Selamat Datang....

Statistik Pembaca


widget

Selasa, 20 Oktober 2009

Analisis Tindak Pidana Kekerasan Yang Dilakukan Secara Bersama-Sama Terhadap Pegawai Negeri Yang Secara Sah Sedang Menjalankan Tugas Jabatannya (Studi

A. Latar Belakang
Secara yuridis pengertian kejahatan adalah suatu perbuatan tingkah laku manusia yang bertentangan dengan undang-undang. Untuk dapat melihat apakah perbuatan/kejahatan itu bertentangan dengan undang-undang. Maka undang-undang tersebut harus diciptakan terlebih dahulu sebelum adanya perbuatan tersebut.
Gejala kejahatan merupakan suatu konstruksi sosial yaitu pada waktu suatu masyarakat menetapkan bahwa sejumlah perilaku dan orang dinyatakan sebagai kejahatan dan penjahat. Dengan demikian kejahatan dan penjahat bukanlah gejala yang secara bebas dan objektif dapat dipelajari para ilmuwan, karena gejala ini hanya ada kalau ditentukan demikian oleh masyarakat (Reksodiputro, 1994 : 84)
Namun demikian apabila suatu perilaku telah ditentukan atau sudah dibakukan bentuknya dalam suatu perundang-undangan, seperti Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, maka perilaku jahat disebut dengan perbuatan pidana atau tindak pidana. Selanjutnya yang perlu diperhatikan adalah : apa sebabnya orang melakukan perbuatan jahat tersebut. Dengan mengetahui latar belakang orang melakukan kejahatan atau latar belakang terjadinya kejahatan ini diharapkan dapat diketahui cara yang tepat untuk mencegah atau menanggulangi kejahatan tersebut. Sudah sejak lama orang mengkaji dan mengadakan penyelidikan untuk mengetahui latar belakang yang menyebabkan terjadinya suatu kejahatan. Dan untuk itu pula sudah banyak para ahli masyarakat mengemukakan teori-teori tentang sebab-sebab kejahatan ini dan sekaligus juga mencoba menguraikan pendapat untuk mencegah atau mengurangi kejahatan tersebut.
Studi kejahatan sebagai gejala sosial perlu juga diketahui cara penanggulangannya, meskipun kita memahami masalah kejahatan dan cara penanggulangannya timbul dan ditentukan oleh masyarakat itu sendiri. Salah satu kebijakan dalam hal menanggulangi masalah kejahatan adalah kebijakan kriminal atau politik kriminil. Politik kriminil atau juga disebut criminil policy adalah sebagian dari kebijakan sosial dalam hal menanggulangi masalah kejahatan dalam masyarakat. Baik dengan sarana penal maupun yang non penal, untuk mencapai tujuannya yaitu kesejahteraan masyarakat. (Arif, 1992 : 3)
Dalam hal menggunakan sarana penal, tidak lain adalah dengan cara menggunakan hukum pidana sebagai sarana utamanya, baik hukum pidana materil, hukum pidana formil maupun hukum pelaksanaan pidana yang dilaksanakan melalui sistem peradilan pidana untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu. Tujuan-tujuan tersebut dalam jangka pendek adalah rasosialisasi (memasyarakatkan kembali) pelaku tindak pidana, jangka menengah adalah untuk mencegah kejahatan dan jangka panjang yang merupakan tujuan akhir adalah untuk mencapai kesejahteraan sosial.
Dengan demikian, hukum pidana disini berfungsi ganda yakni yang primer sebagai sarana penanggulangan kejahatan yang rasional (sebagai bagian politik kriminil) dan yang sekunder ialah sebagai sarana pengaturan tentang kontrol sosial sebagaimana dilaksanakan secara spontan atau secara oleh negara untuk mencapai kesejahteraan sosial. (Muladi, 1985:5)
Dalam hal menggunakan secara non penal usaha-usaha yang dapat dilakukan meliputi bidang yang sangat luas sekali diseluruh sektor kebijakan sosial. Usaha-usaha non penal ini misalnya penyantunan dan pendidikan sosial dalam rangka mengembangkan tanggung jawab sosial masyarakat. Penggarapan kesehatan jiwa masyarakat melalui pendidikan moral, agama dan sebagainya. Peningkatan usaha-usaha kesejahteraan anak dan remaja, kegiatan patroli dan pengawasan lainnya secara kontinyu oleh polisi dan aparat keamanan lainnya dan sebagainya (Muladi, 1984:159)
Hal ini dapat dilihat misalnya dengan cara “menggaruk” dan merazia para preman yang lagi ngumpul-ngumpul dijalanan, dan selanjutnya memberikan pendidikan sosial, latihan keterampilan, baik yang dilakukan oleh kepolisian, angkatan darat, maupun lembaga-lembaga lainnya, bahkan dengan cara mentransmigrasikan mereka. Tujuan utama dari usaha-usaha ini adalah memperbaiki kondisi-kondisi sosial tertentu, namun secara tidak langsung mempunyai pengaruh preventif terhadap kejahatan yang dilakukan oleh para preman tersebut.
Sebagaimana telah diuraikan sebelumnya bahwa penyebab orang melakukan kejahatan tersebut adalah faktor individu/pribadi dari orang yang bersangkutan dan faktor lingkungan alam dan masyarakat sekitarnya. Oleh karenanya untuk menanggulangi kejahatan ini dua faktor tersebut harus diperhatikan dengan seksama. Demikian pula halnya untuk menanggulangi masalah preman ini, kedua faktor tersebut juga harus mendapat perhatian. Kita tidak boleh hanya memperhatikan faktor lingkungan dari preman itu saja, misalnya dengan cara mentransmigrasikan mereka sehingga terhindar dari lingkungannya semula, akan tetapi faktor individu dari preman tersebut juga harus diperhatikan, misalnya dengan cara memberikan pendidikan moral jiwa preman tersebut melalui lembaga-lembaga keagamaan dan sebagainya.
