal 1 disebutkan bahwa “pasar modal adalah bursa efek seperti yang dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 15 Tahun 1952 (Lembaran Negara Tahun 1952 Nomor 67). Jadi pengertian pasar modal adalah bursa-bursa perdagangan di Indonesia yang didirikan untuk perdagangan uang dan efek. Lebih lanjut ditegaskan bahwa pengertian efek disini adalah setiap saham, obligasi dan bukti lainnya, termasuk sertifikat atau surat pengganti serta bukti sementara dan surat-surat tersebut, bukti keuntungan dan surat jaminan, opsi, obligasi atau bukti pernyataan dalam modal atau pitijaman lainnya, atau setiap alat yang lazim dikenal sebagai efek.
Pengertian pasar modal juga dapat dilihat dalam Kitab Undang-Undang Hukum Dagang yaitu: bursa adalah tempat pertemuan para pedagang, juragan kapal, makelar, kasir, dan orang-orang lain yang bersangkutan dengan perdagangan. Hal itu diselenggarakan berdasarkan kekuasaan Menteri Keuangan. Pada Pasal 1 butir 13 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal, menyatakan bahwa Pasar Modal adalah kegiatan yang bersangkutan dengan Penawaran Umum dan Perdagangan Efek, Perusahaan Publik yang berkaitan dengan efek yang diterbitkannya, serta lembaga dan profesi yang berkaitan dengan efek.
Menurut Eduardus Tandelilin bahwa “pasar modal adalah pertemuan antara pihak yang memiliki kelebihan dana dengan pihak yang membutuhkan dana dengaa cara memperjual-belikan sekuritas”. Istilah pasar modal dipakai sebagai terjemahan dari istilah “capital market” yang berarti suatu tempat atau sistem bagaimana caranya dipenuhinya kebutuhan-kebutuhan dana untuk kapital suatu perusahaan, merupakan pasar tempat orang membeli dan menjual surat efek yang baru dikeluarkan.
Pasar Modal atau “capital market” adalah merupakan pasar untuk berbagai instrumen keuangan jangka panjang yang bisa diperjual-belikan baik dalam bentuk uang ataupun modal sendiri. Setelah mengetahui pengertian pasar modal secara definitif, maka klasifikasi daripada karakteristik pasar modal yakni sebagai berikut:
1) Dari sudut pandangan pemakai dana.
Terdapat berbagai macam pihak terlibat didalam kegiatan pasar modal. Dengan adanya dana yang tersedia bagi pihak-pihak yang membutuhkannya, maka berbagai instrumen menjembatani antara mereka yang membutuhkan dana dengan para penanam modal (investor).
2) Dari sudut pandangan jenis instrumen yang ditawarkan melalui pasar modal.
Yakni apakah mempergunakan instrumen hutang jangka menengah atau jangka panjang atau instrumen modal perusahaan.
3) Dari sudut jatuh temponya instrumen yang diperdagangkan di pasar modal.
Sebagaimana diketahui, transaksi surat-surat berharga yang jatuh temponya
dalam waklu kurang dari 1 (satu tahun) diiakukan dalam pasar uang (money market) ataupun pasar dana-dana jangka pendek (short term market). Sehingga dana-dana jangka menengah (intermediate term funds) dan jangka panjang (long term funds), perdagangannya dilakukan didalam pasar modal.
4) Dari sudut pandangan tingkat sentralisasi.
Sebagaimana telah diketahui, bahwa ruang lingkup suatu pasar modal ternyata mencakup permasalahan yang cukup luas dan tersebar, mencakup dunia perbankan dan asuransi guna meminjamkan dana yang menganggur, sarana untuk memperjual-belikan saham suatu perusahaan sarana bagi pemerintah untuk memperjualbelikan saham suatu perusahaan, sarana bagi pemerintah menjual obligasi negara dan sarana investasi bagi pemodal kecil.
5) Dari sudut pandangan transaksinya.
Maka dalam suatu pasar modal transaksi yang dilakukan oleh para pemodal dan pemakai dana terjadi dalam suatu pasar yang sifatnya terbuka (open market) dan tidak langsung.
6) Di dalam mekanisme pasar modal dikenal adanya penawaran pada pasar
perdana (primary market) dan pasar sekunder/bursa (secondary market).
Hal tersebut menimbulkan perbedaan antara transaksi pada pasar perdana
dengan transaksi pada pasar skunder atau bursa.
b. Teori Keterbukaan
Keterbukaan atau disclosure merupakan komponen penting dalam sekuritas. Dalam kegiatan pasar modal adalah kewajiban pihak-pihak dalam suatu penawaran umum untuk memperhatikan dan memenuhi prinsip keterbukaan. Menurut Undang-Undang No. 8 Tahun 1995 Tentang Pasar Modal dalam Pasal 1 angka 25 disebutkan yang dimaksud dengan keterbukaan (disclosure) adalah pedoman umum yang mensyaratkan emiten, perusahaan publik, dan pihak lain yang tunduk pada Undang-Undang ini untuk menginformasikan kepada masyarakat dalam waktu yang tepat seluruh informasi material mengenai usahanya atau efeknya yang dapat berpengaruh terhadap keputusan pemodal terhadap efek dimaksud dan atau harga dari efek tersebut. Keterbukaan informasi tidak saja diwajibkan pada waktu perusahaan tersebut menawarkan efeknya kepada masyarakat pertama kali, kan tetapi juga selama efek perusahaan tersebut diperdagangkan di pasar sekunder.
Bismar Nasution menyatakan bahwa setidaknya ada 3 (tiga) tujuan keterbukaan (disclosure) dalam pasar modal yang antara lain adalah :
1) Untuk memelihara kepercayaan publik terhadap pasar.
Dalam hal ini kepercayaan investor sangat relevan ketika munculnya ketidak percayaan publik terhadap pasar modal yang pada gilirannya mengakibatkan pelarian modal (capital flight) secara besar-besaran dan seterusnya dapat mengakibatkan kehancuran pasar modal (bursa saham).
2) Menciptakan mekanisme pasar yang efisien.
Pasar yang efisien berkaitan dengan sistem keterbukaan (disclosure) wajib. Sistem keterbukaan (disclosure) wajib berusaha menyediakan informasi tekhnis bagi anggota saham dan profesional pasar.
3) Memberi perlindungan terhadap investor.
Dengan adanya keterbukaan (disclosure) maka secara tidak langsung akan memberi perlindungan kepada investor yang apabila dalam membuat perjanjian pembelian saham oleh investorkemudianterdapat penipuan dalam bentuk perbuatan yang menyesatkan, misalnya pernyatan (missrepresentation) informasi, maka perlindungan investor tersebut dilihat dari sisi ketentuan perjanjian sebagai mana diatur dalam KUHPerdata hanya sebatas pembatalan perjanjian transaksi saham.
Ketika membahas atas perilaku emiten yang tidak mau menjalankan prinsip-prinsip transparansi di pasar modal, seolah-olah sangat sulit untuk menterjemahkan perilaku tersebut kedalam sebuah penjelasan yang masuk akal dan dapat diterima oleh semua orang, tentang kesalahan apakah yang dilakukan oleh emiten yang tidak transparan. Sebenarnya soal transparansi bukan 100% (seratus persen) milik dunia pasar modal, tetapi disetiap aspek dan dimensi kehidupan ini, transparansi adalah bagian yang selalu dituntut untuk dilaksanakan. Tindakan melakukan transparansi direfleksikan dalam pemenuhan kewajiban pelaporan laporan keuangan, fakta atau kejadian yang bersifat material atau kewajiban pelaporan lainnya.
Para investor khususnya investor profesional dan investor institusional selalu aktif mengumpulkan berbagai informasi dan memanfaatkannya untuk memahami harga-harga saham yang ditawarkan dalam pasar perdana maupun pasar sekunder. Informasi yang dikumpul adalah informasi yang mengandung fakta materil. Menurut Pasal 1 butir 7 Undang-Undang No. 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal menyatakan informasi atau fakta material adalah informasi atau fakta penting dan relevan mengenai peristiwa, kejadian atau fakta yang dapat mempengaruhi harga efek kepada bursa efek dan atau keputusan pemodal, atau pihak lain yang berkepentingan atas informasi atau fakta tersebut.
Setiap perusahaan publik atau emiten yang pernyataan pendaftarannya telah menjadi efektif, harus menyampaikan kepada Bapepam dan mengumumkan kepada masyarakat secepat mungkin, paling lambat akhir kerja ke-2 (kedua) setelah keputusan atau terjadinya suatu peristiwa, informasi atau fakta material yang mungkin dapat mempengaruhi nilai efek perusahaan atau keputusan investasi pemodal. Informasi atau fakta material yang diperkirakan dapat mempengaruhi harga efek atau keputusan investasi pemodal, antara lain sebagai berikut:
a) Penggabungan usaha, pembelian saham, peleburan usaha, atau pembentukan usaha patungan.
b) Pemecahan saham atau pembagian deviden saham.
c) Pendapatan dari dividen yang luar biasa sifatnya.
d) Perolehan atau kehilangan kontrak penting.
e) Produk penemuan baru yang berarti.
f) Perubahan dalam pengendalian atau perubahan penting dalam manajemen.
g) Penjualan tambahan efek kepada masyarakat atau secara terbatas yang material jumlahnya.
h) Pengumuman pembelian atau peman efek yang bersifat utang.
i) Pembelian atau kerugian penjualan aktiva yang material.
j) Perselisihan tenaga kerja yang relatif penting
k) Tuntutan hukum yang penting terhadap perusahaan, dan atau direktur dan komisaris perusahaan.
l) Pengajuan tawaran untuk pembelian efek perusahaan lain.
m) Penggantian Akuntan yang mengaudit perusahaan.
n) Penggantian Wali Amanat.
o) Perubahan tahun fiskal perusahaan.
Pada umumnya pelanggaran prinsip keterbukaan (disclosure) termasuk juga pernyataan menyesatkan sebab adanya missrepresentation atau pernyataan dengan membuat penghilangan (omission) fakta materil, baik dalam dokumen-dokumen penawaran umum maupun dalam perdagangan saham. Pernyataan tersebut menciptakan gambaran yang salah dari kualitas emiten, manajemen dan potensi ekonomi emiten. Oleh karena itu peraturan pelaksanaan prinsip keterbukaan (disclosure) membuat larangan atas perbuatan missreprentation dan omission.
Peraturan pelaksanaan prinsip keterbukaan (disclosure) di pasar modal Indonesia telah memuat ketentuan mengenai larangan perbuatan menyesatkan tersebut, baik dalam prospektus maupun media massa yang berhubungan dengan suatu penawaran umum. Disamping itu ketentuan larangan perbuatan menyesatkan telah menetapkan sanksi berupa ancaman pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp. 15.000.000.000 (lima belas milyar rupiah) terhadap pelanggaran atas perbuatan-perbuatan tersebut. Akantetapi peraturan pelaksanaan prinsip keterbukaan yang memuat ketentuan ¬ketentuan larangan perbuatan menyesatkan tersebut sangat sederhana dan kurang memadai untuk mengatur elemen-elemen perbuatan yang menyesatkan.
Pasal 78 Undang-Undang No. 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal menentukan bahwa tidak boleh membuat pernyataan fakta material yang salah atau tidak memuat fakta material yang benar. Larangan yang diatur dalam Pasal 78 ini mirip dengan konsep dalam Rule 10b-5 dan Section 10(b) Securities Exchange Act 1934, yang melarang pernyataan menyesatkan dalam prospektus dengan cara:
1) Menggunakan alat-alat, skema atau fasilitas untuk menipu.
2) Membuat pernyataan yang salah mengenai fakta material atau tidak memasukkan fakta material yang diperlukan dalam pernyataan dan dalam penjelasannya tidak menyesatkan.
3) Terlibat dalam tindakan, praktek atau dalam bidang bisnis yang beroperasi atau akan beroperasi sebagai penipuan atas seseorang dalam perdagangan saham.
Larangan lainnya juga dapat dilihat dalam Pasal 93 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal yang melarang seseorang yang dengan cara apapun untuk membuat pernyataan atau memberikan keterangan yang secara material tidak benar atau menyesatkan, yang dapat mempengaruhi harga saham di Bursa Efek, yaitu apabila pada saat pernyataan dibuat atau keterangan diberikan:
1) Pihak yang bersangkutan mengetahui atau sepatutnya mengetahui bahwa pernyataan atau keterangan tersebut secara material tidak benar atau menyesatkan.
2) Pihak yang bersangkutan tidak cukup berhati-hati dalam menentukan kebenaran material dari pernyataan atau keterangan tersebut.
Undang-Undang Pasar Modal menggariskan bahwa siapa saja yang memberikan gambaran yang salah mengenai transaksi yang terjadi di bursa merupakan tindakan yang melanggar hukum sehingga mendefenisikan bahwa manipilasi pasar sebagai kejahatan yang dapat dikenakan hukuman berat. Setiap emiten dilarang melakukan tindakan yang dapat menciptakan gambaran semu atau menyesatkan terhadap harga dan aktifitas perdagangan yang dapat mengakibatkan suatu kondisi :
1) Meningkatkan harga efek secara artificial yang menjadikan orang lain terpengaruh untuk membeli.
2) Menurunkan harga efek secara artificial yang mengakibatkan orang lain agar terpengaruh untuk menjual.
3) Menampilkan harga efek secara artificial untuk mempengaruhi orang lain agar membeli atau menjual.
4) Melakukan suatu kegiatan yang memberi kesan kondisi efek tertentu tetap aktif diperdagangkan
5) Melakukan suatu kegiatan atas suatu efek tertentu dengan tujuan window dressing.
6) Melakukan transaksi efek tanpa mengakibatkan perubahan pemilik penerima manfaat.
Secara bebas pengertian manipulasi adalah kegiatan yang melibatkan serangkaian transaksi sehingga menyebabkan harga efek di bursa naik, tetap atau turun bahkan menimbulkan kesan terciptanya perdagangan yang aktif dan kegiatan tersebut dilakukan dengan tujuan untuk mempengaruhi pihak lain untuk membeli, menjual atau menahan efek.
Transparansi di pasar modal terutama ditujukan kepada keterbukaan perusahaan yang menawarkan efeknya di pasar modal (emiten). Emiten dituntut untuk mengungkapkan semua informasi yang material mengenai keadaan bisnisnya termasuk keuangan, aspek hukum, manajemen dan harta kekayaannya kepada masyarakat. Informasi yang diberikan ini harus merupakan informasi yang dijamin kebenarannya. Apabila informasi yang material yang seharusnya diketahui investor ternyata tidak diungkapkan seluruhnya atau salah dalam mengungkapkannya sehingga menimbulkan kerugian bagi investor, maka emiten wajib bertanggung jawab atas kerugian yang diderita investor. Dengan demikian dapat kita ketahui bahwa terdapat suatu mekanisme transparansi dan adanya jaminan atas kebenaran informasi yang secara implisit terkandung unsur perlindungan bagi investor.
2. Kerangka Konsepsi
Konsepsi merupakan alat yang dipakai oleh hukum di samping yang lain-lain, seperti asas dan standar untuk mengetahui batasan-batasan yang diteliti. Oleh karena itu kebutuhan untuk membentuk konsep merupakan salah satu sari hal-hal yang dirasakan pentingnya dalam hukum. Konsep adalah suatu konstruksi mental, yaitu sesuatu yang di hasilkan oleh suatu proses yang berjalan dalam fikiran penelitian untuk keperluan analitis. Kerangka konsepsional mengungkapkan beberapa konsepsi atau pengertian yang akan dipergunakan untuk sebagai dasar penelitian hukum.
Pentingnya defenisi operasional adalah untuk menghindarkan perbedaan pengertian atau penafsiran mendua (dubius) dari suatu istilah yang dipakai. Oleh karena itu dalam penelitian ini didefinisikan beberapa konsep dasar agar secara operasional diperoleh hasil penelitian yang sesuai dengan tujuan yang telah ditentukan, yaitu :
a. Analisis adalah penyelidikan terhadap suatu peristiwa.
b. Yuridis adalah berdasarkan hukum; menurut hukum.
c. Notaris adalah pejabat umum yang berwenang membuat akta otentik mengenai semua perbuatan, perjanjian da ketetapan yang diharuskan oleh peraturan perundang-undangan dan/atau dikehendaki oleh yang berkepentingan, untuk dinyatakan dalam akta otentik, menjamin kepastian tanggal pembuatan aktanya, menyimpan minutanya, memberikan grosse, salinan dan kutipan akta, semuanya itu sepanjang pembuatan akta-akta itu tidak juga ditugaskan atau dikecualikan kepada pejabat lain atau orang lain, yang ditetapkan oleh Undang-undang.
d. Prospektus menurut Padmo Sumasto merupakan media pemberitahuan tertulis mengenai emiten dan rencana emisinya yang antara lain memuat informasi mengenai keadaan perusahaan dan prospeknya.
e. Perusahaan Go Public adalah proses perusahaan yang memasyarakatkan dirinya dengan cara memberikan sarana kepada masyarakat untuk masuk dalam perusahaannya dengan menerima penyertaan masyarakat dalam usahanya, baik dalam pemilikan maupun penetapan kebijaksanaan pengelolaan perusahaan. Hal ini sering kali dipersamakan dengan istilah penawaran umum yaitu kegiatan penawaran efek yang dapat dilakukan oleh emiten untuk menjual efek kepada masyarakat berdasarkan tata cara yang diatur dalam Undang-undang ini dan peraturan pelaksananya.
G. Metode Penelitian
1. Sifat Penelitian
Sesuai dengan permasalahan dan tujuan penelitian, maka sifat penelitian ini adalah deskriptif analitis, yaitu mendeskripsikan, menggambarkan, menelaah dan menjelaskan secara analitis permasalahan yang dikemukakan. Penelitian bersifat deskriptif analisis adalah suatu penelitian yang berusaha menggambarkan fakta dan data-data mengenai tugas dan tanggung jawab Notaris dalam penerbitan prospektus perusahaan go public, serta perlindungan investor yang mengalami kerugian akibat prospektus perusahaan go public yang menyesatkan, kemudian melakukan penyusunan, pengolahan dan penilaian terhadap data-data yang ditemukan sehingga diperoleh gambaran lengkap dan menyeluruh mengenai permasalahan yang diteliti.
Materi penelitian diperoleh melalui pendekatan yuridis normatif yaitu pendekatan hukum dengan melihat peraturan-peraturan, baik bahan hukum primer maupun bahan hukum sekunder atau pendekatan terhadap masalah dengan cara melihat dari segi peraturan perundang-undangan yang berlaku, buku-buku, literatur, karya ilmiah dan pendapat para ahli dan lain sebagainya. Soerjono Soekanto mengatakan bahwa penelitian hukum normatif adalah penelitian hukum yang dilakukan dengan meneliti bahan pustaka atau data sekunder belaka. Penelitian hukum normatif mencakup penelitian terhadap sistematika hukum, penelitian terhadap taraf sinkronisasi vertikal dan horizontal, perbandingan hukum dan sejarah hukum.
2. Metode Pengumpulan Data
Pengumpulan data dilakukan dengan cara penelitian kepustakaan dan pengambilan data dari lapangan sehingga antara (das sollen) dengan kenyataan (das sein) saling memiliki keterkaitan. Pengambilan data primer dilakukan dengan wawancara (interview) kepada narasumber, sedangkan pengumpulan data sekunder dilakukan dengan penelitian kepustakaan (library research).
Adapun data sekunder mencakup:
a. Bahan hukum primer, yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat, terdiri dari KUHP, Peraturan Pemerintah dan lain sebagainya.
b. Bahan hukum sekunder, yaitu bahan-bahan yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer seperti buku teks, hasil-hasil penelitian dan sebagainya.
c. Bahan hukum tertier, yaitu bahan-bahan yang memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder, contohnya : kamus, ensiklopedi hukum, ensiklopedi dan sebagainya.
Selain mempergunakan data skunder, peneliti juga mempergunakan data primer, berupa wawancara dengan informan, yaitu Notaris di Medan dan divisi legal perusahaan yang telah go public di Medan.
3. Analisis Data
Salah satu ciri dari penelitian hukum normatif adalah menganalisis data secara kualitatif. Pada tahap awal dilakukan pengumpulan data primer dan sekunder, kemudian data dikelompokkan sesuai dengan rumusan masalah yang ditetapkan. Data-data tersebut dianalisis dengan melakukan interpretasi atau ditafsirkan dan selanjutnya hasil penafsiran dideskripsikan kemudian disimpulkan secara deduktif.
H. Jadwal Rencana Penelitian
Penelitian ini direncakan akan berlangsung selama 4 (empat) bulan agar dapat dilaksanakan secara maksimal dan diharapkan dapat selesai tepat pada waktunya, dengan perkiraan waktu adalah sebagai berikut:
1. Tahap persiapan : 4 (empat) minggu
2. Tahap analisa dan penyusunan laporan : 4 (empat) minggu
3. Tahap perbaikan dan sebelum seminar hasil : 2 (dua) minggu
4. Tahap perbaikan dan penyelesaian akhir penelitian : 2 (dua) minggu
DAFTAR PUSTAKA
A. Buku-Buku Ilmiah
Anoraga, Pandji, Pengantar Pasar Modal, Rineka Cipta, Jakarta, 2001.
Alaminsyah, Padji, Kamus Istilah Keuangan dan Perbankan, Yrama Widya, Bandung, 2003.
Darmadji, Tjiptono, Pasar Modal di Indonesia, Pendekatan Tanya Jawab, Salemba Empat, Jakarta, 2001.
Fakhruddin, M, M. Sopian, Perangkat dan Modal Analisis Investasi di Pasar Modal, Elex Media Komputindo, Jakarta, 2001.
Fuady, Munir, Pasar Modal Modern (Tinjauan Hukum), Citra Aditya Bakti, Bandung, 1996.
------------------, Hukum Bisnis Dalam Teori dan Praktek, Citra Aditya Bakti, 1996.
Gatot, Supramono, Hukum Perseroan Terbatas Yang Baru, Djambatan, Jakarta, 1996.
Gisymar, Majib, Insider Trading Dalam Transaksi Efek, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1999.
I Putu Gede, Ary Suta, Menuju Pasar Modal Modern, Yayasan SAD SATIA BAKTI, Jakarta, 2000
Kansil, CST, Pokok-Pokok Hukum Pasar Modal, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 2002.
Lumban Tobing, GHS, Peraturan Jabatan Notaris, Erlangga, Jakarta, 1999.
Nasaruddin, M. Irsan, Aspek Hukum Pasar Modal Indonesia, Prenada Media, Jakarta, 2004
Nasution, Bismar, Keterbukaan Dalam Pasar Modal, Universitas Indonesia Fakultas Hukum Program Pasca Sarjana, Jakarta, 2001.
------------------, Diktat Hukum Pasar Modal, Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, Medan, 2003.
Regar, Moenaf, Pembahasan Kritis Aspek Manajemen dan Akuntasi, Pustaka Quantum, Jakarta, 2001
Rusli, Hardijan, Perseroan Terbatas dan Aspek Hukumnya, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 1996
Sitompul, Asril, Pasar Modal Penawaran Umum dan Permasalahannya, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1996
Widjaja, I G Rai, Hukum Perusahaan Perseroan Terbatas Khusus Pemahaman Atas UU No. 1 Tahun 1995, Kesaint Blanc, Jakarta, 2000
B. Jurnal, Majalah, Makalah Ilmiah
Harian Republika
Koetin, E A, Analisis Pasar Modal dalam Anstides Katoppo, Komulasi Pasar Modal Indonesia, Retrospeks Lima Tahun Swastanisasi Bursa Efek Jakarta, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 1997.
Nasution, Bismar, Beberapa Aspek Hukum Pasar Modal Dalam Transaksi Saham, Jakarta, 2000.
Tandelilin, Eduardus, Analisis Investasi dan Manajemen Portofolio, BPFP, Yogyakarta, 2000
C. Peraturan Perundang-undangan
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris
Selasa, 20 Oktober 2009
“Analisis Yuridis Terhadap Tanggung Jawab Direksi Perseroan Terbatas Dalam Tindakan Ultra Vires”.
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pengaruh globalisasi berupa perdagangan dapat dilihat di Indonesia berupa peningkatan pendirian perusahaan Perseroan Terbatas (PT). Pemerintah Indonesia sangat berkomitmen dalam mengembangkan keberadaan PT karena merupakan salah satu sumber pendapatan negara berupa pajak serta membuka lapangan pekerjaan yang dapat meningkatkan kesejahteraan secara langsung bagi masyarakat.
Perseroan sebagai suatu perkumpulan yang memiliki hak berarti dapat juga memiliki kekayaan sendiri ikut serta dalam lalu lintas hukum dengan perantaraan pengurusnya, dapat digugat, dan menggugat di depan hukum. Sejalan dengan itu, diartikan pula sebagai subjek hukum yang memiliki arti siapa yang dapat mempunyai hak dan cakap untuk bertindak didalam hukum atau dengan kata lain, siapa yang cakap menurut hukum untuk mempunyai hak. (CST. Kansil : 1986, hlm. 125)
Menurut R.T.Sutantyo Hadhi Kusuma dalam bukunya “Pengertian Pokok Hukum Perusahaan” menyatakan bahwa alat perlengkapan Perseroan Terbatas (PT) terdiri atas (Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas dipergunakan istilah organ-organ Perseroan Terbatas yang dalam melakukan kegiatannya sebagai badan hukum diwakili oleh organ PT yang terdiri atas RUPS, Direksi, dan Dewan Komisaris : (Bab VII Pasal 92 sampai dengan Pasal 121 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas diatur tentang Direksi dan Dewan Komisaris).
1) Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS)
RUPS (General Shareholders Meeting) adalah organ perseroan yang mempunyai wewenang yang tidak diberikan kepada direksi atau dewan komisaris yang wewenangnya diatur dalam peraturan perundang-undangan dan Anggaran Dasar PT sehingga RUPS memiliki kewenangan residual berupa segala kewenangan yang oleh peraturan perundang-undangan dan Anggaran Dasar PT tidak diberikan kepada direksi atau dewan komisaris dianggap dimiliki oleh RUPS.
RUPS merupakan personifikasi dari pemegang saham PT yang merupakan pemilik PT dan keberadaan RUPS merupakan kehendak pemilik PT.
2) Pengurus/Direksi
Direksi adalah organ PT yang berwenang dan bertanggung jawab penuh atas pengurusan sesuai dengan maksud dan tujuan PT di dalam maupun di luar Pengadilan sesuai dengan ketentuan Anggaran Dasar PT. Segala tindakan hukum direksi menyangkut status hukum perseroan sebagai subjek hukum, maka direksi sebagai wakil yang secara lisan dan tertulis menjadi pelaku tindakan perseroan. Hal itu memberikan penegasan bahwa menurut teori organ, apa yang dilakukan oleh organ perseroan dianggap merupakan tindakan PT”. (Herlien Budiono : 2000, hlm. 10)
Prinsip hukum ultra vires yang telah berkembang sejak abad XIX menetapkan bahwa batas kewenangan bertindak dari badan hukum memberikan pengertian, ”adalah bukan tindakan hukum itu tidak boleh dilakukan, tetapi tindakan hukum tersebut tidak dapat dilakukan.” (Herlien Budiono : 2000, hlm. 11)
Hal tersebut memberikan makna sebuah tindakan hukum tidak dapat dilakukan apabila menyalahi atau melampui batas maksud tujuan dan kegiatan perseroan. Hal itu merujuk penjelasan yang memberikan pengertian tentang tindakan ultra vires yaitu, “tindakan direksi yang melampui batas maksud tujuan dan kegiatan PT. Sedangkan pengertian tindakan melampui kewenangan merupakan tindakan direksi yang menyimpang dari ketentuan Anggaran Dasar PT.” (Herlien Budiono : 2000, hlm. 12)
Dalam menggunakan kewenangannya mengurus PT, direksi mempunyai batasan tertentu. Dalam konsep hukum administrasi, kewenangan harus digunakan sesuai tujuan pemberian kewenangan. Apabila tidak, maka dikatakan telah terjadi penyalahgunaan wewenang. Batas-batas wewenang dalam hukum administrasi adalah aturan hukum dan asas-asas kepatutan yang disebut Algemene Beginselen van Behorlijk Berstuurs atau Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Baik.
Kewenangan direksi sama dengan konsep hukum administrasi adalah aturan hukum yang mengikat Perseroan Terbatas (PT) yaitu UUPT dan Anggaran Dasar.
Selain kedua aturan tersebut, kewenangan bertindak direksi juga dibatasi oleh asas itikad baik, asas kepantasan, asas kepatutan atau Good Corporate Governance (GCG). Pasal 97 (2) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas yang menggantikan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1995 diatur bahwa, direksi wajib dengan itikad baik dan penuh tanggungjawab dalam menjalankan kepengurusan.
Dengan demikian ketika direksi melakukan kegiatan perseroan, namun bertentangan dengan maksud tujuan, maka kegiatan itu dinyatakan tidak sah dan batal demi hukum sehingga pertanggungjawabannya lepas dari perseroan dan menjadi tanggungjawab pribadi direksi yang bersangkutan. Fred Tumbuan mengatakan bahwa maksud dan tujuan perseroan adalah batas kewenangan bertindak (de doelomschrijving van de rechtspersoon geldt als begrenzing van haar bevoegdheid). Perbuatan hukum yang dilakukan direksi yang secara eksplisit atau implisit tidak diatur dalam Anggaran Dasar Perseroan Terbatas (PT), maka batal demi hukum.
Tindakan direksi sebagai wakil perseroan berupa tindakan hukum dalam bidang kekayaan, tindakan semata (feitelijke handeling) seperti perbuatan melawan hukum dan tindakan dalam hukum acara. (Herlien Budiono : 2000, hlm. 3) Untuk membebaskan direksi dari segala tuntutan terkait timbulnya kerugian perseroan dikenal dengan istilah “business judgment rule”. Dalam konsep ini direksi harus membuktikan bahwa keputusan atau judgment yang diambil direksi merupakan kebijakan tepat bagi kepentingan perseroan. Apabila direksi gagal membuktikan bahwa kebijakan yang diambilnya adalah tepat untuk perseroan, maka direksi harus bertanggung jawab secara pribadi.