Di sisi lain kemungkinan preman tersebut tidak mempunyai pekerjaan tetap sesuai dengan keterampilannya atau mungkin preman tersebut tidak mempunyai keterampilan sama sekali sehingga mereka mencari pekerjaan dengan “jalan pintas” (menodong, merampok, atau menjual narkoba). Dalam hal seperti inilah diperlukan keterampilan dan lapangan pekerjaan untuk mereka, apabila perlu dengan pendidikan paksa dan kerja paksa dalam jangka waktu tertentu; dengan catatan selama jangka waktu tertentu mereka diberikan upah yang layak/memadai. (Sudarto, 1986 : 36)
Penggunaan hukum pidana harus memperhatikan tujuan pembangunan nasional yaitu mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur merata materil dan spirituil berdasarkan Pancasila. Hukum pidana harus bertugas dan bertujuan untuk menanggulangi kejahatan, demi kesejahteraan dan pengayoman masyarakat. Perbuatan yang diusahakan untuk dicegah atau ditanggulangi oleh hukum pidana adalah perbuatan-perbuatan yang tidak dikehendaki, yaitu perbuatan yang mendatangkan kerugian atas warga masyarakat. Perbuatan yang tidak merugi tidaklah boleh ditetapkan sebagai perbuatan yang tidak dikehendaki, meskipun tidak semua perbuatan yang merugikan perlu dicegah dengan menggunakan hukum pidana.
Usaha untuk mencegah suatu perbuatan dengan menggunakan sarana hukum pidana, dengan sanksi yang negatif berupa pidana, perlu disertai perhitungan biaya yang akan dikeluarkan dan hasil yang diharapkan akan tercapai. Penggunaan hukum pidana harus pula memperhatikan kapasitas dan kemampuan daya kerja dari badan-badan penegak hukum, jangan sampai kelampauan beban tugas (overbelasting), hal mana akan mengakibatkan efek dari peraturan itu akan menjadi kurang.
Jika dilihat pada isi KUHP Indonesia saat ini bahwa Buku II KUHP dengan empat buah bab pertama mengatur apa yang di dalam doktrin sering disebut dengan staatkundige misdrijven atau kejahatan-kejahatan ketatanegaraan. Sebagaimana yang diatur dalam KUHP, pasal-pasal pidana dalam konteks proteksi negara tersebut dirumuskan dalam berbagai klasifikasi kejahatan, yaitu:
1) Kejahatan terhadap keamanan negara (misdrijven tegen veiligheid van de staat), dimuat dalam BAB I Buku II KUHP mulai Pasal 104 sampai dengan Pasal 129).
2) Kejahatan terhadap martabat Presiden dan Wakil Presiden, yang diatur dalam BAB II Buku II dari Pasal 130 –139.
3) Kejahatan yang terkait dengan pelaksanaan kewajiban dan hak kenegaraan pada BAB III Buku II Pasal 146-152.
4) Kejahatan yang masuk dalam kategori kejahatan terhadap ketertiban umum di BAB IV Pasal 154-169.
5) Kejahatan terhadap kekuasaan umum dalam BAB IV Pasal 207-233.
Berdasarkan uraian diatas, peneliti tertarik untuk menganalisa putusan No. 1477/Pid.B/2006/PN.Medan yang mengenakan Pasal 214 ayat (1)KUHP dengan unsur-unsurnya, yaitu:
1) Barang siapa;
Rumusan “barang siapa” dalam hukum pidana adalah untuk menentukan subjek hukum atau pelaku tindak pidana. Pengertian “barang siapa” adalah siapa saja dalam hal ini adalah orang yaitu terdakwa menurut fakta-fakta hukum yang diperoleh di persidangan yaitu Abdul Rahman als. Pak Ketong dan terdakwa Fatimah sebagai pelaku dan membenarkan identitasnya dalam keadaan sehat dan perbuatannya dapat dipertanggungjawabkan, maka unsur “barang siapa” telah terbukti dan terpenuhi secara sah dan meyakinkan.
2) Dengan kekerasan atau ancaman kekerasan;
Berdasarkan fakta-fakta hukum yang diperoleh di persidangan bahwa terdakwa Abdul Rahman als Pak Ketong dan terdakwa Fatimah masuk kedalam kedai dimana para tersangka narkotika berada di dalam kedai, lalu terdakwa Abdul Rahman als Pak Ketong naik ke atas meja kedai kemudian terdakwa Abdul Rahman als Pak Ketong mengatakan, “mana barang buktinya, jangan suka-suka kalian nangkap disini” lalu terdakwa Abdul Rahman als Pak Ketong menyorong tubuh saksi P.Samosir dan merampas barang bukti rokok yang bercampur daun ganja tersebut dari tangan saksi P.samosir kemudian terdakwa Fatimah menarik dan mencakar tangan sehingga saksi P.Samosir hampir terjatuh.
3) Melawan seorang Pegawai Negeri dalam melaksanakan tugas jabatannya.
Berdasarkan fakta-fakta hukum yang diperoleh di persidangan bahwa saksi korban P.Samosir adalah anggota Polsek Belawan yang pada saat kejadian tindak pidana dilakukan terdakwa-terdakwa sedang bertugas di wilayah hukum Polsek Belawan.
Berdasarkan uraian latar belakang diatas, maka peneliti tertarik dengan judul “Analisis Tindak Pidana Kekerasan Yang Dilakukan Secara Bersama-Sama Terhadap Pegawai Negeri Yang Secara Sah Sedang Menjalankan Tugas Jabatannya (Studi Kasus Putusan No. 1477/Pid.B/2006/PN.Medan).