Tindakan ultra vires membatasi perilaku direksi dalam pelaksanaan perseroan sebagai badan hukum atau subjek hukum yang dapat menjadi objek gugatan. Dengan demikian tanggung jawab direksi perseroan dalam tindakan ultra vires bertujuan untuk melindungi perseroan sebagai badan usaha sesuai dengan maksud dan tujuan, baik secara internal maupun secara eksternal yang berkaitan dengan pihak ketiga.
Berdasarkan uraian latar belakang diatas, peneliti tertarik untuk membuat penelitian dengan judul “Analisis Yuridis Terhadap Tanggung Jawab Direksi Perseroan Terbatas Dalam Tindakan Ultra Vires”.
B. Permasalahan
Berdasarkan uraian latar belakang di atas, maka yang menjadi permasalahan dalam penelitian ini, yaitu:
1. Bagaimanakah pengaturan ultra vires menurut Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007?
2. Bagaimanakah bentuk tanggungjawab direksi perseroan dalam tindakan ultra vires demi perlindungan Perseroan dan pihak ketiga?
C. Tujuan Penelitian
1. Untuk mengetahui pengaturan ultra vires menurut Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007.
2. Untuk mengetahui bentuk tanggungjawab direksi perseroan dalam tindakan ultra vires demi perlindungan Perseroan dan pihak ketiga.
D. Manfaat Penelitian
Secara garis besar manfaat dari penelitian ini dapat ditinjau secara teoritis dan praktis, yaitu:
1. Manfaat Teoritis:
a. Penelitian ini diharapkan dapat dijadikan sebagai salah satu referensi ilmiah dalam menganalisa tanggungjawab direksi Perseroan Terbatas dalam tindakan ultra vires.
b. Penelitian ini diharapkan memberikan masukan bagi mahasiswa yang mempelajari hukum perdata, khususnya tentang Perseroan Terbatas.
2. Manfaat Praktis:
a. Sebagai bahan masukan praktisi dalam menyelesaikan permasalahan di Perseroan Terbatas yang berhubungan dengan tindakan ultra vires.
b. Sebagai bahan masukan bagi pelaku usaha khususnya Perseroan Terbatas dalam menyelesaikan tindakan ultra vires.
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Ruang Lingkup Penelitian
Sesuai dengan permasalahan penelitian, maka yang menjadi ruang lingkup penelitian ini adalah tanggungjawab direksi berkaitan dengan asas ultra vires dalam hukum perseroan. Ruang lingkup penelitian diperlukan untuk mempertajam penelitian yang sesuai dengan perumusan masalah penelitian. Oleh karena itu bila ditinjau dari permasalahan dan tujuan penelitian, maka sifat penelitian ini adalah deskriptif analitis, yaitu mendeskripsikan, menggambarkan, menelaah dan menjelaskan secara analitis permasalahan yang dikemukakan.
Materi penelitian diperoleh melalui pendekatan yuridis normatif yaitu: pendekatan hukum dengan melihat peraturan-peraturan, baik bahan hukum primer maupun bahan hukum sekunder atau pendekatan terhadap masalah dengan cara melihat dari segi peraturan perundang-undangan yang berlaku, buku-buku, literatur, karya ilmiah dan pendapat para ahli dan lain sebagainya. (Roni Hanitijo Soemitro, 1988 : hlm. 11)
Soerjono Soekanto mengatakan bahwa penelitian hukum normatif adalah penelitian hukum yang dilakukan dengan meneliti bahan pustaka atau data skunder. Penelitian hukum normatif mencakup penelitian terhadap sistematika hukum, penelitian terhadap taraf sinkronisasi vertikal dan horizontal, perbandingan hukum dan sejarah hukum. (Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, 1985 : hlm. 13)
B. Pendekatan Penelitian
Pengaturan ultra vires menurut Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 diperlukan untuk mengetahui bentuk tanggungjawab direksi perseroan sehingga memberikan perlindungan bagi perseroan dan pihak ketiga.
C. Metode Pengumpulan Data
Pengumpulan data dilakukan dengan cara penelitian kepustakaan. Pengumpulan data sekunder mencakup:
a. Bahan hukum primer, yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat, terdiri dari KUHP, Peraturan Pemerintah dan lain sebagainya.
b. Bahan hukum sekunder, yaitu bahan-bahan yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer seperti buku teks, hasil-hasil penelitian dan sebagainya.
c. Bahan hukum tertier, yaitu bahan-bahan yang memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder, contohnya : kamus, ensiklopedi dan sebagainya.
D. Analisis Data
Penelitian ini mempergunakan analisis data secara kualitatif, yaitu dengan cara menganalisa keseluruhan data skunder yang di peroleh dari penelusuran pustaka serta memberikan interpretasi terhadap data yang di peroleh sehingga penelitian ini akan di uraikan secara deskriptif analitis. (Lexy Moleong, 2002 : 5)
E. Jadwal Penelitian
Penelitian ini dijadwalkan akan berlangsung selama 4 (empat) bulan dengan perincian sebagai berikut:
Rencana Jadual Penelitian
Kegiatan Juni
Juli Agustus September Oktober
I II III IV I II III IV I II III IV I II III IV I II III IV
Penyusunan Proposal
Bimbingan Proposal
Bab I - Bab III
Bab II – Bab IV
Bimbingan
Seminar
Perbaikan
Sidang
DAFTAR PUSTAKA
Fuady, Munir, Doktrin-Doktrin Modern Dalam Corporate Law Eksistensinya Dalam Hukum Indonesia, Bandung : Citra Aditya Bakti, 1996
Gatot Supramono, Hukum Perseroan Terbatas Yang Baru, Jakarta : Djambatan, 1999.
Herlien Budiono, Doktrin Ultra Vires Dalam Teori dan Praktek, Jakarta : Buletin Notaris, 2000.
Kansil, CST dan Christine Kansil, Pokok-Pokok Hukum Perseroan Terbatas, Jakarta : Pustaka Sinar Harapan, 1996.
Kansil, CST, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, Jakarta : Balai Pustaka, 1986.
Koentjorodiningrat, Metode-Metode Penelitian Masyarakat, Jakarta : Gramedia Pustaka, 1997
Nasution, Nasution, Metode Penelitian Hukum Normatif dan Perbandingan Hukum, Medan.
Rahardjo, Satjipto, Ilmu Hukum, Bandung : Citra Aditya Bakti, 1996.
Soekanto, Soerjono, dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif, Jakarta : Rajawali Press, 1985.
Soekanto, Soerjono dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, Jakarta : Raja Grafindo Perkasa, 1995.
Soekanto, Soerjono, Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta : UI Press, 1986.
Soemitro, Roni Hanitijo, Metodologi Penelitian Hukum dan Jurimetri, Jakarta : Ghalia Indonesia, 1988.
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pengaruh globalisasi berupa perdagangan dapat dilihat di Indonesia berupa peningkatan pendirian perusahaan Perseroan Terbatas (PT). Pemerintah Indonesia sangat berkomitmen dalam mengembangkan keberadaan PT karena merupakan salah satu sumber pendapatan negara berupa pajak serta membuka lapangan pekerjaan yang dapat meningkatkan kesejahteraan secara langsung bagi masyarakat.
Perseroan sebagai suatu perkumpulan yang memiliki hak berarti dapat juga memiliki kekayaan sendiri ikut serta dalam lalu lintas hukum dengan perantaraan pengurusnya, dapat digugat, dan menggugat di depan hukum. Sejalan dengan itu, diartikan pula sebagai subjek hukum yang memiliki arti siapa yang dapat mempunyai hak dan cakap untuk bertindak didalam hukum atau dengan kata lain, siapa yang cakap menurut hukum untuk mempunyai hak. (CST. Kansil : 1986, hlm. 125)
Menurut R.T.Sutantyo Hadhi Kusuma dalam bukunya “Pengertian Pokok Hukum Perusahaan” menyatakan bahwa alat perlengkapan Perseroan Terbatas (PT) terdiri atas (Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas dipergunakan istilah organ-organ Perseroan Terbatas yang dalam melakukan kegiatannya sebagai badan hukum diwakili oleh organ PT yang terdiri atas RUPS, Direksi, dan Dewan Komisaris : (Bab VII Pasal 92 sampai dengan Pasal 121 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas diatur tentang Direksi dan Dewan Komisaris).
1) Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS)
RUPS (General Shareholders Meeting) adalah organ perseroan yang mempunyai wewenang yang tidak diberikan kepada direksi atau dewan komisaris yang wewenangnya diatur dalam peraturan perundang-undangan dan Anggaran Dasar PT sehingga RUPS memiliki kewenangan residual berupa segala kewenangan yang oleh peraturan perundang-undangan dan Anggaran Dasar PT tidak diberikan kepada direksi atau dewan komisaris dianggap dimiliki oleh RUPS.
RUPS merupakan personifikasi dari pemegang saham PT yang merupakan pemilik PT dan keberadaan RUPS merupakan kehendak pemilik PT.
2) Pengurus/Direksi
Direksi adalah organ PT yang berwenang dan bertanggung jawab penuh atas pengurusan sesuai dengan maksud dan tujuan PT di dalam maupun di luar Pengadilan sesuai dengan ketentuan Anggaran Dasar PT. Segala tindakan hukum direksi menyangkut status hukum perseroan sebagai subjek hukum, maka direksi sebagai wakil yang secara lisan dan tertulis menjadi pelaku tindakan perseroan. Hal itu memberikan penegasan bahwa menurut teori organ, apa yang dilakukan oleh organ perseroan dianggap merupakan tindakan PT”. (Herlien Budiono : 2000, hlm. 10)
Prinsip hukum ultra vires yang telah berkembang sejak abad XIX menetapkan bahwa batas kewenangan bertindak dari badan hukum memberikan pengertian, ”adalah bukan tindakan hukum itu tidak boleh dilakukan, tetapi tindakan hukum tersebut tidak dapat dilakukan.” (Herlien Budiono : 2000, hlm. 11)
Hal tersebut memberikan makna sebuah tindakan hukum tidak dapat dilakukan apabila menyalahi atau melampui batas maksud tujuan dan kegiatan perseroan. Hal itu merujuk penjelasan yang memberikan pengertian tentang tindakan ultra vires yaitu, “tindakan direksi yang melampui batas maksud tujuan dan kegiatan PT. Sedangkan pengertian tindakan melampui kewenangan merupakan tindakan direksi yang menyimpang dari ketentuan Anggaran Dasar PT.” (Herlien Budiono : 2000, hlm. 12)
Dalam menggunakan kewenangannya mengurus PT, direksi mempunyai batasan tertentu. Dalam konsep hukum administrasi, kewenangan harus digunakan sesuai tujuan pemberian kewenangan. Apabila tidak, maka dikatakan telah terjadi penyalahgunaan wewenang. Batas-batas wewenang dalam hukum administrasi adalah aturan hukum dan asas-asas kepatutan yang disebut Algemene Beginselen van Behorlijk Berstuurs atau Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Baik.
Kewenangan direksi sama dengan konsep hukum administrasi adalah aturan hukum yang mengikat Perseroan Terbatas (PT) yaitu UUPT dan Anggaran Dasar.
Selain kedua aturan tersebut, kewenangan bertindak direksi juga dibatasi oleh asas itikad baik, asas kepantasan, asas kepatutan atau Good Corporate Governance (GCG). Pasal 97 (2) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas yang menggantikan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1995 diatur bahwa, direksi wajib dengan itikad baik dan penuh tanggungjawab dalam menjalankan kepengurusan.
Dengan demikian ketika direksi melakukan kegiatan perseroan, namun bertentangan dengan maksud tujuan, maka kegiatan itu dinyatakan tidak sah dan batal demi hukum sehingga pertanggungjawabannya lepas dari perseroan dan menjadi tanggungjawab pribadi direksi yang bersangkutan. Fred Tumbuan mengatakan bahwa maksud dan tujuan perseroan adalah batas kewenangan bertindak (de doelomschrijving van de rechtspersoon geldt als begrenzing van haar bevoegdheid). Perbuatan hukum yang dilakukan direksi yang secara eksplisit atau implisit tidak diatur dalam Anggaran Dasar Perseroan Terbatas (PT), maka batal demi hukum.
Tindakan direksi sebagai wakil perseroan berupa tindakan hukum dalam bidang kekayaan, tindakan semata (feitelijke handeling) seperti perbuatan melawan hukum dan tindakan dalam hukum acara. (Herlien Budiono : 2000, hlm. 3) Untuk membebaskan direksi dari segala tuntutan terkait timbulnya kerugian perseroan dikenal dengan istilah “business judgment rule”. Dalam konsep ini direksi harus membuktikan bahwa keputusan atau judgment yang diambil direksi merupakan kebijakan tepat bagi kepentingan perseroan. Apabila direksi gagal membuktikan bahwa kebijakan yang diambilnya adalah tepat untuk perseroan, maka direksi harus bertanggung jawab secara pribadi.
Tindakan ultra vires membatasi perilaku direksi dalam pelaksanaan perseroan sebagai badan hukum atau subjek hukum yang dapat menjadi objek gugatan. Dengan demikian tanggung jawab direksi perseroan dalam tindakan ultra vires bertujuan untuk melindungi perseroan sebagai badan usaha sesuai dengan maksud dan tujuan, baik secara internal maupun secara eksternal yang berkaitan dengan pihak ketiga.
Berdasarkan uraian latar belakang diatas, peneliti tertarik untuk membuat penelitian dengan judul “Analisis Yuridis Terhadap Tanggung Jawab Direksi Perseroan Terbatas Dalam Tindakan Ultra Vires”.
B. Permasalahan
Berdasarkan uraian latar belakang di atas, maka yang menjadi permasalahan dalam penelitian ini, yaitu:
1. Bagaimanakah pengaturan ultra vires menurut Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007?
2. Bagaimanakah bentuk tanggungjawab direksi perseroan dalam tindakan ultra vires demi perlindungan Perseroan dan pihak ketiga?
C. Tujuan Penelitian
1. Untuk mengetahui pengaturan ultra vires menurut Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007.
2. Untuk mengetahui bentuk tanggungjawab direksi perseroan dalam tindakan ultra vires demi perlindungan Perseroan dan pihak ketiga.
D. Manfaat Penelitian
Secara garis besar manfaat dari penelitian ini dapat ditinjau secara teoritis dan praktis, yaitu:
1. Manfaat Teoritis:
a. Penelitian ini diharapkan dapat dijadikan sebagai salah satu referensi ilmiah dalam menganalisa tanggungjawab direksi Perseroan Terbatas dalam tindakan ultra vires.
b. Penelitian ini diharapkan memberikan masukan bagi mahasiswa yang mempelajari hukum perdata, khususnya tentang Perseroan Terbatas.
2. Manfaat Praktis:
a. Sebagai bahan masukan praktisi dalam menyelesaikan permasalahan di Perseroan Terbatas yang berhubungan dengan tindakan ultra vires.
b. Sebagai bahan masukan bagi pelaku usaha khususnya Perseroan Terbatas dalam menyelesaikan tindakan ultra vires.
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Ruang Lingkup Penelitian
Sesuai dengan permasalahan penelitian, maka yang menjadi ruang lingkup penelitian ini adalah tanggungjawab direksi berkaitan dengan asas ultra vires dalam hukum perseroan. Ruang lingkup penelitian diperlukan untuk mempertajam penelitian yang sesuai dengan perumusan masalah penelitian. Oleh karena itu bila ditinjau dari permasalahan dan tujuan penelitian, maka sifat penelitian ini adalah deskriptif analitis, yaitu mendeskripsikan, menggambarkan, menelaah dan menjelaskan secara analitis permasalahan yang dikemukakan.
Materi penelitian diperoleh melalui pendekatan yuridis normatif yaitu: pendekatan hukum dengan melihat peraturan-peraturan, baik bahan hukum primer maupun bahan hukum sekunder atau pendekatan terhadap masalah dengan cara melihat dari segi peraturan perundang-undangan yang berlaku, buku-buku, literatur, karya ilmiah dan pendapat para ahli dan lain sebagainya. (Roni Hanitijo Soemitro, 1988 : hlm. 11)
Soerjono Soekanto mengatakan bahwa penelitian hukum normatif adalah penelitian hukum yang dilakukan dengan meneliti bahan pustaka atau data skunder. Penelitian hukum normatif mencakup penelitian terhadap sistematika hukum, penelitian terhadap taraf sinkronisasi vertikal dan horizontal, perbandingan hukum dan sejarah hukum. (Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, 1985 : hlm. 13)
B. Pendekatan Penelitian
Pengaturan ultra vires menurut Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 diperlukan untuk mengetahui bentuk tanggungjawab direksi perseroan sehingga memberikan perlindungan bagi perseroan dan pihak ketiga.
C. Metode Pengumpulan Data
Pengumpulan data dilakukan dengan cara penelitian kepustakaan. Pengumpulan data sekunder mencakup:
a. Bahan hukum primer, yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat, terdiri dari KUHP, Peraturan Pemerintah dan lain sebagainya.
b. Bahan hukum sekunder, yaitu bahan-bahan yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer seperti buku teks, hasil-hasil penelitian dan sebagainya.
c. Bahan hukum tertier, yaitu bahan-bahan yang memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder, contohnya : kamus, ensiklopedi dan sebagainya.
D. Analisis Data
Penelitian ini mempergunakan analisis data secara kualitatif, yaitu dengan cara menganalisa keseluruhan data skunder yang di peroleh dari penelusuran pustaka serta memberikan interpretasi terhadap data yang di peroleh sehingga penelitian ini akan di uraikan secara deskriptif analitis. (Lexy Moleong, 2002 : 5)
E. Jadwal Penelitian
Penelitian ini dijadwalkan akan berlangsung selama 4 (empat) bulan dengan perincian sebagai berikut:
Rencana Jadual Penelitian
Kegiatan Juni
Juli Agustus September Oktober
I II III IV I II III IV I II III IV I II III IV I II III IV
Penyusunan Proposal
Bimbingan Proposal
Bab I - Bab III
Bab II – Bab IV
Bimbingan
Seminar
Perbaikan
Sidang
DAFTAR PUSTAKA
Fuady, Munir, Doktrin-Doktrin Modern Dalam Corporate Law Eksistensinya Dalam Hukum Indonesia, Bandung : Citra Aditya Bakti, 1996
Gatot Supramono, Hukum Perseroan Terbatas Yang Baru, Jakarta : Djambatan, 1999.
Herlien Budiono, Doktrin Ultra Vires Dalam Teori dan Praktek, Jakarta : Buletin Notaris, 2000.
Kansil, CST dan Christine Kansil, Pokok-Pokok Hukum Perseroan Terbatas, Jakarta : Pustaka Sinar Harapan, 1996.
Kansil, CST, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, Jakarta : Balai Pustaka, 1986.
Koentjorodiningrat, Metode-Metode Penelitian Masyarakat, Jakarta : Gramedia Pustaka, 1997
Nasution, Nasution, Metode Penelitian Hukum Normatif dan Perbandingan Hukum, Medan.
Rahardjo, Satjipto, Ilmu Hukum, Bandung : Citra Aditya Bakti, 1996.
Soekanto, Soerjono, dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif, Jakarta : Rajawali Press, 1985.
Soekanto, Soerjono dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, Jakarta : Raja Grafindo Perkasa, 1995.
Soekanto, Soerjono, Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta : UI Press, 1986.
Soemitro, Roni Hanitijo, Metodologi Penelitian Hukum dan Jurimetri, Jakarta : Ghalia Indonesia, 1988.
“Pembuktian dan Penerapan Hukum Terhadap Tindak Pidana Pencabulan Yang Dilakukan Oleh Anak Berdasarkan Pasal 293 (1) KUHP Jo UU No.3 Tahun 1997 (Studi
A. Latar Belakang
Anak merupakan aset bangsa yang merupakan bagian dari generasi muda anak berperan sangat strategis sebagai penentu suatu bangsa. Dalam konteks Indonesia, anak adalah penerus cita–cita perjuangan bangsa. Peran strategis ini telah disadari oleh masyarakat Internasional untuk mewujudkan sebuah konvensi yang intinya menekankan posisi anak sebagai makhluk manusia yang harus mendapatkan perlindungan atas hak-hak yang dimilikinya.
Indonesia merupakan salah satu dari 191 (seratus sembilan puluh satu) negara yang telah meratifikasi konvensi hak anak (Convention on the Right of Children) pada tahun 1990 melalui Kepres no. 36 tahun 1990. Dengan meratifikasi konvensi ini, Indonesia memiliki kewajiban untuk memenuhi hak-hak bagi semua anak tanpa terkecuali, salah satu hak anak yang perlu mendapat perhatian dan perlindungan adalah hak anak yang berkonflik dengan hukum.
Indonesia telah meratifikasi Konvensi Hak-hak Anak, tepatnya pada tanggal 25 Agustus 1990 melalui Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 1990 karena Indonesia belum mempunyai kebijakan dan peraturan perundang-undangan tentang perlindungan anak yang berorientasi pada Konvensi Hak-hak Anak. Namun pada tanggal 22 Oktober 2002, Indonesia menetapkan Undang-undang Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak yang berorientasi pada hak-hak anak seperti yang tertuang dalam Konvensi Hak-hak Anak. Perjuangan melahirkan kebijakan dan peraturan perundang-undangan yang memihak kepada kepentingan terbaik anak cukup panjang, seiring dengan pasang surut berbagai kepentingan dan situasi multi krisis berkepanjangan di segala aspek kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia sejak lima tahun terakhir.
Hak-hak anak yang berkonflik dengan hukum diatur dalam Pasal 40 KHA (Konvensi Hak Anak) yang berbunyi : “Negara-negara peserta mengakui hak setiap anak yang disangka, dituduh atau diakui sebagai telah melanggar Undang-undang hukum pidana untuk diperlakukan dengan cara yang sesuai dengan peningkatan martabat dan nilai anak, yang memperkuat penghargaan anak pada hak-hak asasi manusia dan kebeasan dasar dari orang lain dengan memperhatikan usia anak dan hasrat untuk meningkatkan penyatuan kembali/reintegrasi anak dan peningkatan peran yang konstruktif dari anak dalam masyarakat”.
Pasal 37 ayat b KHA (Konvensi Hak Anak) yang berbunyi :
“Tidak seorang anakpun akan dirampas kemerdekaannya secara tidak sah dan sewenang-wenang, penangkapan, penahanan ataupun penghukuman seorang anak harus sesuai dengan hukum dan akan diterapkan sebagai upaya terakhir dan untuk jangka waktu yang paling pendek”.
Sedangkan Pasal 37 ayat c KHA (Konvensi Hak Anak) dinyatakan :
“Setiap anak yang dirampas kemerdekaannya akan diperlakukan secara manusiawi dan dihormati martabat kemanusiaanya dan dengan memperhatikan kebutuhan-kebutuhan orang seusianya”.
Di Indonesia hak-hak anak yang berkonflik dengan hukum diatur di dalam Undang-undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak diantaranya mengatur tentang pemeriksaan terhadap anak harus dalam suasana kekeluargaan, setiap anak berhak didampingi oleh penasehat hukum, tempat tahanan anak harus terpisah dari tahanan orang dewasa, penahanan dilakukan setelah sungguh-sungguh mempertimbangkan kepentingan anak dan atau kepentingan masyarakat, hukuman yang diberikan tidak harus di penjara/di tahanan melainkan bisa berupa hukuman tindakan dengan mengembalikan anak ke orangtua atau walinya serta Pasal-pasal lainnya yang cukup memberikan perlindungan terhadap anak yang berkonflik dengan hukum.
Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi manusia pada Pasal 66 juga mengatur hak anak yang berkonflik dengan hukum. Demikian juga dalam Undang-undang perlindungan anak yang baru disahkan pada tanggal 23 September 2002 Pasal 64 mengatur :
1) Perlindungan khusus bagi anak yang berhadapan dengan hukum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59 meliputi anak yang berkonflik dengan hukum dan anak korban tindak pidana merupakan kewajiban dan tanggung jawab pemerintah dan masyarakat.
2) Perlindungan khusus bagi anak yang berhadapan dengan hukum sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilaksanakan melalui :
a. Perlakuan atas anak secara manusiawi dengan martabat dan hak-hak anak.
b. Penyediaan petugas pendamping khusus anak sejak dini;
c. Penjediaan sarana dan prasarana khusus;
d. Penjatuhan sanksi yang tepat untuk kepentingan yang terbaik bagi anak;
e. Pemantauan dan pencatatan terus menerus terhadap perkembangan anak yang berhadapan dengan hukum;
f. Pemberian jaminan untuk mempertahankan hubungan dengan orang tua atau keluarga dan
g. Perlindungan dari pemberian identitas melalui media massa dan untuk menghindari labelisasi.
3) Perlindungan khusus bagi anak yang menjadi korban tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilaksanakan melalui :
a. upaya rehabilitasi, baik dalam lenbaga maupun diluar lembaga;
b. upaya perlindungan dari pemberitaan identitas melalui media massa dan untuk menghindari labelisasi;
c. pemberian jaminan keselamatan bagi saksi korban dan saksi ahli, baik fisik, mental, maupun sosial; dan
d. pemberian aksesibilitas untuk mendapatkan informasi mengenai perkembangan perkara.
Dengan demikian diperlukan berbagai upaya alternatif penyelesaian masalah anak yang berkonflik dengan hukum, selain daripada melalui sistem peradilan pidana anak. Hal ini sejalan dengan prinsip yang dianut Convention of The Right of TheChild (CRC) dan juga sebagaimana telah diadopsi dalam Undang-Undang Nomor 23 tahun 2002 tentang perlindungan anak, khususnya menyangkut prinsip “The Best Interest of The Child” dan Pidana sebagai “The Last Resort”.
Oleh karena itu diperlukan upaya-upaya yang akan memberikan perlindungan khusus kepada anak-anak Indonesia yang berada dalam keadaan sulit tersebut, ke dalam suatu Program Nasional Bagi Anak Indonesia sebagai tindak lanjut Sidang Umum PBB Untuk Anak yang melahirkan deklarasi “ A World Fit For Children “. Dalam perspektif Konvensi Hak Anak atau KHA (Convention The Rights of The Child/CRC), anak yang berkonflik dengan hukum dikategorikan sebagai anak dalam situasi khusus (children in need of special protection/CNSP).
Perlindungan hukum bagi anak dapat diartikan sebagai upaya perlindungan terhadap kebebasan dan hak asasi manusia (fundamental rights and freedom of children). Deklarasi Hak-Hak Anak tahun 1959 dapat dirujuk untuk memaknai prinsip kepentingan terbaik untuk anak. Prinsip kedua menyatakan bahwa anak seharusnya menikmati perlindungan khusus dan diberikan kesempatan dan fasilitas melalui upaya hukum maupun upaya lain sehingga memungkinkan anak terbangun fisik, mental, moral, spiritual dan sosialnya dalam mewujudkan kebebasan dan kehormatan anak.
Upaya perlindungan anak perlu dilaksanakan sedini mungkin, yakni sejak dari janin dalam kandungan sampai anak berumur 18 (delapan belas) tahun. Bertitik tolak dari konsepsi perlindungan anak yang utuh, menyeluruh, dan komprehensif, maka Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak meletakkan kewajiban memberikan perlidungan kepada anak berdasarkan asas-asas sebagai berikut :
1) Nondiskriminasi;
2) Kepentingan yang terbaik bagi anak;
3) Hak untuk hidup, kelangsungan hidup, dan perkembangan; dan
4) Penghargaan terhadap pendapat anak.
Demikian pula halnya jika anak-anak berhadapan dengan hukum, maka potensi hak-haknya dilanggar oleh negara lebih besar ketimbang orang dewasa yang melakukan tindak pidana. Potensi ini dikarenakan anak merupakan sosok manusia yang dalam kehidupannya masih menggantungkan pada intervensi pihak lain. Doktrin Hak Asasi Manusia mengkategorikan kelompok ini sebagai kelompok rentan (vulnerable group). Konsekuensi yuridisnya kelompok ini seharusnya mendapatkan perhatian lebih dari negara. Terkait dengan kelompok tersebut, Kovenan Hak Sipil dan Hak Politik menegaskan bahwa setiap anak berhak untuk mendapatkan hak atas langkah-langkah perlindungan karena statusnya sebagai anak di bawah umur, terhadap keluarga, masyarakat dan negara (Pasal 24 (1)).
Irma Setyowati Soemitri membedakan 2 (dua) pengertian perlindungan anak, yaitu:
1) Perlindungan anak bersifat yuridis yang meliputi bidang hukum publik dan bidang hukum perdata.
2) Perlindungan anak bersifat non yuridis yang meliputi bidang sosial, bidang kesehatan, bidang pendidikan.
Berdasarkan hasil seminar perlindungan anak/remaja oleh Prayuana Pusat pada tanggal 30 Mei 1977, terdapat 2 (dua) perumusan tentang perlindungan anak, yaitu:
1) Segala daya upaya yang dilakukan secara sadar oleh setiap orang maupun lembaga pemerintah dan swasta yang bertujuan mengusahakan pengamanan, penguasaan, pemenuhan kesejahteraan fisik sosial anak dan remaja yang sesuai dengan kepentingan dan hak asasinya.
2) Segala daya upaya bersama yang dilakukan secara sadar oleh perorangan, keluarga, masyarakat, badan-badan pemerintah dan swasta untuk pengamanan, pengadaan, dan pemenuhan kesejahteraan rohaniah dan jasmaniah anak berusia 0-21 tahun, tidak dan belum pernah nikah dengan hak asasi dan kepentingannya agar dapat mengembangkan dirinya seoptimal mungkin".
Berdasarkan studi kasus yang berkaitan dengan uraian diatas adalah Register No. 3472/Pid.B/2008/PN.Mdn yang telah memutuskan Hendra Gunawan Hasibuan als Hendra yang berusia 17 (tujuh belas) tahun pidana penjara selama 2 (dua) tahun karena melanggar 293 (1) Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP).