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas, yang menjadi rumusan masalah dalam penelitian ini, yaitu :
1. Bagaimanakah hubungan BAP, dakwaan, dan putusan Hakim bila dipertentangkan dengan pendapat penasehat hukum dan ilmu hukum pidana?
C. Manfaat Penelitian
1. Manfaat secara teoritis :
a. Memberikan manfaat secara teori bagi mahasiswa Fakultas Hukum dalam mempelajari hukum pidana.
b. Menganalisa putusan Majelis Hakim berupa studi kasus Putusan No. 1477/Pid.B/2006/PN.Medan.
2. Manfaat secara praktis :
a. Memberikan masukan bagi Pegawai Negeri dalam melaksanakan tugasnya di lapangan sehingga tindak pidana dapat diminimalisir.
b. Memberikan masukan kepada masyarakat umum untuk menghormati dan menghargai Pegawai Negeri dalam melaksanakan tugasnya di lapangan.
D. Tujuan Penelitian
Merujuk kepada permasalahan yang diterangkan di atas, maka tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian ini ialah:
1. Untuk mengetahui hubungan BAP, dakwaan, dan putusan Hakim bila dipertentangkan dengan pendapat penasehat hukum dan ilmu hukum pidana.

DAFTAR PUSTAKA



Arief, Barda Nawawi, Bahan Bacaan Politik Hukum Pidana, Jakarta : Pasca Sarjana Universitas Indonesia, 1992

Black, Henry Campbell, Black`s Law Dictionary, Boston : West Publishing Co, 1979

Depdikbud, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta : Balai Pustaka, 1985

Ediwarman, Preman Dan Kejahatan Di Tinjau dari Sudut Kriminologi, Makalah, Medan : Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, 1995

Hasibuan, Ridwan, Kriminologi Dalam Arti Sempit Dan Ilmu-Ilmu Forensik, Makalah, Semarang : Fakultas Hukum Undip, 1994

Muladi dan Barda Nawawi, Teori-teori dan Kebijakan Pidana, Bandung : Alumni, 1984

Reksodiputro, Mardjono, Kriminologi Dan Sistem Peradilan Pidana, Kumpulan Karangan Buku Kedua, Jakarta : Pusat Pelayanan Keadilan dan Pengabdian Hukum, 1994

Sudarto, Hukum Dan Hukum Pidana, Bandung : Alumni, 1984

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Referensi Hukum