Berdasarkan surat dakwaan No.Reg Per. DPM- /Rp.9/Ep.1/11/2008 bahwa Hendra Gunawan Hasibuan als Hendra selanjutnya disebut terdakwa pada bulan Januari 2008 bertempat di rumah terdakwa Jl. Pancing V Lk. III Kel. Besar Medan Labuhan dengan hadiah atau perjanjian akan memberi uang atau barang dengan salah memeaki kekuasaan yang timbul dari pergaulan atau dengan memperdayakan dengan sengaja membujuk orang di bawah umur yang tidak bercacat kelakuannya, yang diketahuinya atau patut dapat disangkanya masih di bawah umur, melakukan perbuatan cabul dengan dia, atau membiarkan perbuatan cabul itu dilakukan pada dirinya, perbuatan tersebut dilakukan terdakwa dengan cara :
Pada tanggal 19 Januari 2008 sekitar pukul 14.00 WIB, Naisya Putri selanjutnya disebut korban mendatangi rumah temannya Dewi untuk menagih hutang terdakwa yang belum dibayar sebesar Rp. 25.000,00 (dua puluh lima ribu rupiah). Dengan demikian terdakwa mengajak korban ke rumahnya untuk mengambik uang yang akan di bayarkan ke korban. Pada saat itu korban digauli oleh terdakwa dan mengulangi perbuatannya keesokan harinya di rumah korban, sehingga korban menceritakan kejadian tersebut kepada keluarganya.
Berdasarkan fakta yang terungkap di persidangan, dapat dilihat adanya pembuktian mengenai unsur-unsur tindak pidana pencabulan dan persetubuhan yang di dakwakan kepada terdakwa yaitu dakwaan melanggar Pasal 293 ayat (1) KUHP jo UU RI Nomor 3 Tahun 1997 dengan unsur sebagai berikut :
- Dengan hadiah atau perjanjian akan memberi uang atau barang;
- Dengan salah memakai kekuasaan yang timbul dari pergaulan atau dengan memperdayakan;
- Dengan sengaja membujuk orang di bawah umur yang tidak bercacat kelakuannya.
- Melakukan perbuatan cabul dengan dia, atau membiarkan perbuatan cabul itu dilakukan pada dirinya.
Berdasarkan uraian latar belakang diatas, maka peneliti tertarik untuk meneliti dengan judul “Pembuktian dan Penerapan Hukum Terhadap Tindak Pidana Pencabulan Yang Dilakukan Oleh Anak Berdasarkan Pasal 293 (1) KUHP Jo UU No.3 Tahun 1997 (Studi Kasus No. 3472/Pid.B/2008/PN.Mdn)
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas, yang menjadi rumusan masalah dalam penelitian ini, yaitu :
1. Bagaimanakah perlindungan hukum bagi anak sebagai pelaku kejahatan tindak pidana pencabulan ?
2. Bagaimanakah pembuktian dan penerapan hukum terhadap pelaku tindak pidana pencabulan yang dilakukan oleh anak ?
C. Tujuan Penelitian
Merujuk kepada permasalahan yang diterangkan di atas, maka tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian :
1. Untuk mengetahui perlindungan hukum bagi anak sebagai pelaku kejahatan tindak pidana pencabulan.
2. Untuk mengetahui pembuktian dan penerapan hukum terhadap pelaku tindak pidana pencabulan yang dilakukan oleh anak.
D. Manfaat Penelitian
Manfaat secara teoritis :
1. Memberikan ilmu pengetahuan bagi mahasiswa Fakultas Hukum dalam mempelajari hukum pidana.
2. Memberikan hasil analisa putusan Majelis Hakim berupa studi kasus penelitian.
Manfaat secara praktis :
1. Memberikan kontribusi bagi masyarakat dalam perlindungan hukum terhadap anak menurut peraturan perundang-undangan.
2. Memberikan masukan kepada instansi terkait dalam memberikan perlindungan hukum terhadap anak menurut perundang-undangan.
DAFTAR PUSTAKA
Arikunto, Suharsimi, Prosedur Penelitian Pendekatan Praktis, Jakarta : Rineka Cipta, 1993
Atmasamita, Romli, Kriminologi, Bandung : Mandar Maju, 1997
Dirjosisworo, Soejono, Sinopsis Kriminologi Indonesia, Bandung : Mandar Maju 1994
Manan, Bagir, Peradilan Anak di Indonesia, Bandung : Mandar Maju, 1997
Marzuki, Peter, Penelitian Hukum, Jakarta : Kencana Prenada Media, 2005
Maulana, Hasan Wadong, Advokasi Anak dan Hukum Perlindungan Anak, Jakarta : Gramedia, 2000
Nawawi, Hadari, Sumber Data Penelitian, Jakarta : Gramedia, 1997
Prinst, Darwan, Hukum Anak Indonesia, Bandung : Citra Aditya Bakti, 1997
Rahardjo, Satjipto, Ilmu Hukum, Bandung : Citra Aditya Bakti, 1996
Shidarta, Karakteristik Penalaran Hukum Dalam Konteks ke Indonesiaan, Bandung : Utomo, 2006
Soemitro, Irma Setyowati, Aspek Hukum Perlindungan Anak, Jakarta : Bumi Aksara, 1990
Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, Jakarta : Raja Grafindo Persada, 1995
Anak merupakan aset bangsa yang merupakan bagian dari generasi muda anak berperan sangat strategis sebagai penentu suatu bangsa. Dalam konteks Indonesia, anak adalah penerus cita–cita perjuangan bangsa. Peran strategis ini telah disadari oleh masyarakat Internasional untuk mewujudkan sebuah konvensi yang intinya menekankan posisi anak sebagai makhluk manusia yang harus mendapatkan perlindungan atas hak-hak yang dimilikinya.
Indonesia merupakan salah satu dari 191 (seratus sembilan puluh satu) negara yang telah meratifikasi konvensi hak anak (Convention on the Right of Children) pada tahun 1990 melalui Kepres no. 36 tahun 1990. Dengan meratifikasi konvensi ini, Indonesia memiliki kewajiban untuk memenuhi hak-hak bagi semua anak tanpa terkecuali, salah satu hak anak yang perlu mendapat perhatian dan perlindungan adalah hak anak yang berkonflik dengan hukum.
Indonesia telah meratifikasi Konvensi Hak-hak Anak, tepatnya pada tanggal 25 Agustus 1990 melalui Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 1990 karena Indonesia belum mempunyai kebijakan dan peraturan perundang-undangan tentang perlindungan anak yang berorientasi pada Konvensi Hak-hak Anak. Namun pada tanggal 22 Oktober 2002, Indonesia menetapkan Undang-undang Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak yang berorientasi pada hak-hak anak seperti yang tertuang dalam Konvensi Hak-hak Anak. Perjuangan melahirkan kebijakan dan peraturan perundang-undangan yang memihak kepada kepentingan terbaik anak cukup panjang, seiring dengan pasang surut berbagai kepentingan dan situasi multi krisis berkepanjangan di segala aspek kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia sejak lima tahun terakhir.
Hak-hak anak yang berkonflik dengan hukum diatur dalam Pasal 40 KHA (Konvensi Hak Anak) yang berbunyi : “Negara-negara peserta mengakui hak setiap anak yang disangka, dituduh atau diakui sebagai telah melanggar Undang-undang hukum pidana untuk diperlakukan dengan cara yang sesuai dengan peningkatan martabat dan nilai anak, yang memperkuat penghargaan anak pada hak-hak asasi manusia dan kebeasan dasar dari orang lain dengan memperhatikan usia anak dan hasrat untuk meningkatkan penyatuan kembali/reintegrasi anak dan peningkatan peran yang konstruktif dari anak dalam masyarakat”.
Pasal 37 ayat b KHA (Konvensi Hak Anak) yang berbunyi :
“Tidak seorang anakpun akan dirampas kemerdekaannya secara tidak sah dan sewenang-wenang, penangkapan, penahanan ataupun penghukuman seorang anak harus sesuai dengan hukum dan akan diterapkan sebagai upaya terakhir dan untuk jangka waktu yang paling pendek”.
Sedangkan Pasal 37 ayat c KHA (Konvensi Hak Anak) dinyatakan :
“Setiap anak yang dirampas kemerdekaannya akan diperlakukan secara manusiawi dan dihormati martabat kemanusiaanya dan dengan memperhatikan kebutuhan-kebutuhan orang seusianya”.
Di Indonesia hak-hak anak yang berkonflik dengan hukum diatur di dalam Undang-undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak diantaranya mengatur tentang pemeriksaan terhadap anak harus dalam suasana kekeluargaan, setiap anak berhak didampingi oleh penasehat hukum, tempat tahanan anak harus terpisah dari tahanan orang dewasa, penahanan dilakukan setelah sungguh-sungguh mempertimbangkan kepentingan anak dan atau kepentingan masyarakat, hukuman yang diberikan tidak harus di penjara/di tahanan melainkan bisa berupa hukuman tindakan dengan mengembalikan anak ke orangtua atau walinya serta Pasal-pasal lainnya yang cukup memberikan perlindungan terhadap anak yang berkonflik dengan hukum.
Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi manusia pada Pasal 66 juga mengatur hak anak yang berkonflik dengan hukum. Demikian juga dalam Undang-undang perlindungan anak yang baru disahkan pada tanggal 23 September 2002 Pasal 64 mengatur :
1) Perlindungan khusus bagi anak yang berhadapan dengan hukum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59 meliputi anak yang berkonflik dengan hukum dan anak korban tindak pidana merupakan kewajiban dan tanggung jawab pemerintah dan masyarakat.
2) Perlindungan khusus bagi anak yang berhadapan dengan hukum sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilaksanakan melalui :
a. Perlakuan atas anak secara manusiawi dengan martabat dan hak-hak anak.
b. Penyediaan petugas pendamping khusus anak sejak dini;
c. Penjediaan sarana dan prasarana khusus;
d. Penjatuhan sanksi yang tepat untuk kepentingan yang terbaik bagi anak;
e. Pemantauan dan pencatatan terus menerus terhadap perkembangan anak yang berhadapan dengan hukum;
f. Pemberian jaminan untuk mempertahankan hubungan dengan orang tua atau keluarga dan
g. Perlindungan dari pemberian identitas melalui media massa dan untuk menghindari labelisasi.
3) Perlindungan khusus bagi anak yang menjadi korban tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilaksanakan melalui :
a. upaya rehabilitasi, baik dalam lenbaga maupun diluar lembaga;
b. upaya perlindungan dari pemberitaan identitas melalui media massa dan untuk menghindari labelisasi;
c. pemberian jaminan keselamatan bagi saksi korban dan saksi ahli, baik fisik, mental, maupun sosial; dan
d. pemberian aksesibilitas untuk mendapatkan informasi mengenai perkembangan perkara.
Dengan demikian diperlukan berbagai upaya alternatif penyelesaian masalah anak yang berkonflik dengan hukum, selain daripada melalui sistem peradilan pidana anak. Hal ini sejalan dengan prinsip yang dianut Convention of The Right of TheChild (CRC) dan juga sebagaimana telah diadopsi dalam Undang-Undang Nomor 23 tahun 2002 tentang perlindungan anak, khususnya menyangkut prinsip “The Best Interest of The Child” dan Pidana sebagai “The Last Resort”.
Oleh karena itu diperlukan upaya-upaya yang akan memberikan perlindungan khusus kepada anak-anak Indonesia yang berada dalam keadaan sulit tersebut, ke dalam suatu Program Nasional Bagi Anak Indonesia sebagai tindak lanjut Sidang Umum PBB Untuk Anak yang melahirkan deklarasi “ A World Fit For Children “. Dalam perspektif Konvensi Hak Anak atau KHA (Convention The Rights of The Child/CRC), anak yang berkonflik dengan hukum dikategorikan sebagai anak dalam situasi khusus (children in need of special protection/CNSP).
Perlindungan hukum bagi anak dapat diartikan sebagai upaya perlindungan terhadap kebebasan dan hak asasi manusia (fundamental rights and freedom of children). Deklarasi Hak-Hak Anak tahun 1959 dapat dirujuk untuk memaknai prinsip kepentingan terbaik untuk anak. Prinsip kedua menyatakan bahwa anak seharusnya menikmati perlindungan khusus dan diberikan kesempatan dan fasilitas melalui upaya hukum maupun upaya lain sehingga memungkinkan anak terbangun fisik, mental, moral, spiritual dan sosialnya dalam mewujudkan kebebasan dan kehormatan anak.
Upaya perlindungan anak perlu dilaksanakan sedini mungkin, yakni sejak dari janin dalam kandungan sampai anak berumur 18 (delapan belas) tahun. Bertitik tolak dari konsepsi perlindungan anak yang utuh, menyeluruh, dan komprehensif, maka Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak meletakkan kewajiban memberikan perlidungan kepada anak berdasarkan asas-asas sebagai berikut :
1) Nondiskriminasi;
2) Kepentingan yang terbaik bagi anak;
3) Hak untuk hidup, kelangsungan hidup, dan perkembangan; dan
4) Penghargaan terhadap pendapat anak.
Demikian pula halnya jika anak-anak berhadapan dengan hukum, maka potensi hak-haknya dilanggar oleh negara lebih besar ketimbang orang dewasa yang melakukan tindak pidana. Potensi ini dikarenakan anak merupakan sosok manusia yang dalam kehidupannya masih menggantungkan pada intervensi pihak lain. Doktrin Hak Asasi Manusia mengkategorikan kelompok ini sebagai kelompok rentan (vulnerable group). Konsekuensi yuridisnya kelompok ini seharusnya mendapatkan perhatian lebih dari negara. Terkait dengan kelompok tersebut, Kovenan Hak Sipil dan Hak Politik menegaskan bahwa setiap anak berhak untuk mendapatkan hak atas langkah-langkah perlindungan karena statusnya sebagai anak di bawah umur, terhadap keluarga, masyarakat dan negara (Pasal 24 (1)).
Irma Setyowati Soemitri membedakan 2 (dua) pengertian perlindungan anak, yaitu:
1) Perlindungan anak bersifat yuridis yang meliputi bidang hukum publik dan bidang hukum perdata.
2) Perlindungan anak bersifat non yuridis yang meliputi bidang sosial, bidang kesehatan, bidang pendidikan.
Berdasarkan hasil seminar perlindungan anak/remaja oleh Prayuana Pusat pada tanggal 30 Mei 1977, terdapat 2 (dua) perumusan tentang perlindungan anak, yaitu:
1) Segala daya upaya yang dilakukan secara sadar oleh setiap orang maupun lembaga pemerintah dan swasta yang bertujuan mengusahakan pengamanan, penguasaan, pemenuhan kesejahteraan fisik sosial anak dan remaja yang sesuai dengan kepentingan dan hak asasinya.
2) Segala daya upaya bersama yang dilakukan secara sadar oleh perorangan, keluarga, masyarakat, badan-badan pemerintah dan swasta untuk pengamanan, pengadaan, dan pemenuhan kesejahteraan rohaniah dan jasmaniah anak berusia 0-21 tahun, tidak dan belum pernah nikah dengan hak asasi dan kepentingannya agar dapat mengembangkan dirinya seoptimal mungkin".
Berdasarkan studi kasus yang berkaitan dengan uraian diatas adalah Register No. 3472/Pid.B/2008/PN.Mdn yang telah memutuskan Hendra Gunawan Hasibuan als Hendra yang berusia 17 (tujuh belas) tahun pidana penjara selama 2 (dua) tahun karena melanggar 293 (1) Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP).
Berdasarkan surat dakwaan No.Reg Per. DPM- /Rp.9/Ep.1/11/2008 bahwa Hendra Gunawan Hasibuan als Hendra selanjutnya disebut terdakwa pada bulan Januari 2008 bertempat di rumah terdakwa Jl. Pancing V Lk. III Kel. Besar Medan Labuhan dengan hadiah atau perjanjian akan memberi uang atau barang dengan salah memeaki kekuasaan yang timbul dari pergaulan atau dengan memperdayakan dengan sengaja membujuk orang di bawah umur yang tidak bercacat kelakuannya, yang diketahuinya atau patut dapat disangkanya masih di bawah umur, melakukan perbuatan cabul dengan dia, atau membiarkan perbuatan cabul itu dilakukan pada dirinya, perbuatan tersebut dilakukan terdakwa dengan cara :
Pada tanggal 19 Januari 2008 sekitar pukul 14.00 WIB, Naisya Putri selanjutnya disebut korban mendatangi rumah temannya Dewi untuk menagih hutang terdakwa yang belum dibayar sebesar Rp. 25.000,00 (dua puluh lima ribu rupiah). Dengan demikian terdakwa mengajak korban ke rumahnya untuk mengambik uang yang akan di bayarkan ke korban. Pada saat itu korban digauli oleh terdakwa dan mengulangi perbuatannya keesokan harinya di rumah korban, sehingga korban menceritakan kejadian tersebut kepada keluarganya.
Berdasarkan fakta yang terungkap di persidangan, dapat dilihat adanya pembuktian mengenai unsur-unsur tindak pidana pencabulan dan persetubuhan yang di dakwakan kepada terdakwa yaitu dakwaan melanggar Pasal 293 ayat (1) KUHP jo UU RI Nomor 3 Tahun 1997 dengan unsur sebagai berikut :
- Dengan hadiah atau perjanjian akan memberi uang atau barang;
- Dengan salah memakai kekuasaan yang timbul dari pergaulan atau dengan memperdayakan;
- Dengan sengaja membujuk orang di bawah umur yang tidak bercacat kelakuannya.
- Melakukan perbuatan cabul dengan dia, atau membiarkan perbuatan cabul itu dilakukan pada dirinya.
Berdasarkan uraian latar belakang diatas, maka peneliti tertarik untuk meneliti dengan judul “Pembuktian dan Penerapan Hukum Terhadap Tindak Pidana Pencabulan Yang Dilakukan Oleh Anak Berdasarkan Pasal 293 (1) KUHP Jo UU No.3 Tahun 1997 (Studi Kasus No. 3472/Pid.B/2008/PN.Mdn)
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas, yang menjadi rumusan masalah dalam penelitian ini, yaitu :
1. Bagaimanakah perlindungan hukum bagi anak sebagai pelaku kejahatan tindak pidana pencabulan ?
2. Bagaimanakah pembuktian dan penerapan hukum terhadap pelaku tindak pidana pencabulan yang dilakukan oleh anak ?
C. Tujuan Penelitian
Merujuk kepada permasalahan yang diterangkan di atas, maka tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian :
1. Untuk mengetahui perlindungan hukum bagi anak sebagai pelaku kejahatan tindak pidana pencabulan.
2. Untuk mengetahui pembuktian dan penerapan hukum terhadap pelaku tindak pidana pencabulan yang dilakukan oleh anak.
D. Manfaat Penelitian
Manfaat secara teoritis :
1. Memberikan ilmu pengetahuan bagi mahasiswa Fakultas Hukum dalam mempelajari hukum pidana.
2. Memberikan hasil analisa putusan Majelis Hakim berupa studi kasus penelitian.
Manfaat secara praktis :
1. Memberikan kontribusi bagi masyarakat dalam perlindungan hukum terhadap anak menurut peraturan perundang-undangan.
2. Memberikan masukan kepada instansi terkait dalam memberikan perlindungan hukum terhadap anak menurut perundang-undangan.
DAFTAR PUSTAKA
Arikunto, Suharsimi, Prosedur Penelitian Pendekatan Praktis, Jakarta : Rineka Cipta, 1993
Atmasamita, Romli, Kriminologi, Bandung : Mandar Maju, 1997
Dirjosisworo, Soejono, Sinopsis Kriminologi Indonesia, Bandung : Mandar Maju 1994
Manan, Bagir, Peradilan Anak di Indonesia, Bandung : Mandar Maju, 1997
Marzuki, Peter, Penelitian Hukum, Jakarta : Kencana Prenada Media, 2005
Maulana, Hasan Wadong, Advokasi Anak dan Hukum Perlindungan Anak, Jakarta : Gramedia, 2000
Nawawi, Hadari, Sumber Data Penelitian, Jakarta : Gramedia, 1997
Prinst, Darwan, Hukum Anak Indonesia, Bandung : Citra Aditya Bakti, 1997
Rahardjo, Satjipto, Ilmu Hukum, Bandung : Citra Aditya Bakti, 1996
Shidarta, Karakteristik Penalaran Hukum Dalam Konteks ke Indonesiaan, Bandung : Utomo, 2006
Soemitro, Irma Setyowati, Aspek Hukum Perlindungan Anak, Jakarta : Bumi Aksara, 1990
Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, Jakarta : Raja Grafindo Persada, 1995
Label:
anak,
hukum,
medan,
pembuktian,
pencabulan,
penerapan
“PENERAPAN HUKUM BAGI ANGGOTA POLRI YANG MELAKUKAN TINDAK PIDANA DIKAITKAN DENGAN UU NO. 2 TAHUN 2002 TENTANG KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA”
A. Latar Belakang
Perkembangan masyarakat dewasa ini menuntut kebutuhan akan kepastian akan hukum. Desakan akan terciptanya kepastian hukum datang tidak hanya dari masyarakat kelas bawah, tetapi juga dari masyarakat kelas menengah dan masyarakat kelas atas. Peningkatan kebutuhan akan kepastian hukum pada masyarakat ini menuntut penegak hukum (Polisi, Jaksa, Hakim, termasuk Advokat) serta para pembuat peraturan perundang-undangan untuk lebih profesional dalam menjalankan tugasnya.
Di dalam memori penjelasan Undang-Undang Dasar 1945 disebutkan bahwa negara kita adalah Negara yang berdasarkan akan hukum (recht staat) dan tidak atas kekuasaan belaka (macht staat). Lalu bagaimana dengan penegak hukum kita dalam meningkatkan dirinya untuk lebih profesional terutama Polri, sebagai aparat penegak hukum yang langsung berhubungan dengan masyarakat.
Dengan status Polri yang masih tergabung dengan Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (sekarang Tentara Nasional Indonesia) sebelum dikeluarkan Ketetapan MPR No. VI/MPR/2000 tentang Peran Tentara Nasional Indonesia dan Peran Kepolisian Republik Indonesia.
Kebijakan pemerintah dalam bidang pertahanan dan keamanan yang menggabungkan Angkatan Darat, Angkatan Laut, Angkatan Udara dan Polri dalam Angkatan Bersenjata Republik Indonesia dirasakan sudah tidak sesuai lagi dengan keadaan masyarakat saat ini. Dengan penggabungan tersebut terjadi keracuan dan tumpang tindih antara peran dan fungsi Angkatan Darat, Angkatan Laut, Angkatan Udara Republik Indonesia sebagai kekuatan pertahanan Negara dengan peran dan tugas Polri sebagai kekuatan keamanan dan ketertiban masyarakat. Demikian pula peran sosial dan politik dalam Dwi Fungsi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia dan berakibat tidak berkembangnya sendi-sendi demokrasi dalam kehidupan berbangsa, bermasyarakat dan bernegara.
Sebagaimana diuraikan diatas, penggabungan tersebut jelas mempengaruhi kinerja anggota Polri dalam menjalankan tugasnya, karena belum terdapatnya Kepolisian yang independent dalam menjalankan tugasnya tanpa campu tangan pihak manapun atau intervensi.
Adanya desakan dari masyarakat yang menginginkan agar terjadi pemisahan antara Polri dengan Angkatan Bersenjata Republik Indonesia sebagai Lembaga Legislatif yang menampung aspirasi rakyat mengeluarkan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia (TAP MPR) Nomor VI/MPR/2000 Tentang pemisahan Tentara Republik Indonesia (Angkatan Darat, Angkatan Laut, Angkatan Udara dan Kepolisian Republik Indonesia menjadi berdiri sendiri, dibawah Presiden. Adapun peran dan fungsi dari Kepolisian Republik Indonesia tersebut diatur dalam Ketetapan Majelis Permusyawaratan Republik Indonesia (TAP MPR) Nomor VII/MPR/2000 Tentang Peran Tentara Nasional Indonesia dan Peran Kepolisian Republik Indonesia.
Pengaturan lebih lanjut mengenai Kepolisian Negara Indonesia diatur dalam Undang-Undang No. 2 Tahun 2002. Undang-Undang tersebut mengatur fungsi dan tujuan Kepolisian Negara Republik Indonesia, Susunan dan kedudukan Kepolisian Negara Republik Indonesia, Tugas dan Wewenang Kepolisian Negara Republik, Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia, Pembinaan Profesi, Lembaga Kepolisian Nasional, Bantuan, Hubungan dan Kerjasama dengan badan atau instansi lain.
Dengan adanya pemisahan Kepolisian Negara Republik Indonesia dari Tentara Nasional Indonesia tunduk kepada Peradilan Umum, dimana sebelumnya anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia tunduk kepada peradilan militer. Selain itu terhadap anggota Kepolisian juga berlaku Peraturan Disiplin dan Kode Etik Profesi Kepolisian. Dimana pelanggaran terhadap Peraturan Disiplin dan Kode Etik Profesi Kepolisian diselesaikan melalui Sidang Disiplin dan Sidang Komisi Kode Etik Profesi.
Seorang anggota Polri jika melakukan pelanggaran harus menghadapi 3 (tiga) proses persidangan, yaitu Sidang Disiplin dan Sidang Kode Etik serta Peradilan Umum dalam hal ini perkara pidana. Penerapan hukum bagaimanakah yang didahulukan bila seorang anggota Polri melakukan tindak pidana, dan perbuatan tersebut dapat diadili dalam persidangan tersebut? Karena di dalam Undang-Undang No. 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia tidak disebutkan secara jelas proses manakah yang didahulukan. Ada 2 (dua) pandangan yaitu:
1. Peradilan pidana sebagai “ultimatum remidium”, dan badan disiplin sebagai proses hukum yang utama.
2. Peradilan pidana mengenyampingkan badan-badan disiplin yang menyelesaikan pelanggaran disiplin.
Berlakunya ketiga persidangan terhadap anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia, menyebabkan terjadinya kerancuan dalam hal penerapan hukum mana yang di dahulukan apabila perbuatan melanggar hukum yang dilakukan anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia.
Berdasarkan uraian diatas maka penulis tertarik untuk mengkajinya dalam penulisan skripsi dengan judul: “PENERAPAN HUKUM BAGI ANGGOTA POLRI YANG MELAKUKAN TINDAK PIDANA DIKAITKAN DENGAN UU NO. 2 TAHUN 2002 TENTANG KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA”
B. Perumusan Masalah
Masalah yang akan diteliti dalam penelitian ini adalah:
Bagaimanakah proses peradilan bagi anggota Polri yang melakukan tindak pidana?
C. Tujuan Penelitian
Berdasarkan perumusan permasalahan masalah yang penulis sebutkan diatas maka tujuan penelitian adalah sebagai berikut:
Untuk mengetahui proses peradilan bagi anggota Polri yang melakukan tindak pidana.
D. Manfaat Penelitian
Manfaat penelitian yang dilakukan oleh penulis adalah menambah pengetahuan dan informasi dalam penerapan hukum yang sesuai bagi anggota Polri yang melakukan tindak pidana kepada bidang ilmu dan masyarakat, serta sebagai masukan kepada pemerintah untuk membuat kebijakan di bidang perundang-undangan.
Perkembangan masyarakat dewasa ini menuntut kebutuhan akan kepastian akan hukum. Desakan akan terciptanya kepastian hukum datang tidak hanya dari masyarakat kelas bawah, tetapi juga dari masyarakat kelas menengah dan masyarakat kelas atas. Peningkatan kebutuhan akan kepastian hukum pada masyarakat ini menuntut penegak hukum (Polisi, Jaksa, Hakim, termasuk Advokat) serta para pembuat peraturan perundang-undangan untuk lebih profesional dalam menjalankan tugasnya.
Di dalam memori penjelasan Undang-Undang Dasar 1945 disebutkan bahwa negara kita adalah Negara yang berdasarkan akan hukum (recht staat) dan tidak atas kekuasaan belaka (macht staat). Lalu bagaimana dengan penegak hukum kita dalam meningkatkan dirinya untuk lebih profesional terutama Polri, sebagai aparat penegak hukum yang langsung berhubungan dengan masyarakat.
Dengan status Polri yang masih tergabung dengan Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (sekarang Tentara Nasional Indonesia) sebelum dikeluarkan Ketetapan MPR No. VI/MPR/2000 tentang Peran Tentara Nasional Indonesia dan Peran Kepolisian Republik Indonesia.
Kebijakan pemerintah dalam bidang pertahanan dan keamanan yang menggabungkan Angkatan Darat, Angkatan Laut, Angkatan Udara dan Polri dalam Angkatan Bersenjata Republik Indonesia dirasakan sudah tidak sesuai lagi dengan keadaan masyarakat saat ini. Dengan penggabungan tersebut terjadi keracuan dan tumpang tindih antara peran dan fungsi Angkatan Darat, Angkatan Laut, Angkatan Udara Republik Indonesia sebagai kekuatan pertahanan Negara dengan peran dan tugas Polri sebagai kekuatan keamanan dan ketertiban masyarakat. Demikian pula peran sosial dan politik dalam Dwi Fungsi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia dan berakibat tidak berkembangnya sendi-sendi demokrasi dalam kehidupan berbangsa, bermasyarakat dan bernegara.
Sebagaimana diuraikan diatas, penggabungan tersebut jelas mempengaruhi kinerja anggota Polri dalam menjalankan tugasnya, karena belum terdapatnya Kepolisian yang independent dalam menjalankan tugasnya tanpa campu tangan pihak manapun atau intervensi.
Adanya desakan dari masyarakat yang menginginkan agar terjadi pemisahan antara Polri dengan Angkatan Bersenjata Republik Indonesia sebagai Lembaga Legislatif yang menampung aspirasi rakyat mengeluarkan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia (TAP MPR) Nomor VI/MPR/2000 Tentang pemisahan Tentara Republik Indonesia (Angkatan Darat, Angkatan Laut, Angkatan Udara dan Kepolisian Republik Indonesia menjadi berdiri sendiri, dibawah Presiden. Adapun peran dan fungsi dari Kepolisian Republik Indonesia tersebut diatur dalam Ketetapan Majelis Permusyawaratan Republik Indonesia (TAP MPR) Nomor VII/MPR/2000 Tentang Peran Tentara Nasional Indonesia dan Peran Kepolisian Republik Indonesia.
Pengaturan lebih lanjut mengenai Kepolisian Negara Indonesia diatur dalam Undang-Undang No. 2 Tahun 2002. Undang-Undang tersebut mengatur fungsi dan tujuan Kepolisian Negara Republik Indonesia, Susunan dan kedudukan Kepolisian Negara Republik Indonesia, Tugas dan Wewenang Kepolisian Negara Republik, Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia, Pembinaan Profesi, Lembaga Kepolisian Nasional, Bantuan, Hubungan dan Kerjasama dengan badan atau instansi lain.
Dengan adanya pemisahan Kepolisian Negara Republik Indonesia dari Tentara Nasional Indonesia tunduk kepada Peradilan Umum, dimana sebelumnya anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia tunduk kepada peradilan militer. Selain itu terhadap anggota Kepolisian juga berlaku Peraturan Disiplin dan Kode Etik Profesi Kepolisian. Dimana pelanggaran terhadap Peraturan Disiplin dan Kode Etik Profesi Kepolisian diselesaikan melalui Sidang Disiplin dan Sidang Komisi Kode Etik Profesi.
Seorang anggota Polri jika melakukan pelanggaran harus menghadapi 3 (tiga) proses persidangan, yaitu Sidang Disiplin dan Sidang Kode Etik serta Peradilan Umum dalam hal ini perkara pidana. Penerapan hukum bagaimanakah yang didahulukan bila seorang anggota Polri melakukan tindak pidana, dan perbuatan tersebut dapat diadili dalam persidangan tersebut? Karena di dalam Undang-Undang No. 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia tidak disebutkan secara jelas proses manakah yang didahulukan. Ada 2 (dua) pandangan yaitu:
1. Peradilan pidana sebagai “ultimatum remidium”, dan badan disiplin sebagai proses hukum yang utama.
2. Peradilan pidana mengenyampingkan badan-badan disiplin yang menyelesaikan pelanggaran disiplin.
Berlakunya ketiga persidangan terhadap anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia, menyebabkan terjadinya kerancuan dalam hal penerapan hukum mana yang di dahulukan apabila perbuatan melanggar hukum yang dilakukan anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia.
Berdasarkan uraian diatas maka penulis tertarik untuk mengkajinya dalam penulisan skripsi dengan judul: “PENERAPAN HUKUM BAGI ANGGOTA POLRI YANG MELAKUKAN TINDAK PIDANA DIKAITKAN DENGAN UU NO. 2 TAHUN 2002 TENTANG KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA”
B. Perumusan Masalah
Masalah yang akan diteliti dalam penelitian ini adalah:
Bagaimanakah proses peradilan bagi anggota Polri yang melakukan tindak pidana?
C. Tujuan Penelitian
Berdasarkan perumusan permasalahan masalah yang penulis sebutkan diatas maka tujuan penelitian adalah sebagai berikut:
Untuk mengetahui proses peradilan bagi anggota Polri yang melakukan tindak pidana.
D. Manfaat Penelitian
Manfaat penelitian yang dilakukan oleh penulis adalah menambah pengetahuan dan informasi dalam penerapan hukum yang sesuai bagi anggota Polri yang melakukan tindak pidana kepada bidang ilmu dan masyarakat, serta sebagai masukan kepada pemerintah untuk membuat kebijakan di bidang perundang-undangan.
Analisis Tindak Pidana Kekerasan Yang Dilakukan Secara Bersama-Sama Terhadap Pegawai Negeri Yang Secara Sah Sedang Menjalankan Tugas Jabatannya (Studi
A. Latar Belakang
Secara yuridis pengertian kejahatan adalah suatu perbuatan tingkah laku manusia yang bertentangan dengan undang-undang. Untuk dapat melihat apakah perbuatan/kejahatan itu bertentangan dengan undang-undang. Maka undang-undang tersebut harus diciptakan terlebih dahulu sebelum adanya perbuatan tersebut.
Gejala kejahatan merupakan suatu konstruksi sosial yaitu pada waktu suatu masyarakat menetapkan bahwa sejumlah perilaku dan orang dinyatakan sebagai kejahatan dan penjahat. Dengan demikian kejahatan dan penjahat bukanlah gejala yang secara bebas dan objektif dapat dipelajari para ilmuwan, karena gejala ini hanya ada kalau ditentukan demikian oleh masyarakat (Reksodiputro, 1994 : 84)
Namun demikian apabila suatu perilaku telah ditentukan atau sudah dibakukan bentuknya dalam suatu perundang-undangan, seperti Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, maka perilaku jahat disebut dengan perbuatan pidana atau tindak pidana. Selanjutnya yang perlu diperhatikan adalah : apa sebabnya orang melakukan perbuatan jahat tersebut. Dengan mengetahui latar belakang orang melakukan kejahatan atau latar belakang terjadinya kejahatan ini diharapkan dapat diketahui cara yang tepat untuk mencegah atau menanggulangi kejahatan tersebut. Sudah sejak lama orang mengkaji dan mengadakan penyelidikan untuk mengetahui latar belakang yang menyebabkan terjadinya suatu kejahatan. Dan untuk itu pula sudah banyak para ahli masyarakat mengemukakan teori-teori tentang sebab-sebab kejahatan ini dan sekaligus juga mencoba menguraikan pendapat untuk mencegah atau mengurangi kejahatan tersebut.
Studi kejahatan sebagai gejala sosial perlu juga diketahui cara penanggulangannya, meskipun kita memahami masalah kejahatan dan cara penanggulangannya timbul dan ditentukan oleh masyarakat itu sendiri. Salah satu kebijakan dalam hal menanggulangi masalah kejahatan adalah kebijakan kriminal atau politik kriminil. Politik kriminil atau juga disebut criminil policy adalah sebagian dari kebijakan sosial dalam hal menanggulangi masalah kejahatan dalam masyarakat. Baik dengan sarana penal maupun yang non penal, untuk mencapai tujuannya yaitu kesejahteraan masyarakat. (Arif, 1992 : 3)
Dalam hal menggunakan sarana penal, tidak lain adalah dengan cara menggunakan hukum pidana sebagai sarana utamanya, baik hukum pidana materil, hukum pidana formil maupun hukum pelaksanaan pidana yang dilaksanakan melalui sistem peradilan pidana untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu. Tujuan-tujuan tersebut dalam jangka pendek adalah rasosialisasi (memasyarakatkan kembali) pelaku tindak pidana, jangka menengah adalah untuk mencegah kejahatan dan jangka panjang yang merupakan tujuan akhir adalah untuk mencapai kesejahteraan sosial.
Dengan demikian, hukum pidana disini berfungsi ganda yakni yang primer sebagai sarana penanggulangan kejahatan yang rasional (sebagai bagian politik kriminil) dan yang sekunder ialah sebagai sarana pengaturan tentang kontrol sosial sebagaimana dilaksanakan secara spontan atau secara oleh negara untuk mencapai kesejahteraan sosial. (Muladi, 1985:5)
Dalam hal menggunakan secara non penal usaha-usaha yang dapat dilakukan meliputi bidang yang sangat luas sekali diseluruh sektor kebijakan sosial. Usaha-usaha non penal ini misalnya penyantunan dan pendidikan sosial dalam rangka mengembangkan tanggung jawab sosial masyarakat. Penggarapan kesehatan jiwa masyarakat melalui pendidikan moral, agama dan sebagainya. Peningkatan usaha-usaha kesejahteraan anak dan remaja, kegiatan patroli dan pengawasan lainnya secara kontinyu oleh polisi dan aparat keamanan lainnya dan sebagainya (Muladi, 1984:159)
Hal ini dapat dilihat misalnya dengan cara “menggaruk” dan merazia para preman yang lagi ngumpul-ngumpul dijalanan, dan selanjutnya memberikan pendidikan sosial, latihan keterampilan, baik yang dilakukan oleh kepolisian, angkatan darat, maupun lembaga-lembaga lainnya, bahkan dengan cara mentransmigrasikan mereka. Tujuan utama dari usaha-usaha ini adalah memperbaiki kondisi-kondisi sosial tertentu, namun secara tidak langsung mempunyai pengaruh preventif terhadap kejahatan yang dilakukan oleh para preman tersebut.
Sebagaimana telah diuraikan sebelumnya bahwa penyebab orang melakukan kejahatan tersebut adalah faktor individu/pribadi dari orang yang bersangkutan dan faktor lingkungan alam dan masyarakat sekitarnya. Oleh karenanya untuk menanggulangi kejahatan ini dua faktor tersebut harus diperhatikan dengan seksama. Demikian pula halnya untuk menanggulangi masalah preman ini, kedua faktor tersebut juga harus mendapat perhatian. Kita tidak boleh hanya memperhatikan faktor lingkungan dari preman itu saja, misalnya dengan cara mentransmigrasikan mereka sehingga terhindar dari lingkungannya semula, akan tetapi faktor individu dari preman tersebut juga harus diperhatikan, misalnya dengan cara memberikan pendidikan moral jiwa preman tersebut melalui lembaga-lembaga keagamaan dan sebagainya.
Di sisi lain kemungkinan preman tersebut tidak mempunyai pekerjaan tetap sesuai dengan keterampilannya atau mungkin preman tersebut tidak mempunyai keterampilan sama sekali sehingga mereka mencari pekerjaan dengan “jalan pintas” (menodong, merampok, atau menjual narkoba). Dalam hal seperti inilah diperlukan keterampilan dan lapangan pekerjaan untuk mereka, apabila perlu dengan pendidikan paksa dan kerja paksa dalam jangka waktu tertentu; dengan catatan selama jangka waktu tertentu mereka diberikan upah yang layak/memadai. (Sudarto, 1986 : 36)
Penggunaan hukum pidana harus memperhatikan tujuan pembangunan nasional yaitu mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur merata materil dan spirituil berdasarkan Pancasila. Hukum pidana harus bertugas dan bertujuan untuk menanggulangi kejahatan, demi kesejahteraan dan pengayoman masyarakat. Perbuatan yang diusahakan untuk dicegah atau ditanggulangi oleh hukum pidana adalah perbuatan-perbuatan yang tidak dikehendaki, yaitu perbuatan yang mendatangkan kerugian atas warga masyarakat. Perbuatan yang tidak merugi tidaklah boleh ditetapkan sebagai perbuatan yang tidak dikehendaki, meskipun tidak semua perbuatan yang merugikan perlu dicegah dengan menggunakan hukum pidana.
Usaha untuk mencegah suatu perbuatan dengan menggunakan sarana hukum pidana, dengan sanksi yang negatif berupa pidana, perlu disertai perhitungan biaya yang akan dikeluarkan dan hasil yang diharapkan akan tercapai. Penggunaan hukum pidana harus pula memperhatikan kapasitas dan kemampuan daya kerja dari badan-badan penegak hukum, jangan sampai kelampauan beban tugas (overbelasting), hal mana akan mengakibatkan efek dari peraturan itu akan menjadi kurang.
Jika dilihat pada isi KUHP Indonesia saat ini bahwa Buku II KUHP dengan empat buah bab pertama mengatur apa yang di dalam doktrin sering disebut dengan staatkundige misdrijven atau kejahatan-kejahatan ketatanegaraan. Sebagaimana yang diatur dalam KUHP, pasal-pasal pidana dalam konteks proteksi negara tersebut dirumuskan dalam berbagai klasifikasi kejahatan, yaitu:
1) Kejahatan terhadap keamanan negara (misdrijven tegen veiligheid van de staat), dimuat dalam BAB I Buku II KUHP mulai Pasal 104 sampai dengan Pasal 129).
2) Kejahatan terhadap martabat Presiden dan Wakil Presiden, yang diatur dalam BAB II Buku II dari Pasal 130 –139.
3) Kejahatan yang terkait dengan pelaksanaan kewajiban dan hak kenegaraan pada BAB III Buku II Pasal 146-152.
4) Kejahatan yang masuk dalam kategori kejahatan terhadap ketertiban umum di BAB IV Pasal 154-169.
5) Kejahatan terhadap kekuasaan umum dalam BAB IV Pasal 207-233.
Berdasarkan uraian diatas, peneliti tertarik untuk menganalisa putusan No. 1477/Pid.B/2006/PN.Medan yang mengenakan Pasal 214 ayat (1)KUHP dengan unsur-unsurnya, yaitu:
1) Barang siapa;
Rumusan “barang siapa” dalam hukum pidana adalah untuk menentukan subjek hukum atau pelaku tindak pidana. Pengertian “barang siapa” adalah siapa saja dalam hal ini adalah orang yaitu terdakwa menurut fakta-fakta hukum yang diperoleh di persidangan yaitu Abdul Rahman als. Pak Ketong dan terdakwa Fatimah sebagai pelaku dan membenarkan identitasnya dalam keadaan sehat dan perbuatannya dapat dipertanggungjawabkan, maka unsur “barang siapa” telah terbukti dan terpenuhi secara sah dan meyakinkan.
2) Dengan kekerasan atau ancaman kekerasan;
Berdasarkan fakta-fakta hukum yang diperoleh di persidangan bahwa terdakwa Abdul Rahman als Pak Ketong dan terdakwa Fatimah masuk kedalam kedai dimana para tersangka narkotika berada di dalam kedai, lalu terdakwa Abdul Rahman als Pak Ketong naik ke atas meja kedai kemudian terdakwa Abdul Rahman als Pak Ketong mengatakan, “mana barang buktinya, jangan suka-suka kalian nangkap disini” lalu terdakwa Abdul Rahman als Pak Ketong menyorong tubuh saksi P.Samosir dan merampas barang bukti rokok yang bercampur daun ganja tersebut dari tangan saksi P.samosir kemudian terdakwa Fatimah menarik dan mencakar tangan sehingga saksi P.Samosir hampir terjatuh.
3) Melawan seorang Pegawai Negeri dalam melaksanakan tugas jabatannya.
Berdasarkan fakta-fakta hukum yang diperoleh di persidangan bahwa saksi korban P.Samosir adalah anggota Polsek Belawan yang pada saat kejadian tindak pidana dilakukan terdakwa-terdakwa sedang bertugas di wilayah hukum Polsek Belawan.
Berdasarkan uraian latar belakang diatas, maka peneliti tertarik dengan judul “Analisis Tindak Pidana Kekerasan Yang Dilakukan Secara Bersama-Sama Terhadap Pegawai Negeri Yang Secara Sah Sedang Menjalankan Tugas Jabatannya (Studi Kasus Putusan No. 1477/Pid.B/2006/PN.Medan).
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas, yang menjadi rumusan masalah dalam penelitian ini, yaitu :
1. Bagaimanakah hubungan BAP, dakwaan, dan putusan Hakim bila dipertentangkan dengan pendapat penasehat hukum dan ilmu hukum pidana?
C. Manfaat Penelitian
1. Manfaat secara teoritis :
a. Memberikan manfaat secara teori bagi mahasiswa Fakultas Hukum dalam mempelajari hukum pidana.
b. Menganalisa putusan Majelis Hakim berupa studi kasus Putusan No. 1477/Pid.B/2006/PN.Medan.
2. Manfaat secara praktis :
a. Memberikan masukan bagi Pegawai Negeri dalam melaksanakan tugasnya di lapangan sehingga tindak pidana dapat diminimalisir.
b. Memberikan masukan kepada masyarakat umum untuk menghormati dan menghargai Pegawai Negeri dalam melaksanakan tugasnya di lapangan.
D. Tujuan Penelitian
Merujuk kepada permasalahan yang diterangkan di atas, maka tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian ini ialah:
1. Untuk mengetahui hubungan BAP, dakwaan, dan putusan Hakim bila dipertentangkan dengan pendapat penasehat hukum dan ilmu hukum pidana.
DAFTAR PUSTAKA
Arief, Barda Nawawi, Bahan Bacaan Politik Hukum Pidana, Jakarta : Pasca Sarjana Universitas Indonesia, 1992
Black, Henry Campbell, Black`s Law Dictionary, Boston : West Publishing Co, 1979
Depdikbud, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta : Balai Pustaka, 1985
Ediwarman, Preman Dan Kejahatan Di Tinjau dari Sudut Kriminologi, Makalah, Medan : Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, 1995
Hasibuan, Ridwan, Kriminologi Dalam Arti Sempit Dan Ilmu-Ilmu Forensik, Makalah, Semarang : Fakultas Hukum Undip, 1994
Muladi dan Barda Nawawi, Teori-teori dan Kebijakan Pidana, Bandung : Alumni, 1984
Reksodiputro, Mardjono, Kriminologi Dan Sistem Peradilan Pidana, Kumpulan Karangan Buku Kedua, Jakarta : Pusat Pelayanan Keadilan dan Pengabdian Hukum, 1994
Sudarto, Hukum Dan Hukum Pidana, Bandung : Alumni, 1984
Secara yuridis pengertian kejahatan adalah suatu perbuatan tingkah laku manusia yang bertentangan dengan undang-undang. Untuk dapat melihat apakah perbuatan/kejahatan itu bertentangan dengan undang-undang. Maka undang-undang tersebut harus diciptakan terlebih dahulu sebelum adanya perbuatan tersebut.
Gejala kejahatan merupakan suatu konstruksi sosial yaitu pada waktu suatu masyarakat menetapkan bahwa sejumlah perilaku dan orang dinyatakan sebagai kejahatan dan penjahat. Dengan demikian kejahatan dan penjahat bukanlah gejala yang secara bebas dan objektif dapat dipelajari para ilmuwan, karena gejala ini hanya ada kalau ditentukan demikian oleh masyarakat (Reksodiputro, 1994 : 84)
Namun demikian apabila suatu perilaku telah ditentukan atau sudah dibakukan bentuknya dalam suatu perundang-undangan, seperti Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, maka perilaku jahat disebut dengan perbuatan pidana atau tindak pidana. Selanjutnya yang perlu diperhatikan adalah : apa sebabnya orang melakukan perbuatan jahat tersebut. Dengan mengetahui latar belakang orang melakukan kejahatan atau latar belakang terjadinya kejahatan ini diharapkan dapat diketahui cara yang tepat untuk mencegah atau menanggulangi kejahatan tersebut. Sudah sejak lama orang mengkaji dan mengadakan penyelidikan untuk mengetahui latar belakang yang menyebabkan terjadinya suatu kejahatan. Dan untuk itu pula sudah banyak para ahli masyarakat mengemukakan teori-teori tentang sebab-sebab kejahatan ini dan sekaligus juga mencoba menguraikan pendapat untuk mencegah atau mengurangi kejahatan tersebut.
Studi kejahatan sebagai gejala sosial perlu juga diketahui cara penanggulangannya, meskipun kita memahami masalah kejahatan dan cara penanggulangannya timbul dan ditentukan oleh masyarakat itu sendiri. Salah satu kebijakan dalam hal menanggulangi masalah kejahatan adalah kebijakan kriminal atau politik kriminil. Politik kriminil atau juga disebut criminil policy adalah sebagian dari kebijakan sosial dalam hal menanggulangi masalah kejahatan dalam masyarakat. Baik dengan sarana penal maupun yang non penal, untuk mencapai tujuannya yaitu kesejahteraan masyarakat. (Arif, 1992 : 3)
Dalam hal menggunakan sarana penal, tidak lain adalah dengan cara menggunakan hukum pidana sebagai sarana utamanya, baik hukum pidana materil, hukum pidana formil maupun hukum pelaksanaan pidana yang dilaksanakan melalui sistem peradilan pidana untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu. Tujuan-tujuan tersebut dalam jangka pendek adalah rasosialisasi (memasyarakatkan kembali) pelaku tindak pidana, jangka menengah adalah untuk mencegah kejahatan dan jangka panjang yang merupakan tujuan akhir adalah untuk mencapai kesejahteraan sosial.
Dengan demikian, hukum pidana disini berfungsi ganda yakni yang primer sebagai sarana penanggulangan kejahatan yang rasional (sebagai bagian politik kriminil) dan yang sekunder ialah sebagai sarana pengaturan tentang kontrol sosial sebagaimana dilaksanakan secara spontan atau secara oleh negara untuk mencapai kesejahteraan sosial. (Muladi, 1985:5)
Dalam hal menggunakan secara non penal usaha-usaha yang dapat dilakukan meliputi bidang yang sangat luas sekali diseluruh sektor kebijakan sosial. Usaha-usaha non penal ini misalnya penyantunan dan pendidikan sosial dalam rangka mengembangkan tanggung jawab sosial masyarakat. Penggarapan kesehatan jiwa masyarakat melalui pendidikan moral, agama dan sebagainya. Peningkatan usaha-usaha kesejahteraan anak dan remaja, kegiatan patroli dan pengawasan lainnya secara kontinyu oleh polisi dan aparat keamanan lainnya dan sebagainya (Muladi, 1984:159)
Hal ini dapat dilihat misalnya dengan cara “menggaruk” dan merazia para preman yang lagi ngumpul-ngumpul dijalanan, dan selanjutnya memberikan pendidikan sosial, latihan keterampilan, baik yang dilakukan oleh kepolisian, angkatan darat, maupun lembaga-lembaga lainnya, bahkan dengan cara mentransmigrasikan mereka. Tujuan utama dari usaha-usaha ini adalah memperbaiki kondisi-kondisi sosial tertentu, namun secara tidak langsung mempunyai pengaruh preventif terhadap kejahatan yang dilakukan oleh para preman tersebut.
Sebagaimana telah diuraikan sebelumnya bahwa penyebab orang melakukan kejahatan tersebut adalah faktor individu/pribadi dari orang yang bersangkutan dan faktor lingkungan alam dan masyarakat sekitarnya. Oleh karenanya untuk menanggulangi kejahatan ini dua faktor tersebut harus diperhatikan dengan seksama. Demikian pula halnya untuk menanggulangi masalah preman ini, kedua faktor tersebut juga harus mendapat perhatian. Kita tidak boleh hanya memperhatikan faktor lingkungan dari preman itu saja, misalnya dengan cara mentransmigrasikan mereka sehingga terhindar dari lingkungannya semula, akan tetapi faktor individu dari preman tersebut juga harus diperhatikan, misalnya dengan cara memberikan pendidikan moral jiwa preman tersebut melalui lembaga-lembaga keagamaan dan sebagainya.
Di sisi lain kemungkinan preman tersebut tidak mempunyai pekerjaan tetap sesuai dengan keterampilannya atau mungkin preman tersebut tidak mempunyai keterampilan sama sekali sehingga mereka mencari pekerjaan dengan “jalan pintas” (menodong, merampok, atau menjual narkoba). Dalam hal seperti inilah diperlukan keterampilan dan lapangan pekerjaan untuk mereka, apabila perlu dengan pendidikan paksa dan kerja paksa dalam jangka waktu tertentu; dengan catatan selama jangka waktu tertentu mereka diberikan upah yang layak/memadai. (Sudarto, 1986 : 36)
Penggunaan hukum pidana harus memperhatikan tujuan pembangunan nasional yaitu mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur merata materil dan spirituil berdasarkan Pancasila. Hukum pidana harus bertugas dan bertujuan untuk menanggulangi kejahatan, demi kesejahteraan dan pengayoman masyarakat. Perbuatan yang diusahakan untuk dicegah atau ditanggulangi oleh hukum pidana adalah perbuatan-perbuatan yang tidak dikehendaki, yaitu perbuatan yang mendatangkan kerugian atas warga masyarakat. Perbuatan yang tidak merugi tidaklah boleh ditetapkan sebagai perbuatan yang tidak dikehendaki, meskipun tidak semua perbuatan yang merugikan perlu dicegah dengan menggunakan hukum pidana.
Usaha untuk mencegah suatu perbuatan dengan menggunakan sarana hukum pidana, dengan sanksi yang negatif berupa pidana, perlu disertai perhitungan biaya yang akan dikeluarkan dan hasil yang diharapkan akan tercapai. Penggunaan hukum pidana harus pula memperhatikan kapasitas dan kemampuan daya kerja dari badan-badan penegak hukum, jangan sampai kelampauan beban tugas (overbelasting), hal mana akan mengakibatkan efek dari peraturan itu akan menjadi kurang.
Jika dilihat pada isi KUHP Indonesia saat ini bahwa Buku II KUHP dengan empat buah bab pertama mengatur apa yang di dalam doktrin sering disebut dengan staatkundige misdrijven atau kejahatan-kejahatan ketatanegaraan. Sebagaimana yang diatur dalam KUHP, pasal-pasal pidana dalam konteks proteksi negara tersebut dirumuskan dalam berbagai klasifikasi kejahatan, yaitu:
1) Kejahatan terhadap keamanan negara (misdrijven tegen veiligheid van de staat), dimuat dalam BAB I Buku II KUHP mulai Pasal 104 sampai dengan Pasal 129).
2) Kejahatan terhadap martabat Presiden dan Wakil Presiden, yang diatur dalam BAB II Buku II dari Pasal 130 –139.
3) Kejahatan yang terkait dengan pelaksanaan kewajiban dan hak kenegaraan pada BAB III Buku II Pasal 146-152.
4) Kejahatan yang masuk dalam kategori kejahatan terhadap ketertiban umum di BAB IV Pasal 154-169.
5) Kejahatan terhadap kekuasaan umum dalam BAB IV Pasal 207-233.
Berdasarkan uraian diatas, peneliti tertarik untuk menganalisa putusan No. 1477/Pid.B/2006/PN.Medan yang mengenakan Pasal 214 ayat (1)KUHP dengan unsur-unsurnya, yaitu:
1) Barang siapa;
Rumusan “barang siapa” dalam hukum pidana adalah untuk menentukan subjek hukum atau pelaku tindak pidana. Pengertian “barang siapa” adalah siapa saja dalam hal ini adalah orang yaitu terdakwa menurut fakta-fakta hukum yang diperoleh di persidangan yaitu Abdul Rahman als. Pak Ketong dan terdakwa Fatimah sebagai pelaku dan membenarkan identitasnya dalam keadaan sehat dan perbuatannya dapat dipertanggungjawabkan, maka unsur “barang siapa” telah terbukti dan terpenuhi secara sah dan meyakinkan.
2) Dengan kekerasan atau ancaman kekerasan;
Berdasarkan fakta-fakta hukum yang diperoleh di persidangan bahwa terdakwa Abdul Rahman als Pak Ketong dan terdakwa Fatimah masuk kedalam kedai dimana para tersangka narkotika berada di dalam kedai, lalu terdakwa Abdul Rahman als Pak Ketong naik ke atas meja kedai kemudian terdakwa Abdul Rahman als Pak Ketong mengatakan, “mana barang buktinya, jangan suka-suka kalian nangkap disini” lalu terdakwa Abdul Rahman als Pak Ketong menyorong tubuh saksi P.Samosir dan merampas barang bukti rokok yang bercampur daun ganja tersebut dari tangan saksi P.samosir kemudian terdakwa Fatimah menarik dan mencakar tangan sehingga saksi P.Samosir hampir terjatuh.
3) Melawan seorang Pegawai Negeri dalam melaksanakan tugas jabatannya.
Berdasarkan fakta-fakta hukum yang diperoleh di persidangan bahwa saksi korban P.Samosir adalah anggota Polsek Belawan yang pada saat kejadian tindak pidana dilakukan terdakwa-terdakwa sedang bertugas di wilayah hukum Polsek Belawan.
Berdasarkan uraian latar belakang diatas, maka peneliti tertarik dengan judul “Analisis Tindak Pidana Kekerasan Yang Dilakukan Secara Bersama-Sama Terhadap Pegawai Negeri Yang Secara Sah Sedang Menjalankan Tugas Jabatannya (Studi Kasus Putusan No. 1477/Pid.B/2006/PN.Medan).
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas, yang menjadi rumusan masalah dalam penelitian ini, yaitu :
1. Bagaimanakah hubungan BAP, dakwaan, dan putusan Hakim bila dipertentangkan dengan pendapat penasehat hukum dan ilmu hukum pidana?
C. Manfaat Penelitian
1. Manfaat secara teoritis :
a. Memberikan manfaat secara teori bagi mahasiswa Fakultas Hukum dalam mempelajari hukum pidana.
b. Menganalisa putusan Majelis Hakim berupa studi kasus Putusan No. 1477/Pid.B/2006/PN.Medan.
2. Manfaat secara praktis :
a. Memberikan masukan bagi Pegawai Negeri dalam melaksanakan tugasnya di lapangan sehingga tindak pidana dapat diminimalisir.
b. Memberikan masukan kepada masyarakat umum untuk menghormati dan menghargai Pegawai Negeri dalam melaksanakan tugasnya di lapangan.
D. Tujuan Penelitian
Merujuk kepada permasalahan yang diterangkan di atas, maka tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian ini ialah:
1. Untuk mengetahui hubungan BAP, dakwaan, dan putusan Hakim bila dipertentangkan dengan pendapat penasehat hukum dan ilmu hukum pidana.
DAFTAR PUSTAKA
Arief, Barda Nawawi, Bahan Bacaan Politik Hukum Pidana, Jakarta : Pasca Sarjana Universitas Indonesia, 1992
Black, Henry Campbell, Black`s Law Dictionary, Boston : West Publishing Co, 1979
Depdikbud, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta : Balai Pustaka, 1985
Ediwarman, Preman Dan Kejahatan Di Tinjau dari Sudut Kriminologi, Makalah, Medan : Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, 1995
Hasibuan, Ridwan, Kriminologi Dalam Arti Sempit Dan Ilmu-Ilmu Forensik, Makalah, Semarang : Fakultas Hukum Undip, 1994
Muladi dan Barda Nawawi, Teori-teori dan Kebijakan Pidana, Bandung : Alumni, 1984
Reksodiputro, Mardjono, Kriminologi Dan Sistem Peradilan Pidana, Kumpulan Karangan Buku Kedua, Jakarta : Pusat Pelayanan Keadilan dan Pengabdian Hukum, 1994
Sudarto, Hukum Dan Hukum Pidana, Bandung : Alumni, 1984
Label:
kejahatan,
kuhp,
premanisme,
skripsi,
tesis
Langganan:
Postingan (Atom)
Referensi Hukum
-
Sistem Peradilan Pidana (Criminal Justice System) adalah “sistem dalam suatu masyarakat untuk menanggulangi masalah kejahatan”. 1 Menangg...
-
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia sebagai salah satu negara yang berkembang memiliki ciri-ciri adanya pembangunan di segala bida...
-
1. Pengertian Bilyet Giro dan Cek a. Pengertian bilyet adalah surat perintah dari nasabah kepada bank yang memelihara giro nasabah tersebut...
-
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pengaruh globalisasi berupa perdagangan dapat dilihat di Indonesia berupa peningkatan pendirian perusaha...
-
A. Latar Belakang Anak merupakan aset bangsa yang merupakan bagian dari generasi muda anak berperan sangat strategis sebagai penentu suatu b...